Pecihitam.org- Tidak banyak kajian yang membahas tentang sifat dasar dari macam-macam kategori hukuman dalam hukum pidana Islam ini. Para ahli hukum Islam, terutama yang klasik dan menengah, tampaknya tidak begitu tertarik dengan bahasan semacam ini.
Terutama dalam hal hukuman hadd, para ulama tampaknya lebih dipengaruhi oleh suatu pemahaman bahwa sumber-sumber tekstual sudah memberikan rumusan yang matang dan jelas tentang bentuk hukuman yang harus diberikan sehingga mereka cenderung untuk tidak lagi memikirkan legal reasoning (alasan rasional) yang ada dibalik bentuk-bentuk hukuman tersebut.
Namun begitu, di tengah-tengah minimnya produk-produk analisis mengenai teori dasar hukuman ini, beberapa ulama sejak periode awal sesungguhnya juga sudah berupaya ke arah pemikiran kritis terhadap lembaga hukuman ini.
Misalnya Ibn al-Qayyim, dalam I’lam al-Muwaqqi’in (di samping karya-karyanya yang lain), sudah berusaha untuk menganalisis lembaga hukuman ini dalam keilmuan pidana Islam (Ibn al-Qayyim, 1955: 93-111).
Namun sayangnya setelah masa Ibn al-Qayyim, subjek ini kembali banyak dilupakan oleh para Muslim juris. Baru pada periode modern inilah para ahli hukum Islam kembali membahas dengan detail topik ini dalam karya-karya mereka.
Islam dengan nilai luhur yang dikandungnya tidak akan terungkap apabila teknik pemahaman yang dimiliki tidak artikulatif. Demikian pula dengan hukum pidana Islam.
Dalam setiap kajian hukum pidana maka aspek yang dianggap paling penting adalah kajian tentang hukuman yang akan ditimpakan kepada pelanggar hukum. Oleh karenanya, pemahaman yang proporsional tentang filosofi hukuman dalam pidana Islam menjadi sangat penting.
Secara teoritis, isu pembaharuan dalam Islam dipicu oleh dua variabel, yaitu;
(1) Stimulasi dari perkembangan modern dunia Barat yang demikian maju dalam segala hal, sehingga memicu dan memaksa dunia Islam untuk menyesuaikan sedemikian rupa dengan perkembangan tersebut. Teori ini seringkali dipakai oleh kelompok sekuler
(2) Adanya fleksibilitas dari ajaran Islam itu sendiri secara substantif. Artinya, untuk tetap eksis maka ajaran Islam harus mampu bergerak secara dinamis sehingga tidak ketinggalan zaman. Teori kedua ini merupakan jargon utama dari kelompok modernis (Rifyal Ka’bah, 1987: 50).
Beberapa ahli kriminologi dan psikologi sosial berpendapat bahwa suatu tindak kejahatan yang dapat dikenakan hukuman adalah suatu perbuatan yang telah diperhitungkan secara rasional. Artinya, perbuatan tersebut telah terpenuhi unsur-unsur pidananya sehingga pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Jadi, salah satu unsurnya adalah “kesengajaan”. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang mengatakan bahwa suatu perbuatan itu tergantung dari niat yang melandasi perbuatan tersebut.
Dalam hukum pidana Islam, kategori hukuman terhadap perbuatan-perbuatan kriminal yang masuk dalam kategori hudud adalah minum-minuman keras/memabukkan, mencuri, perampokan, berzina, menuduh orang lain berzina, dan murtad, merupakan bentuk hukuman yang secara teoritis disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad.
Selain dari qisas (retaliation), yang merupakan hukuman untuk perbuatan pembunuhan atau melukai seseorang, semua pelanggaran pidana yang lainnya masuk dalam kategori hukuman / ta’zir. Walaupun mayoritas ulama sepakat dengan pembagian seperti ini namun tidak berarti tidak ada ulama-ulama minoritas yang berpendapat lain.
Perbedaan ini tampaknya terfokus pada jenis perbuatan apa yang masuk dalam kategori hudud, apakah lebih dari enam perbuatan sebagaimana yang disebutkan di atas atau kurang dari enam, sebagai akibat dari pemahaman mereka yang berbeda-beda terhadap sumber tekstual ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis tersebut (Mohammed S. ElAwa, 1982: 2).