Pecihitam.org – Sebagaimana kita ketahui, masyarakat muslim di Indonesia terutama warga Nahdliyin punya suatu amaliyah rutinan yang dinamakan tahlilan. Namun ternyata ada juga yang belum tahu apa itu tahlilan, bahkan karena ketidak tahuannya menganggap amaliyah tersebut suatu perkara bidah yang tidak ada dasarnya. Nah, biar tidak salah paham berikut sedikit ulasan tentang apa itu tahlilan?
Dilihat dari segi bahasa, Tahliln berasala dari akar kata tahlil yang maknanya membaca kalimah la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW bersabda,
“Seutama-utama dzikir ialah la ilaha ilLallah (kalaimat tahlil). Dan seutama-utama zikir yang aku dan juga para nabi sebelumku mengucapkannya la illaha illallah. Ia adalah kalimat tauhid dan kalimat kemurnian dan keesaan Allah. Ia juga asma Allah yang teragung. ” (HR. Imam at-Turmudzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dalan kitab Subulus Salam, Juz IV/Shohifah.215).
Sedangkan menurut istilah yang dipahami dalam perkataan sehari-hari, tahlil berarti membaca serangkaian surat-surat Al-Quran, ayat-ayat pilihan, yang diawali dengan membaca surah Al fatihah dengan meniatkan pahalanya untuk para arwah yang dimaksudkan oleh shahibul hajah. Bacaan Tahlil lengkap bisa lihat disini.
Nah, di acara tahlilan dengan mengundang tetangga dan sanak saudara umumnya juga menggeluarkan shadaqah yang berupa makanan. Praktek ini sering disebut juga dengan istilah selamatan (slametan). Mengapa bisa demikian?
- Pertama, karena maksud dari pembacaan tahlil tersebut ditujukan untuk memohonkan keselamatan bagi arwah yang dituju oleh yang punya hajat (shohibul hajah).
- Kedua, karena dalam doa yang biasa dibaca dalam acara tahlil tersebut terdapat kata salaamatan fi ad-diin. Dari kata-kata ini orang kemudian menyebut acara itu dengan istilah “salamatan” yang kemudian berubah menjadi “selamatan”.
Namun, perlu diketahui juga bahwa acara selamatan belum tentu diisi dengan membaca tahlil. Karena terkadang dalam acara tersebut para jama’ah juga hanya membaca doa saja semisal doa untuk syukuran, aqiqah, atau yang lainnya.
Jadi, shahibul hajah memohon keselamatan lahir batin, baik untuk dirinya, anak istrinya, maupun usahanya. Dan sekalipun tanpa membaca tahlil. Namun doa keselamatan yang dibaca, umumnya juga ada lafadz salamatan fi ad-din.
Acara tahlilan dibeberapa daerah juga disebut dengan kenduri. Istilah ini berasal dari kalimat yang diucapkan oleh imam tahlil yang mana sebelum memulai membaca Alfatihah terlebih dulu membaca lafadz ila hadhrati, yang artinya “pahala bacaan ini diperuntukan kepada …. “.
Lafadz bacaan tersebut juga dinamakan meng-hadhorohi, karena orang dahulu masih sulit mengucapkan dengan fasih maka dibaca “kandorohi”, karena lidah Jawa ucapan tersebut berubah menjadi “kenduri”.
Kemudian, biasanya orang yang menyelenggarakan hajat tahlilan itu menyediakan makanan untuk diberikan kepada jamaah atau orang-orang yang diundang dengan niat sebagai shadakah.
Dalam rangkaian acara tahlil, pahala sedakah makanan itu biasanya juga diniatkan untuk arwah yang dituju. Oleh karena itu, acara tahlil yang khusus pengiriman doa semacam ini sering di namakan sedakah, perubahan ucapan dari kata shadaqah.
Sedakah makanan itu biasanya baru disuguhkan atau dibagikan setelah selesainya doa dalam tahlil, baik untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang. Dengan perkataan lain, sedakah itu diberikan setelah “diberkahi” dengan doa. Makanan yang sudah diberkahi doa tersebut kemudian disebut dengan istilah “berkat”.
Berkat berasal dari bahasa arab, barkatun, bentuk jamaknya adalah berkat yang artinya kebaikan yang bertambah tambah terus. Penamaan tersebut berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW.,
Ijtamiu ala toamikum wadzkurusmallahi yubariklakum fiihi.
Artinya “berkumpullah pada jamuan makan kamu, dan sebutlah asma Allah ketika hendak makan, niscaya Allah memberkati kamu pada makanan itu. ” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim dalan kitab Nadhrah an-Nur, jilid II/Shohifah 16).
Demikian semoga informasi ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan kita bersama.
*Di olah dari Buku Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai). Pustaka Pesantren