PeciHitam.org – Kata Islamisasi sudah tidak asing lagi didengar oleh telinga Umat Muslim seluruh dunia. Karena hampir semua daerah awalnya mengalami proses Islamisasi. Terminologi Islamisasi termasuk pengetahuan sering diartikan sebagai proses pengislaman sebuah daerah dari sebelumnya memeluk agama selain Islam.
Maka proses Islamisasi ini bersifat kata kerja dengan aplikasinya memasukan/ mengajarkan dan mengislamkan orang yang bukan Islam. Seiring berjalannya waktu dan modernisasi keilmuan, kata Islamisasi mengalami pergeseran penggunaan.
Kata Islamisasi bukan hanya digunakan sebagai kata kerja yang bersifat ruang, akan tetapi menjadi Abstrak dengan digunakan dalam pengetahuan.
Istilah Islamisasi pengetahuan menjadi sangat tren belakangan ini karena kebanyakan ilmu pengetahuan modern berasal dari Barat. Asal pengetahuan dari Barat banyak diklaim sebagai Ilmu pengetahuan sekuler, yang tidak bisa diaplikasikan dalam dunia Islam.
Bagaimana seharusnya menempatkan sebuah Ilmu dalam kerangka Islam dan sikap yang harus diambil ketika menghadapinya.
Daftar Pembahasan:
Pengetahuan Sekuler dan Tantangannya
Islam pernah mengalami kemajuan pengetahuan yang luar biasa bahkan di atas bangsa Barat yang sering menjadi Kiblat pendidikan Modern. Masa keemasan Islam baik dalam pengetahuan maupun ekonomi sekira terjadi pada tahun 750 M – 1258 M, bertepatan dengan Dinasti Bani Abbasiyah dan beberapa dinasti Kecil disekitaran Asia, Eropa dan Utara Benua Afrika.
Pada masa ini banyak kitab-kitab karya orang Islam yang diterjemahkan kedalam bahasa Eropa, bahkan Ilmuan Islam memiliki nama Barat. Penamaan Barat karena kitab mereka menjadi rujukan utama dalam bidang keilmuan modern.
Nama Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Avireous), Al-Khawarizmi dengan Al-Jabar-nya banyak diadopsi pemikirannya. Bahwa konsep dasar Algoritman dalam Aplikasi smartphone adalah hasil pengembangan pemikiran Al-Khawarizmi.
Perguliran zaman dan kemunduran kerajaan Islam menjadikan Islam menjadi bahan ‘bancakan’ wilayahnya yang kemudian dibagi-bagi oleh negara eropa.
Sebanding dengan kemunduran wilayah Islam, pengetahuan juga mengalami kemunduran setelah pemberangusan perpustakaan terbesar Islam terbesar, Baitul Hikmah.
Kemunduran dalam Islam juga tidak terlepas adanya anggapan dan pemisahan antara keilmuan barat dan keilmuan Islam. Keilmuan barat sering dicap sebagai Ilmu Sekuler, Anti-Tuhan, dan tidak boleh dipelajari. Sedangkan satu sisi, ada keilmuan yang wajib dipelajari sebagai bekal diakhirat.
Pandangan ini tidak selamanya salah, karena faktanya, banyak Ilmu yang berasal dari Barat menihilkan adanya tuhan sebagaimana dalam kaidah-kaidah Sosialisme ala Karl Marx. Teori tentang asal usul manusia juga banyak dijumpai teori yang bertentangan dengan Islam.
Perseteruan antara agama dan sains/ ilmu pengetahuan memang berasal dalam tradisi Eropa yang dahulu otoritas pengetahuan berada di bawah Gereja.
Maka sejak masa itu, hubungan pengetahuan yang bersifat empirik-positivistik sering berhadapan dengan Agama. Maka dikenal dengan Istilah sekuler sebagai pemisah antara agama dan pengetahuan.
Tulisan tentang sekularisme pengetahuan dan bantahannya banyak dikemukakan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Gerakan Islamisasi pengetahuan dalam pandangan beliau adalah memadukan nilai-nilai etis agama dengan pengetahuan modern.
Gus Ulil Abshar Abdala yang dahulu dicap sebagai tokoh liberal Islam di Nusantara sekarang banyak memberikan kajian pemikiran tentang pandangan Sekuler untuk diluruskan.
Ia memaparkan, bahwa ramalan pengetahuan Sekuler banyak terbantah dengan fakta-fakta empiris, seperti hilangnya orang beragama yang diramalkan kaum Sosialis.
Pengetahuan secara dasarnya adalah anugerah dari Allah SWT kepada Manusia dapat berupa bisikan ilahiyah, ilham dan ide dan lain sebagainya. Dasarnya pengetahuan adalah ayat Allah SWT;
وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (٣١
Artinya; “Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Qs. Al-Baqarah: 31)
Bahwa hubungan antara pengetahuan dan agama tidak terpisah, selama orang mampu dan berkompeten mengintegrasikannya. Tantangan integrasi Islam beberapa sudah terjawab dengan proses Islamisasi Pengetahuan, minimal hal ini merupakan khtiar positif.
Al-Quran, Sumber Pengetahuan?
Agama Islam memilik dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dari keduanya akan menurunkan pengetahuan dan klasifikasi keilmua Islam, teologi (tauhid), syariat (hukum fikih) dan akhlak (nilai-nilai moralitas).
Apakah Islam hanya berisi hal demikian, dan tidak mencakup keilmuan modern? Maka jawabannya pasti ‘TIDAK’. Islam juga agama pengetahuan yang menghargai adanya akal untuk digunakan sebagaimana mestinya guna menggali pengetahuan. Allah SWT memberi gambaran implisit;
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩
Artinya; “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (Qs. Al-Baqarah: 219)
Tentunya dalam Islam, Al-Qur’an, tidak menyebutkan tataran teknis yang terus berubah sepanjang pengetahuan manusia. Islam memberikan kelonggaran umat Islam untuk mengkontektualisasikan ayat-ayat Allah dengan era dan kemajuan zaman.
Pembukaan ruang Ijtihad dalam tafsir untuk proses kontektualisasi dan Islamisasi pengetahuan tentunya bukan hal yang mudah karena memerlukan prasyarat khusus. Hal ini untuk menghindari kesalahan fatal, waton tafsir, dan jangan asal membuat pandangan terhadap al-Qur’an.
Tantangan dalam mengkontekstualisasikan Islam, Al-Qur’an dan Hadits dengan perkembangan zaman adalah pekerjaan rumah yang harus dijawab. Terlebih Islam sudah sangat tertinggal dengan pengetahuan barat. Maka Islamisasi adalah jalan tengah untuk memahami pengetahuan dan nilai etis Islam.
Namun harus dipahami, Islamisasi pengetahuan jangan menjadi alat untuk memaksakan agama sebagaimana pada masa gereja Eropa yang berseteru dengan para saintis. Proses Islamisasi harus dipahami sebagai proses pemahaman konteks Islam dalam era modern dan menghadapi tantangan masa depan.
Islamisasi Ala Al-Faruqi
Pemikir awal yang mengkampanyekan perlunya Islamisasi Pengetahuan adalah Ismail Raji al-Faruqi. Dia adalah adalah seorang pemikir Islam yang intens memadukan antara Islam, bertolak dari nilai teologinya, dengan pengetahuan dan seni.
Penegasan Al-Faruqi yaitu ‘Esensi pengetahuan dan kebudayaan Islam adalah Tauhidnya’. Maka pengetahuan dan kebudayaan ada pada agama Islam itu sendiri. Selama orang Islam yang bertauhid menghasilkan pengetahuan dan kebudayaan, maka itu adalah milik Islam.
Artinya, tauhid sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam, kebudayaannya, dan pengetahuannya. Seluruh aspek kehidupan dalam Islam memiliki identitas dasar yakni, Tauhid.
Keyakinan atau tauhid menjadi identitas pada peradaban Islam, yang mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut sebagai suatu kesatuan integral dan organis.
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ (٢٢
Artinya; “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan” (Qs. Al-Anbiyaa: 22)
Ayat ini dengan jelas mengindikasikan adanya keunikan dalam pola pikir orang islam yang harus dipegangi, yakni menyandarkan segala sesuatu kepada Allah SWT.
Jika semua disandarkan kepada Allah SWT, maka kejadian Kosmos dan Kosmis berasal dari Allah SWT. Penyandaran ini bagi Muslim akan menghasilkan Ilmu yang sesuai dengan pola Islamisasi pengetahuan.
Karena pola dasar Islamisasi pengetahuan adalah mewarani pengetahuan dengan nilai Islam, atau dipandang dari sudut pandang Islam.
Ash-Shawabu Minallah