Jika Terdapat Jenazah Tanpa Ahli Waris, Mau Dikemanakan Harta Peninggalannya?

Jika Terdapat Jenazah Tanpa Ahli Waris, Mau Dikemanakan Harta Peninggalannya?

PeciHitam.org Banyak dimensi hukum yang dibahas ketika seorang muslim meninggal dunia. Urusan dengan dunia memang sudah selesai baginya, akan tetapi harta, utang dan ketentuan ibadah yang tertinggal menimbulkan bahasan tersendiri bagi Ulama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Normalnya, seorang yang meninggal dari golongan Muslim akan meninggalkan ahli waris atau keluarga. Ahli waris dari bisa berasal dari dua segi, yakni sebab nasab yaitu ayah, ibu, kakek, anak, cucu, kakak atau adik. Sedangkan satu sisi karena pernikahan yakni istri dan lain sebagainya.

Jatah terhadap harta warisan atau hutang yang ditinggalkan ditanggung oleh ahli waris, tidak terkecuali tanggungan Ibadah yang tertunda.

Kondisi tidak normal ketika membahas hukum jenazah tanpa ahli waris karena kehidupan masa lalu seseorang yang tidak diketahui. Banyak faktor yang melatar belakangi orang tidak memiliki ahli waris karena kehidupan manusia berbeda satu dengan lainnya.

Daftar Pembahasan:

Jenazah Tanpa Ahli Waris dan Warisannya

Umumnya, seorang Islam yang meninggal akan meninggalkan warisan atau peninggalan. Warisan yang ditinggalkan oleh orang meninggal bisa berupa tanah, tabungan, benda bergerak dan non-bergerak atau berupa aset lainnya.

Setelah meninggal dunia, jenazah tidak akan membawa harta tersebut dan ditinggalkan kepada ahli waris yang akan menguasai harta tersebut. Masing-masing ahli waris akan mendapatkan jatah pembagian berbeda-beda tergantung kedekatan hubungan keluarga dan jenis kelaminnya.

Kumpulan ahli waris yang mempunyai potensi untuk mendapatkan warisan berjumlah 10 orang yakni, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak lelaki, ayah, kakek, saudara lelaki, anak lelaki dari saudara laki-laki, paman dari ayah, anak laki-laki dari paman jalur ayah, suami dan laki-laki mantan tuan ketika menjadi budak.

Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin menjelaskan tentang pembagian warisan jika dalam keadaan ahli waris lengkap;

 إِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ الْوَارِثُونَ وَرِثَ مِنْهُمُ الِابْنُ، وَالْأَبُ، وَالزَّوْجُ فَقَطْ

Artinya: “Bila para ahli waris laki-laki berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi dari mereka adalah anak laki-laki, bapak, dan suami saja”

Jika kasus langka terjadi yakni hukum jenazah tanpa ahli waris maka harta peninggalannya jatuh kepada Baitul Maal. Dasarnya adalah dari Kompilasi Hukum Islam;

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI)

Kasus langka ini bisa terjadi karena kemisteriusan asal usul keluarga jenazah yang meninggal. Bukan hanya warisan yang dinisbahkan kepada Baitul Maal milik orang Islam, tanggungan jenazah tersebut juga jatuh kepada tanggung jawab kaum muslimin pada umumnya.

Baca Juga:  Hukum Waris dalam Islam di Indonesia, Sudah Sesuaikah?

Jenazah dan Hutangnya

Pembahasan di atas membahas pihak-pihak yang mendapatkan harta tinggalan atau warta warisan yang ditinggalkan jenazah. Bagi mereka yang  memiliki ahli waris, pembagiannya mengikuti hukum waris islam atau faraidh atau diperbolehkan dengan asas kekeluargaan.

Selain dikaitkan dengan harta peninggalan yang biasanya menjadi rebutan ahli waris, pembagian beban utang jenazah harus dipikirkan bahkan sebelum jenazah dikuburkan. Dalam Islam disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah karena ia memiliki hutang tertanggung. Bahkan Allah SWT berfirman;

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ (١١

Artinya; (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya” (Qs. An-Nisaa’: 11)

Bahkan di Nusantara ada tradisi/ budaya yang mengikrarkan beralihnya hutang jenazah kepada ahli waris untuk membebaskan beban jenazah sebelum dimakamkan.

Biasanya anak atau ahli waris jenazah membuat maklumat bahwa hutang jenazah ditanggung keluarga dan akan mendapatkan haknya segera.

Kasus di atas adalah gambaran jenazah yang memiliki ahli waris dan ketika tidak maka hukum jenazah tanpa ahli waris kembali seperti kasus warisannya. Semuanya masuk dalam kategori tanggungan Umat Islam.

Jika harta yang ditinggalkan oleh seseorang tanpa ahli waris maka hartanya jatuh kepada Baitul Maal untuk kepentingan Umat Islam. Maka Hukum jenazah tanpa ahli waris tanggungan utangnya dikembalikan kepada kaum Muslimin.

Sebagaimana harta warisan, hukum jenazah tanpa ahli waris yang meninggalkan tanggungan menjadi tanggung jawab komunal atau Umat  Islam secara Umum. Umat Islam harus bahu membahu membantu menyelesaikan hutangnya dan menghitungkan baginya.

Pendapat kecil Ulama menyebutkan, Hukum Jenazah tanpa ahli waris yang memiliki tanggungan hutang, maka pelunasan hutangnya dibebankan kepada zakat dengan mengambil jatah bagian Gharim. Akan tetapi pendapat ini lemah, karena tidak ada mustahik zakat yang sudah meninggal.

Baca Juga:  Tuntunan Lengkap Sholat Jenazah: Mulai dari Hukum, Syarat & Rukun hingga Tata Caranya

Kiranya hutang yang ditanggung oleh jenazah tanpa ahli bisa diselesaikan menggunakan harta yang tinggalkan. Pengurusan seperti ini sama seperti pengurusan jenazah pada umumnya.

Hutang Sholat dan Puasa Jenazah Tanpa Ahli Waris

Dalam masyarakat banyak fenomena sosial dan variasinya yang menimbulkan hukum baru yang tidak ada masa dahulu. Tidak berarti tidak ada hukum pada masa dahulu tidak bisa dihukumi pada era modern. Seperti bagaimana hukum jenazah yang meninggalkan shalat dan puasa.

Jamak ditemukan di masyarakat kita, seorang muslim meninggal dan banyak meninggalkan jejak bolong puasa dan shalat. Bagi ahli warisnya yang mengetahui hukum dan berniat untuk menggantikan hutang shalat orang tua dan puasanya.

Islam pada dasarnya tidak mengenal Hutang shalat untuk diqadha kecuali bagi mereka yang Haid ketika sudah masuk waktu sholat. Dijelaskan dalam kitab fathul mu’in sebagai berikut;

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه وفي قول: إنها تفعل عنه، أوصى بها أم لا، حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Artinya; “Orang yang sudah meninggal dan memiliki tanggungan shalat wajib tidak diwajibkan qadha dan tidak pula bayar fidyah. Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini. Bahkan, As-Subki melakukan (qadha shalat) untuk sebagian sanak-familinya”

Kitab Fathul Mu’in menyebutkan pendapat yang menyatakan tidak ada beban membayar hutang shalat yang ditinggalkan atau diganti dengan fidyah. Pendapat lainnya menunjukan adanya anjuran untuk mengqadha shalat bagi jenazah yang mempunyai hutang shalat.

Baik jenazah sebelum meninggalnya mewasiatkan untuk mengadha atau tidak ada perintah untuk mengqadhanya. Rangkuman pendapat dalam kitab fathu mu’in di atas sebagai berikut;

  1. Muslim yang meninggalkan shalat dan kemudian meninggal dunia tidak ada istilah ‘Hutang Shalat’. Jenazah yang meninggalkan shalat dibiarkan untuk dihisab dan ahli warisnya hanya berkewajiban mendoakan semoga dosa meninggalkan shalat terampuni.
  2. Membayarkan fidyah dari sejumlah shalat yang ditinggalkan, yakni setiap 1 waktu shalat sebesar 1 Mud (sekitar 6,7 – 7 Ons). Anjuran untuk membayar fidyah bagi jenazah disamakan dengan Qiyas meninggalkan puasa. Pihak yang membayarkan fidyah atau pengganti adalah ahli warisnya.
  3. Mengqadha shalat bagi jenazah karena diqiyaskan dengan puasa dan dibayarkan fidyahnya oleh ahli waris. Besaran fidyah atau pengganti selama meninggalkan 1 shalat yakni 1 mud (0,67 – 0,7 kg).
Baca Juga:  Hukum Mengawetkan Jenazah dalam Islam, Bolehkah?

Pendapat kedua dan ketiga untuk membebankan tanggungan kepada ahli waris merupakan hasil rujukan dari hadits Riwayat Imam Bukhari RA sebagai berikut;

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

Artinya; “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).

Qiyas yang menyamakan Puasa dengan Shalat merujuk pada perintah keduanya sama-sama berkedudukan wajib. Maka ketika meninggalkan 1 hari puasa sama dengan meninggalkan 1 waktu shalat dan ketika 2 waktu shalat dendanya sama dengan 2 fidyah puasa.

Imam As-Subki melakukan pendapat untuk mengqadha shalat dan membayar fidyahnya seperti dalam pendapat ketiga. Sedangkan hukum Jenazah tanpa ahli waris jika mengikuti pendapat ketika mengqadha dan membayar fidyah dibebankan kepada Umat Islam secara komunal.

Hukum jenazah tanpa ahli waris untuk diqadha dan dibayarkan fidyahnya di Qiyaskan dengan Hadits dari Ibnu Abbas;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ امْرَاَةً قَالَتْ: يَارَسُولَ اللهِ اَنَّ اُمِّي مَاتَتْ وَ عَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ اَفَاَصُوْمُ عَنْهَا ؟ قَالَ: اَرَاَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتُهُ اَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكَ عَنْهَا ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ فَصُوْمِى عَنْ اُمِّكِ 

Artinya; “Dari Ibnu Abbas r.a: sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah SAW: “ya Rasulullah s.a.w, sesungguhnya ibuku telah meninggal duniam dan ia meninggalkan keajiban puasa nadzar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?” rasulullah SAW, menjawab;”apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunya hutang, dan kamu membayarnya. Apakah hutangnya terbayarkan?”. Perempuan tadi, menjawab: “ia”. Dan Nabi s.a.w, bersabda: “berpuasalah untuk ibumu” (HR. Muslim).

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan