Itikaf Adalah Amal yang Sangat Dianjurkan Pada Bulan Ramadhan, Inilah Tata Caranya!

itikaf adalah

Pecihitam.org Itikaf atau yang secara sederhana dipahami sebagai berdiam diri di masjid adalah salah satu amal yang sangat dianjurkan saat bulan Ramadhan, terlebih di sepuluh hari terakahir.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tulisan ini akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan itikaf, baik pengertian, hukum, tata dan keutamaannya.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Itikaf Adalah

I’tikaf secara bahasa adalah berdiam, terus-menerus dan menetapi suatu (pekerjaan/tempat) baik mapun buruk. Sedangkan secara istilah begitu banyak definisi tentang i’tikaf. Menurut kalangan Syafiiyah, sebagaimana disampaikan oleh Khatib as-Syarbaini dalam Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Juz I hlm. 449, i’tikaf adalah berdiam diri secara tertentu bagi orang-orang tertentu di tempat tertentu dengan niat tertentu[

Dalil Disyariatkannya Itikaf

Ada beberapa dalil yang menjadi legitimasi tentang disyari’atkannya i’tikaf. Berikut penulis kutipkan satu ayat dan satu satu hadis.

QS. Al-Baqarah Ayat 187

Dalil utama tentang itikaf adalah firman Allah Azza wa Jalla dalam Surat Al-Baqarah ayat 187 berikut:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Albaqarah ayat 187)

Hadis Riwayat Imam Muslim

Sedangkan dalil itikaf dalam hadis salah satunya adalah riwayat Siti Aisya Radliyallahu ‘anha berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan i’tikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadlan, hingga Allah ‘azza wajalla mewafatkannya. Setelah itu, isteri-isternya pun melakukan i’tikaf.” (HR. Muslim)

Baca Juga:  Inilah Landasan Hukum Haramnya Menyentuh Al-Qur'an Ketika Hadas Menurut Madzhab Syafi'i

Hukum I’tikaf

Hukum dasar itikaf adalah sunnah. Namun status hukumnya bisa berubah tergantung kondisi orang yang akan melakukannya. Berikut lengkapnya:

Sunnah Muakkadah

Ini adalah hukum yang asal. I’tikaf sangat dianjurkan terutama pada sepuluh hari terakhir Ramadlan karena diharapkan bisa mendapatkan Lailatul Qadr.

“كَانَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ طَوَى الْفِرَاشَ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ وَدَأَبَ وَأَدْأَبَ أَهْلُهُ” متفق عليه من حديث عائشة بلفظ “أحيا الليل وأيقظ أهله وجد وشد المئزر”

Adalah Rasulullah ketika memaasuki 10 akhir Ramadlan beliau menggulung tikarnya dan mengencangkan pakaiannya (HR. Bukhari dan Muslim)

Wajib

I’tikaf hukumnya bisa berubah menjadi wajib bagi orang yang bernadzar untuk melakukannya

Makruh

I’tikaf hukumnya bisa berubah menjadi makruh, yaitu bagi perempuan yang berparas cantik dan mendapat izin dari suaminya.

Haram

I’tikaf hukumnya bisa berubah menjadi haram tetapi tetap sah, yaitu bagi perempuan yang tidak mendapat izin dari suaminya atau mendapat izin tapi tidak aman dari fitnah.

I’tikaf hukumnya bisa berubah menjadi haram dan tidak sah, yaitu bagi orang yang junub atau wanita yang haid, nifas dan sebagainya.

Keutamaan Itikaf

Tentang keutamaan i’tikaf, Rasulullah saw bersabda:

 …وَمَنِ اعْتَكَفَ يَوْمًا إِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ جَعَلَ اللهُ يَبْنَهُ وَ بَيْنَ النَّارِ ثَلَاثَ خَنَادِقَ اَبْعَدَ فَيْمَا بَيْنَ الْخَافِقَيْنِ. (رواه الطبراني في المعجم الأوسط)

Barangsiapa beri’tikaf satu hari karena mengharap ridla Allah azza wa jalla, maka Allah akan menjadikan antara ia dengan neraka jarak sejauh tiga khandaq/parit. Setiap satu parit dengan  paritlainnya jaraknya sejauh langit dan bumi. (HR. Thabrani)

Syarat Itikaf Adalah

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang akan melaksanakan i’tikaf, yakni sebagai berikut:

  1. Islam
  2. Berakal
  3. Suci dari hadas besar
  4. Niat dalam hati (نَوَيْتُ الْإِعْتِكَافَ فِيْ هَذَ االْمَسْجِدِ لِلَّهِ تَعَالَى )
  5. Berdiam diri minimal seukuran thuma’ninah
  6. Dilaksanakan di dalam masjid. Tidak dihukumi sah i’tikaf yang dilaksanakan selain di dalam masjid, seperti mushalla dan pesantren, kecuali bagi wanita yang sekiranya keluar rumah kurang baik karena rawan fitnah, maka sebaiknya niat taqlid pada Imam Abu Hanifah yang berpendapat seorang wanita boleh melakukan i’tikaf di dalam rumah dan pendapat ini adalah yang mu’tamad di dalam madzhab Abu Hanifah.
Baca Juga:  Hukum Poligami Yang Sering Disalah Pahami Oleh Sebagian Orang

 …أَنَّهُ يَصِحُّ الْإِعْتِكَافُ لِلْمَرْأَةِ فَقَطْ إِذَا عَيَّنَتْ مَكَانًا فِيْ بَيْتِهَا لِلصَّلَاةِ وَهُوَ مُعْتَمَدُ مَذْهَبِ اَبِيْ حَنِيْفَةَ.

bahwasannya  boleh beri’tikaf hanya bagi wanita jika ia memang biasa menyediakan tempat di dalam rumahnya untuk shalat. Ini adalah pendapat mu’tamad dalam madzhab Abu Hanifah. (Taqriratus Sadidah fil Masailil Mufidah hlm. 460)

Cara Itikaf

Mengenai seperti apa cara sikap yang benar sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah bisa dipahami dari hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a, ia berkata, “Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama melalui hadis di atas menyimpulkan bahwa Rasulullah pada malam i’tikaf melakukan tiga hal yaitu :

Pertama, “mengencangkan kain sarungnya” yang dimaknai bahwa Rasul tekun beribadah, mencurahkan waktu untuknya dan bersungguh-sungguh di dalamya. Ada yang berpendapat, yang dimaksud dengannya ialah menjauhi wanita untuk menyibukkan diri dengan peribadatan.

Kedua, Rasulullah “menghidupkan malamnya”. Rasulullah menghidupkan seluruh malam dengan begadang untuk melakukan shalat dan selainnya, atau menghidupkan sebagian besarnya.

Ketiga,  “membangunkan keluarganya” yakni membangunkan mereka dari tidur untuk beribadah dan shalat. Diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata, ”Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukan i’tikaf, beliau mengerjakan shalat Shubuh, baru kemudian masuk ke tempat i’tikafnya. (HR. Bukhari)

Baca Juga:  Jangan Salah Paham! Hadits Qudsi dan Al-Quran Memiliki 5 Perbedaan yang Signifikan

Pernyataannya, “shalat Shubuh” yakni pada pagi 21 Ramadhan. Maksudnya beliau terfokus dan menyepi di dalamnya setelah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu dimulainya waktu i’tikaf. Bahkan waktu i’tikaf dimulai sebelum maghrib pada malam ke-21 dalam keadaan beri’tikaf lagi berdiam di masjid secara umum. Ketika setelah selesai shalat Subuh beliau menyendiri.

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam An Nawawi. takwil ini harus dilakukan untuk mengkompromikan antara hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits ini.

Beberapa Catatan

Ini ada beberaa catatan penting tentang itikaf yang harus dipajami

  1. Bagi orang yang masuk masjid untuk melaksanakan shalat tarawih, hendaknya disertai pula niat i’tikaf agar pahala keduanya bisa didapatkan
  2. Bagi orang yang lupa niat i’tikaf dan baru ingat ketika sedang berada dalam shalat, maka baginya tetap diperbolehakan untuk niat i’tikaf dalam hati, tetapi tidak boleh talaffudz (melafadzkannya)
  3. Bagi orang yang i’tikaf karena nadzar, maka ia tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf kecuali karena hajat insaniyah, seperti buang air, dan sebagainya.
Faisol Abdurrahman