Jangan Pernah Kesampingkan Realitas Jika Hendak Berijtihad

Jangan Pernah Kesampingkan Realitas Jika Hendak Berijtihad

PeciHitam.org Ide Islam Nusantara’ datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. la hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fiqih disebut dengan ijtihad tathbiqi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ijtihad tathbiqi yaitu ijtihad untuk menerapkan hukum. Sebab, Islam Nusantara tak banyak bergerak pada aspek ijtihad istinbathi, yaitu ijtihad untuk menciptakan hukum.

Daftar Pembahasan:

Antara Ijtihad Tathbiqi dan Ijtihad Istinbathi

Imam al-Syathibi membedakan ijtihad tathbiqi dengan ijtihad istinbathi. Menurutnya, jika ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan hukum (insya’ al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq wa tanzil al-hukm). Menurut al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, ijtihad tathbiqi ini seorang mujtahid tak disyaratkan harus mengetahui bahasa Arab.

Perbedaan kedua jenis ijtihad tersebut juga terletak pada mimbar ujiannya. Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan.

Baca Juga:  Durasi Puasa di Daerah Kutub, Benarkah Harus 24 Jam?

Dalam ijtihad tathbiqi, penerapan sebuah hukum dalam Islam akan ditakar dari mashalat dan mafsadatnya di masyarakat. Dengan demikian seorang mujtahid yang hendak menerapkan hukum (muthabbiqal-hukm) tak cukup hanya mengetahui nushush al-Qur’an wa al-ahadits, melainkan juga harus mengetahui realitas.

Pentingnya Realitas dalam Pengambilan Hukum

Ahmad al-Raysuni berkata, mujtahid yang hendak menerapkan hukum harus mengerti realitas (la budda lahu min an yakuna árifan khabiran bashiran bi al-waqi alladzi fihi yajtahidi wa fihi yufti).

Artinya, seorang mujtahid harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang terkait realitas seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tanpa ilmu-ilmu bantu tersebut, alih-alih memberikan maslahat, boleh jadi hukum yang diterapkan itu menimbulkan mafsadat di masyarakat.

Upaya penerapan hukum itu dalam ushul fikih juga disebut disebut tahqiq al-manath. la berbeda dengan takhrij al-manath. Jika takhrij al-manath merupakan proses untuk memproduksi hukum, maka tahqiq al-manath disebut dengan proses untuk menerapkan hukum.

Baca Juga:  Syarat Menjadi Mujtahid dan Tingkatan Ijtihadnya

Para ulama biasanya menyederhanakan aktivitas tahqiq al-manâth itu dalam bentuk mashlahah mursalah, istihsân dan ‘urf. Persoalannya, bagaimana menerapkan tiga dalil tersebut secara maksimal sehingga penetrasi Islam ke dalam masyarakat, bukan hanya diresepsi dengan baik melainkan juga memberikan dampak kemaslahan buat masyarakat.

Islam dan Nusantara

Dengan ini, maka janganlah salah sangka tentang Islam Nusantara. Sebab, ada yang berkata bahwa Islam Nusantara hendak memindahkan kiblat umat Islam Indonesia dari Mekah ke Indonesia, Islam Nusantara hadir bukan untuk mengubah doktrin Islam seperti bacaan shalat yang berbahasa Arab itu menjadi bahasa Indonesia.

Alih-alih mengubah teks al-Qur’an, dalam perspektif Islam Nusantara, terjemahan al-Qur’an tetap bukan al-Qur’an. Namun, karena al-Qur’an harus juga dipahami umat Islam non-Arab, maka menerjemahkannya ke dalam bahasa non-Arab adalah sebuah keniscayaan.

Baca Juga:  Meluruskan Salafi Wahabi: Membaca al Quran di Kuburan Itu Sunah, bukan Bid'ah

Akhirnya, penting dikatakan bahwa Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah wahyu. Ketauhilah bahwa kita tak hidup di zaman wahyu. Tugas kita sekarang adalah bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah.

Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang merupakan keniscayaan. Keragaman ekspresi pengamalan Islam pun tak terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan