Jatuh Cinta adalah Anugerah Tuhan, Agama Tidak Melarangnya

Jatuh Cinta adalah Anugerah Tuhan, Agama Tidak Melarangnya

Pecihitam.org – “Hidup tanpa cinta bagai malam tak berbunga. Hai begitulah kata para pujangga.” Demikian lirik lagu Kata Pujangga yang ditulis oleh Rhoma Irama. Kita tentu membenarkan apa yang disampaikan sang raja dangdut, sehingga tak jarang kita mendendangkan lagu itu, lebih-lebih saat sedang jatuh cinta, tentunya sambil bergoyang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Cinta adalah elemen dasar keberadaan dan kehidupan makhluk hidup. Cinta merupakan sepercik sifat Tuhan yang ditiupkan ke dalam jiwa makhluk-makhluk-Nya, sebagai dorongan bagi mereka untuk senantiasa menyembah-Nya sekaligus sebagai dorongan agar mereka berkembang biak.

Dengan berkembang biak, semakin banyak makhluk yang menghamba pada-Nya. Karena itu, rasa saling cinta antara perempuan dan laki-laki merupakan hal yang sangat manusiawi.

Sebagai suatu dorongan, cinta dalam diri manusia erat kaitannya dengan nafsu syahwat dan nafsu syahwat cenderung mengarah kepada keburukan (laammaratun bi al-su`).

Untuk itulah, agama mengarahkan manusia agar cinta berunsur syahwat itu tetap pada jalurnya, yaitu agar manusia tetap menyembah-Nya. Agama pun menetapkan pernikahan sebagai lembaga percintaan yang sah dan melarang manusia mendekati zina, apalagi zinanya.

Namun manusia adalah makhluk yang tergesa-gesa, sehingga kadang ia melanggar aturan dan keluar dari jalur yang ditetapkan Tuhan. Ia tidak sabar menunggu pernikahan terjadi untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Dengan dalih karena cinta, ia melakukan zina atau mendekatinya. Perbuatan mendekati zina inilah yang kerap diidentikkan dengan “pacaran”.

Pacaran paling banyak dilakukan oleh muda-mudi yang bukan muhrim dan belum terikat pernikahan namun saling mencintai. Biasanya praktek pacaran dilakukan dengan duduk berduaan, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman dan saling meraba tubuh pacarnya. Di sinilah letak persoalan mengapa pacaran difatwa haram.

Baca Juga:  Kiai, Santri dan Budaya Korupsi di Lingkungan Pesantren

Sebagian muslim sangat getol mengampanyekan keharamannya. Mereka bahkan membuat gerakan “Indonesia Tanpa Pacaran”. Secara konsisten gerakan yang mulai digagas sejak 2015 itu memberikan penyuluhan, pelatihan dan menyeru orang-orang agar meninggalkan pacaran, khususnya kepada generasi muda muslim yang rentan larut dalam budaya berpacaran.

Baru-baru ini gerakan yang dimotori generasi muda muslim urban itu beraksi pada malam perayaan tahun baru, momen yang memberi peluang orang berpacaran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekati zina. Mereka berkampanye dengan tajuk Aksi Putus Massal Sekaligus Deklarasi Indonesia Tanpa Pacaran. Sebentar lagi akan ada perayaan Hari Valentine, kita tunggu saja aksi apa lagi yang akan mengemuka.

Kita patut mengapresiasi usaha yang dilakukan Indonesia Tanpa Pacaran ini. Sebagaimana disinyalir oleh Mujiburrahman dalam Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (2008), gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan fundamentalisme Islam yang memang menyoroti kemorosotan akhlak masyarakat muslim modern dan memberikan alternatif cara berkehidupan sesuai ajaran al-Qur`an dan Sunnah.

Bagaimanapun gerakan ini mendasarkan sikap dan tindakannya pada pola pikir hitam-putih, halal-haram. Perlu kiranya dipertimbangkan memandang fenomena pacaran dari sudut pandang sosial.

Menurut Mujiburrahman di buku yang disebut sebelumnya, pacaran adalah semacam pelarian bagi muda-mudi yang kesulitan menyalurkan syahwatnya lewat pernikahan yang sah akibat tuntutan hidup kosmopolit yang sangat tinggi. Dengan demikian, pacaran bukan sekedar persoalan akhlak, tetapi melibatkan persoalan-persoalan sosial yang sungguh rumit.

Tetapi baiklah apabila memang pacaran dihukumi haram, toh nyatanya ajaran agama tidak melarang jatuh cinta. Sebagaimana disebut di awal tulisan ini, rasa cinta merupakan anugerah Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Rasa cinta yang berunsur syahwat kepada wanita (juga sebaliknya, wanita kepada laki-laki) bahkan merupakan perhiasan yang diperuntukkan bagi manusia, seperti dikonfirmasi QS. Ali Imran: 14.

Baca Juga:  Pentingnya Dakwah dan Peranan Santri di Era Digital

Meskipun  cinta bersyahwat dikatakan sebagai kesenangan hidup di dunia, namun hanya di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (husnu ma`ab). Begitulah ayat tersebut menjelaskan.

Bagian akhir ayat ini mengindikasikan adanya aturan atau batasan dalam mengekspresikan cinta kepada sang kekasih. Pada titik inilah hukum fiqih yang menurut definisinya merupakan hasil ijtihad ulama memainkan perannya.

Dalam tulisan Ilmu-Ilmu Islam yang Harus Dipahami Para Pengkaji Pemula saya telah menyinggung bahwa objek hukum fiqih adalah perbuatan-perbuatan fisik manusia, baik dalam ruang lingkup ibadah maupun mu’amalah. Hal ini didukung oleh Hadis Nabi Saw: “kita menghukum apa yang tampak saja dan Allah yang menentukan apa yang terbersit dalam hati.”

Karena objeknya hanyalah perbuatan-perbuatan fisik, maka perasaan dan pikiran berada di luar cakupan hukum fiqih. Karena itu, cinta yang merupakan perasaan manusia tidak dapat divonis halal atau haram.

Akan tetapi jika ada dua orang bukan muhrim yang saling mencintai melakukan kontak fisik yang dapat dianggap sebagai perbuatan mendekati zina, barulah hukum fiqih berperan memberikan keputusan hukumnya.

Adapun istilah zina hati adalah “vonis” yang berada dalam ruang lingkup bidang lain, yaitu teologi atau akhlak. Namun karena berada dalam cakupan akhlak, vonis itu tidak mengandung unsur legal, melainkan tuntunan saja.

Jadi ukuran (‘illah) halal-haram pacaran, hemat saya, terletak pada persentuhan fisik antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim dan belum terikat dalam pernikahan yang sah, bukan pada perasaan saling mencintai.

Opini ini tentunya dapat kita diskusikan kembali bersama-sama. Saya tidak mengatakan bahwa pacaran itu halal, namun penting kiranya untuk mendudukkan prinsip-prinsip keilmuan pada posisi epistemologisnya masing-masing.

Baca Juga:  UAS Hina Salib: Saya Muslim, Saya Bela Hak Saudara Non Muslim

Sebagai guru, saya lebih suka melarang murid-murid berpacaran dengan alasan karena pacaran hanya buang-buang waktu, pikiran dan tenaga. Belum lagi soal kapitalisme yang memanfaatkan percintaan sebagai ladang menumbuhkan hasrat konsumerisme.

Padahal, diri mereka yang masih muda dan enerjik dapat dimanfaatkan untuk banyak belajar, berkarya dan mengabdikan diri pada masyarakat. Soal cinta biarlah Tuhan sendiri yang sibuk mempertemukan kita dengan jodoh pilihan-Nya.

Akhirnya, saya ingin mengutip apa kata Abu Hasan ‘Ali al-Hujwiri tentang cinta dalam kitabya Kasyf al-Mahjub. Seperti kata cinta dalam bahasa Arab, yakni hubb, yang seakar dengan kata habbah yang berarti biji, al-Hujwiri mengatakan bahwa cinta adalah biji yang nantinya akan tumbuh menjadi batang dan dahan sebagai tempatnya bersemainya buah dan bunga-bunga.

Cinta dengan demikian adalah sumber kehidupan. Seperti halnya biji  yang menjadi dasar dan permulaan bagi segala sesuatu yang nantinya akan tumbuh dan menjadi ada.

Cinta adalah juga energi, penggerak hati dan jiwa yang akan menghasilkan sikap, perbuatan dan perilaku, atau dalam keadaan tertentu cinta juga mewakili perasaan sedih, rindu, dan cemburu. Agama tidak melarang jatuh cinta, malah merayakannya.

Yunizar Ramadhani