Agungnya Kalimat Tauhid, Kafir 70 Tahun Dihapus dengan “Laa Ilaaha Illallah”

Kalimat Tauhid

Pecihitam.org – Kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallah” kalimat yang usianya lebih tua dari usia manusia di bumi bahkan sebelum adanya alam semesta ini. Ia adalah kalimat yang diucapkan oleh para malaikat, nabi dan rasul sejak zaman Nabi Adam hingga seluruh manusia yang mengaku Islam pada hari ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ia adalah kalimat di mana manusia bersaksi di hadapan Tuhan-nya sebelum terlahir ke dunia di mana tidak ada satupun manusia yang benar-benar terhapus ingatannya akan perjanjian ini (fitrah). Allah Swt berfirman;

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS al-A’raaf: 172).

Begitu mulianya kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah” hingga ketika seseorang mengucapkannya, maka haram untuk menumpahkan darahnya.

Daftar Pembahasan:

Agungnya Kalimat Tauhid

Gus Baha (KH. Baha’uddin Nursalim) pernah menyampaikan bahwa betapa agungnya kalimat tauhid ini. Bila ada orang yang kafir selama 70 tahun kemudian ia melafadzkan lafadz La Ilaha Illallah, maka kekafirannya selama 70 tahun di hapus oleh kalimat tersebutdan seluruh dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.

Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitab Zaadul Ma’ad kitab kesayangan Sayyid Abdullah Al-Hadad, kalimat tauhid itu sangat luar biasa, kalimat yang super. Allah membuat surga dan neraka itu demi kalimat ini. Siapa yang menerima kalimat ini makan masuk surga dan barang siapa menolak kalimat ini maka ia akan masuk neraka.

Seperti yang kita ketahui, neraka itu bila sebuah batu di lempar ke dalamnya, untuk sampai kedasar menunggu sampai 70 tahun. Bayangkan 70 tahun, seperti apa kedalamannya? Dan itu di peruntukkan bagi manusia yang menolak kalimat La ilaha ilallah.

Agar manusia menerima konsep kalimat tauhid ini, maka diciptakanlah langit dan bumi dan karena manusia itu butuh pelatih maka diutuslah para Rosul untuk melatih kalimat Laa illaha ilallah.

Saking pentingnya, Gus Baha berpesan pada santri-santri Aswaja harus yakin bahwa kalimat ini adalah كلمة دخل الكافر اسلام (kalimat yang mampu membuat orang kafir selama hidupnya terhapus menjadi muslim). Namun sekarang banyak gerakan atas nama yang sama, malah mempergunakan sebaliknya, menganggap orang islam menjadi kafir.

Imam Abul Hasan As-Syadzilli menafsirkan:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Imam Abul Hasan As-Syadzilli menerangkan agar kamu camkan kalimat tersebut dalam hatimu untuk dirimu sendiri baru kemudian kamu istighfari (mohonkan ampunan) kepada keluarga atau orang yang kamu tuju. Jadi sahnya mengistighfarkan orang lain itu hanya dengan satu syarat yakni dia ahli kalimat La Ilaha Illallah.

Mengucap Kalimat Tauhid Saja Tidak Cukup

Secara umum, bertauhid dipahami dengan berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah atau mengucap kalimat La ilaha illallah dengan penuh keyakinan akan maknanya. Namun dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah mengucap kalimat tauhid saja tidaklah cukup membuat seseorang bertauhid kecuali jika ia memenuhi lima aspek teologis islam.

Selain mengucap kalimat tauhid, kelima hal tersebut diterangkan Imam al-Halimy (338-403 H), seorang pakar hadits terkemuka dan sekaligus teolog besar dalam Islam, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Baihaqi (384-458 H) dalam karyanya yang berjudul Syu’ab al-Iman berikut:

Baca Juga:  Inilah Empat Sifat Allah yang Menitis kepada Manusia

وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ بِالِاعْتِقَادِ، وَالْإِقْرَارِ مَجْمُوعُ عِدَّةِ أَشْيَاءَ أَحَدُهَا إِثْبَاتُ الْبَارِئِ جَلَّ جَلَالُهُ لِيَقَعَ بِهِ مُفَارَقَةُ التَّعْطِيلِ، وَالثَّانِي: إِثْبَاتُ وَحْدَانِيَّتِهِ لِتَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ، وَالثَّالِثُ: إِثْبَاتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِجَوْهَرٍ وَلَا عَرَضٍ لِيَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنَ التَّشْبِيهِ، وَالرَّابِعُ: إِثْبَاتُ أَنَّ وُجُودَ كُلِّ مَا سِوَاهُ كَانَ مَعْدُومًا مِنْ قَبْلِ إِبْدَاعِهِ لَهُ وَاخْتِرَاعِهِ إِيَّاهُ لِيَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنْ قَوْلِ مَنْ يَقُولُ بِالْعِلَّةِ وَالْمَعْلُولِ وَالْخَامِسُ: إِثْبَاتُ أَنَّهُ مُدَبِّرٌ مَا أَبْدَعَ، وَمُصَرِّفُهُ عَلَى مَا يَشَاءُ لِيَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنْ قَوْلِ الْقَائِلِينَ بِالطَّبَائِعِ، أَوْ تَدْبِيرِ الْكَوَاكِبِ أَوْ تَدْبِيرِ الْمَلَائِكَةِ،

“Amal shalih dengan beraqidah dan memberikan pengakuan (terhadap Allah) adalah kumpulan dari beberapa hal berikut;
• Pertama, menetapkan adanya Sang Maha-Pencipta, supaya bebas terlepas dari peniadaan Tuhan (ateisme).
• Kedua, menetapkan ke-Esaan-Nya, supaya bebas terlepas dari syirik.• Ketiga, menetapkan bahwa Allah bukanlah jauhar (substansi; materi) atau ‘aradh (aksiden atau atribut materi), supaya bebas terlepas dari penyerupaan Allah dengan makhluknya.
• Keempat, menetapkan bahwa apa pun selain Allah asalnya adalah tidak ada sebelum Allah mencipta dan membuatnya ada, supaya bebas terlepas dari pendapat yang menyatakan adanya ‘illah (sebab) dan ma’lul (akibat).
• Kelima, menetapkan bahwa Allah Maha Mengatur semua, Dia ciptakan dan mengaturnya sesuai kehendak Allah, hal ini agar bebas dari pendapat yang mengatakan adanya thaba’i (hukum alam yang berlaku dengan sendirinya)” (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, I, 190-191).

Penetapan kelima aspek kalimat tauhid tersebut dijabarkan sebagai berikut:

Pertama. Seseorang harus meyakini bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan sebagai penciptanya. Tuhan ini benar-benar ada, bukan sekedar konsep atau imaginasi belaka. Keberadaannya dapat diketahui dengan keberadaan seluruh alam ini yang mustahil ada dengan sendirinya dari ketiadaan tanpa ada sosok yang merancangnya.

Dengan ini, orang tersebut sudah berbeda dengan sebagian pemikir yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak punya Tuhan melainkan sudah ada dengan sendirinya dari unsur-unsur pembentuk, seperti tanah, air, udara dan api, atau yang mengatakan bahwa yang ada di dunia hanyalah materi yang kasat mata saja dan tak ada apa pun di balik itu.

Kedua. Seseorang harus meyakini bahwa Allah itu Tuhan yang Esa atau tunggal. Esa di sini berarti meyakini kesendirian Allah sebagai Tuhan sejak masa yang tak punya awal mula. Dengan demikian, ia berlepas diri dari pihak-pihak yang meyakini bahwa dalam semesta ini ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling menyeimbangkan di mana kekuatan pertama menciptakan kebaikan dan kekuatan kedua menciptakan keburukan.

Ia juga berlepas dari keyakinan sebagian orang yang meyakini ada materi kekal yang ada bersama Tuhan di mana Tuhan menciptakan alam semesta dari bahan baku materi tersebut. Dengan demikian secara pasti ia juga berlepas diri dari keyakinan yang menyatakan bahwa Allah punya saingan-saingan sebagai sesembahan.

Ketiga. Meyakini bahwa Dzat Allah pasti bukanlah materi tunggal (jauhar) atau susunan materi sedemikian rupa hingga membentuk rangkaian dan volume (jism) dan bukan pula berupa atribut-atribut temporer yang menyatu pada Dzat (‘aradl) seperti: ukuran, jumlah, warna, batasan tempat, batasan waktu, mekanisme, perbuatan fisik, efek perbuatan, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan kalangan Mujassimah yang mengatakan bahwa Allah adalah jisim/sosok tiga dimensi (mempunyai panjang, lebar dan tinggi) yang menempati ruang tertentu.

Ia juga berlepas diri dari pihak yang berkata bahwa Allah bergerak dengan mekanisme (kaifiyah) tertentu atau duduk di atas Arasy dengan cara tertentu sebagaimana Raja duduk di atas singgasana. Jauhar dan ‘aradl adalah sifat khas makhluk yang berkonsekuensi pada adanya awal mula dan ketidakkekalan.

Baca Juga:  Betulkah Peristiwa Mi'raj Nabi Pertanda Allah di Langit? Ini Jawabannya

Keempat. Seorang mukmin harus meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah tidaklah ada dengan sendirinya tetapi dibuat oleh Allah sesuai kehendak-Nya. Bila Allah berkehendak menciptakannya, maka ia ada. Dan sebaliknya, bila Allah tak berkehendak menciptakannya, maka ia takkan pernah ada.

Dengan demikian, maka orang tersebut sudah berbeda dari sebagian filosof yang mengatakan bahwa keberadaan Allah menjadi sebab utama (‘illah) bagi keberadaan makhluk, dalam arti bila Allah ada, maka seketika itu makhluk juga akan ada sebagai akibatnya (ma’lul) secara berurutan dan terus menerus seperti sebuah mekanisme berantai.

Keyakinan semacam ini meniscayakan adanya materi kekal yang menjadi bahan baku bagi terciptanya makhluk pertama supaya mekanisme berantai tersebut bisa terjadi dan itu tidaklah benar.

Kelima. Seorang mukmin wajib meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengatur dan mengontrol alam semesta ini. Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan keyakinan sebagian orang yang berkata bahwa Malaikatlah yang mengatur dunia ini hingga mereka menyebutnya sebagai Dewa-dewa.

Juga berbeda dengan keyakinan beberapa astrolog yang meyakini bahwa kejadian di dunia diatur oleh pergerakan bintang dan planet tertentu, atau dengan para agnostik yang mengatakan bahwa semua kejadian di dunia diatur oleh hukum alam yang memang sudah ada dengan sendirinya di alam.

Imam al-Halimy kemudian menjelaskan bahwa kesemua aspek ini ada dalam satu pernyataan sederhana:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ ثَنَاؤُهُ ضَمَّنَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ كُلَّهَا كَلِمَةً وَاحِدَةً، وَهِيَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَمَرَ الْمَأْمُورِينَ بِالْإِيمَانِ أَنْ يَعْتَقِدُوهَا وَيَقُولُوهَا

“Sesungguhnya Allah Yang Maha Terpuji mengumpulkan seluruh aspek makna ini dalam satu kalimat, (kalimat tauhid) yakni “Laa ilaaha illallah” “Tiada Tuhan selain Allah” dan memerintahkan manusia untuk meyakininya dan mengatakannya”. (al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, I, 193)

Kalimat Tauhid yang Ternodai

Selain fenomena hijrah, akhir-akhir ini sering kita jumpai berbagai atribut bertuliskan kalimat tauhid yang seakan mengidentitaskan keagamaan seperti bendera, topi, kaos, spanduk, ikat kepala, bahkan ada pula yang di cincin dll. Atribut-atribut ini banyak dijual bebas baik offline maupun online.

Alih-alih dengan jargon mengagungkan kalimat tauhid, terkadang malah membuat keagungan kalimat tauhid tersebut ternodai. Lihat saja sering kita jumpai saat terjadi aksi masa yang membawa bendera bertuliskan kalimat tersebut terinjak-injak dan bahkan ditempatkan pada tempat yang bukan semestinya.

Berbanding terbalik dengan hal diatas, kita jarang sekali malah hampir tidak melihat lambang atau kalimat tauhid terpampang pada acara-acara di pesantren. Seperli di diacara haul, haflah akhirussanah, istigoshah, maulid dan lainnya.

Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu kalimat yang agung? Apa kalangan kaum sarungan kurang ghirah keislamannya? Apa mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau mereka ternyata tidak senang dengan kalimat tauhid?

Tidak juga, faktanya justru para Kyai dan santri lah yang lebih akrab dengan kalimat ini dari pada kita atau orang-orang yang gemar memamerkan simbol bendera atau ikat kepala berlafaldkan kalimat tauhid. Selain dikumandangkan lima kali sehari kala adzan, kalimat tauhid selalu diwiridkan dan diletakkan kedalam sanubari mereka secara berjamaah setiap selesai sholat.

Sering kali setelah sholat mereka melafaldkan: “Afdhaludz-dzikri fa’lam annahu; Laa ilaaha illallaah” secara bersama-sama diwiridkan oleh imam dan makmum. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil dan sholawat tambahan lainnya.

Jika demikian, mengapa jarang sekali terlihat symbol atau lambang kalimat tauhid dilingkungan pesantren?

Baca Juga:  Rukun Iman Ada 6, Waspada Jika Menemukan yang Berbeda

Ikhtiyath atau sifat kehati-hatian adalah tradisi moral kalangan santri dalam berfiqih. Dalam fiqih para santri sangat berhati-hati pada segala hal. Apalagi jika kaitannya dengan kalimat tauhid, oleh kalangan santri tidak boleh sembrono meletakkan kalimat agung tersebut pada sembarang tempat.

Ada yang mengatakan bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, terinjak atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.

Itulah mengapa hampir tidak pernah kita temui symbol-simbol bertuliskan kalimat tauhid terpampang bebas di kalangan para santri. Karena khawatirnya jika kalimat tersebut dicetak pada pakaian seperti kaos, baju, topi, atau yang lainnya, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci.

Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Jika dicetak di stiker-stiker bisa saja terjatuh atau terbengkalai begitu saja.

Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu ID, baju almamater, dan lainnya karena jika kalimat ini berada di tempat-tempat tersebut sangat rawan terabaikan dan bisa saja kurang terjaga kesuciannya. Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya.

Memuliakan Kalimat Tauhid

Almarhum simbah Kyai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam hal ikhtiyath perkara tauhid. Kalimat tauhid, bagi Mbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Quran. Bahkan menurut penuturan santrinya, dingklik (kursi kayu kecil) yang biasa digunakan untuk membaca Quran pun beliau muliakan.

Pernah suatu kali hendak salat jamaah Isya di bulan Ramadan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakang santrinya. Ketika beliau lewat, dingklik itu beliau pindah ke samping agar tidak dibelakangi.

Bahkan tulisan ‘almunawwir’ pun sangat beliau muliakan, sebagaimana dikisahkan oleh santri bernama Kang Tahrir, santri ndalem Mbah Zainal. Memang lazim di Krapyak, para santri membuat stiker kecil bertulis ‘almunawwir community’. Fungsi stiker ini untuk menandai kendaraan santri sehingga mudah dikenali. Biasanya dipasang di spidometer, plat nomor, atau body sepeda motor.

Kang Tahrir menuturkan, Mbah Zainal tidak berkenan jika melihat ada nama ‘almunawwir’ kok dipasang di slebor, lebih rendah dari lutut, atau tempat-tempat lain yang kurang pantas. Biar bagaimanapun, ‘almunawwir’ adalah nama pesantren sekaligus nama pendirinya yang merupakan ulama besar ahli Quran Nusantara, simbah Kyai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.

Sebegitu hati-hatinya sikap beliau terhadap nama ‘almunawwir’. Lebih-lebih terhadap ayat-ayat Quran, hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Begitulah Ikhtiyat Mbah Kyai Zainal Abidin, ayat-ayat Al Quran dan kalimat tauhid tidaklah berkibar di bendera atau ikat kepala, melainkan sudah terpatri kuat di dalam sanubari beliau.

Itulah mengapa dikarenakan begitu hebat dan agungnya kalimat tauhid, kalangan pesantren sangat berhati-hati dalam memperlakukannya. Maka dari itu nasehat bagi rekan-rekan yang gemar menunjukkan identitas keislaman dengan memasang kalimat tauhid pada benda-benda tertentu agar wajib menjaga supaya kalimat tersebut tetap terjaga dengan baik dan tidak diletakkan pada sembarang tempat. Jika di kawatirkan tidak bisa menjaga maka lebih baik untuk tidak memasangnya.

Wallahu’alam Bisshawab

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik