Kaum Sufi di antara Wahabi dan Syiah

kaum sufi, wahabi dan syiah

Pecihitam.org – Wahabi dan Syiah adalah dua aliran dalam Islam yang berlawanan paham namun sangat ekstrim. Wahabi begitu mencintai sahabat, namun juga sangat membenci Ahlul Bait (keluarga/keturunan Nabi).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di lain sisi, Syiah sangat berlebihan mencintai Ahlul Bait, namun juga membenci sahabat. Bagaimana dengan kaum sufi? Kaum Sufi, mencintai keduanya, Ahlul Bait dan juga para sahabat.

Perbedaan yang mencolok dari tiga kelompok di atas dikarenakan perbedaan penafsiran nash-nash Alquran maupun hadis nabi.

Wahabi menafsirkan teks Al Quran dan hadis terlalu tekstual hanya kulit luarnya saja. Syiah menafsirkan teks al Quran dan hadis secara substantif. Sedangkan kelompok Sufi menjelaskan bahwa substansi dari ayat-ayat tersebut hanya diperoleh melalui komunikasi manusia dengan Tuhan.

Sikap ekstrim wahabi muncul karena kesalahan mereka dengan memutlakkan pemahaman ayat-ayat tentang siksa (al-‘azab), bentuk turunan (derivatif), dan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan siksa. Itu sebabnya mereka selalu menuduh kafir yang tidak sepaham dan yang kafir harus masuk neraka.

Adapun sikap longgar kaum fundamentalis juga berawal dari memutlakkan ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dermawan, ampunan, taubat, dan sebagainya.

Baca Juga:  9 Bocoran Kunci Kesuksesan Dakwah Rasulullah yang Bisa Kita Teladani

Kedua pemutlakan tersebut sebetulnya juga cukup mustahil dan kurang logis, hal ini bisa dijawab dengan dua argumen:

  • Pertama, tidak mungkin selamanya menonjolkan sifat Allah al-muntaqim (Maha Pemberi Balasan ), tanpa mengakui Allah sebagai Pemberi ampunan dan rahmat.
  • Kedua, tidak mungkin selalu bicara ampunan dan rahmat, kemudian melupakan sifat-sifat Allah sebagai pemberi balasan dan pemaksa (al-Jabbar).

Jika hanya menyematkan satu sifat Allah dengan menafikkan sifat yang lain itu sama saja mengatakan bahwa Allah memiliki sifat kekurangan dan tidak sempurna. Padahal Mustahil bagi Allah memiliki kekurangan.

Nah, Wahabi dan Syiah ini sama-sama mengambil satu sisi jurang pemahaman dalam Islam dan melupakan sisi-sisi yang lain. Padahal, Islam harus memiliki dua sisi tersebut agar berjalan seimbang, seiring-seirama. Inilah yang dinamakan sikap wasathiyyah. Tidak condong ke kiri dan tidak condong ke kanan.

Oleh karenanya, perlu ada keseimbangan dalam memahaminya. Tidak boleh kemudian hanya mengingat rahmat Allah, lantas mengabaikan aspek yang lain. Sehingga jangan sampai keluasan rahmat melenyapkan skenario Tuhan.

Baca Juga:  Menjawab Tuduhan, Benarkah Kaum Sufi Anti Surga dan Tak Takut Neraka?

Namun juga kita dilarang merasakan kekerasan dan kemudian menafikan kelembutan. Jadi jangan sampai rasa takut yang berlebihan lantas memupus harapan dan rahmat Allah.

Pada perjalanannya, Wahabi kemudian banyak melahirkan beberapa organisasi baru yang berbeda dari asalnya. Begitu pula syiah memunculkan ajaran dan gerakan baru dengan sempalan-sempalan syiah lainnya.

Sedangkan kaum sufi, jelas memiliki organisasi dan gerakan yang jauh berbeda dari kedua kelompok di atas. Namun jika di ambil benangmerah sebenarnya tujuannya sama, yaitu menggapai Cinta Tuhan. Hanya caranya yang berbeda-beda.

Jelasnya adalah, ketika Allah mewajibkan shalat, Nabi Muhammad saw. mengajarkan tata cara shalat. Dari sini kemudian terdapat perbedaan tata cara salat. Sebetulnya hal-hal seperti inilah letak perbedaannya, ringan dan tidak signifikan.

Berbeda lagi dengan puasa dan haji, Allah Swt langsung memberitahukan tata cara puasa dan haji di dalam al Quran. Itu sebabnya tidak ada perbedaan dalam pelaksanaannya.

Kemudian lagi misalnya, Allah mewajibkan dzikir namun tidak mengajarkan tata cara zikir secara langsung. Nah, tidak adanya pengajaran langsung terkait tata cara pelaksanaan dzikir ini, bukan berarti menunjukkan kekurangan Allah dan Rasul-Nya.

Baca Juga:  Banyak Muslim Indonesia yang Suka Memakai Jubah, Inilah Awal Mulanya Digunakan

Tujuan dari hal ini agar supaya pelaku dzikir dapat memilih tata cara dan jalan dzikir yang cocok dengan masing-masing. Tak seorangpun dapat membatasi cara, bentuk, dan waktu berzikir.

Karena perbedaan hanya sebatas pada masalah khilafiyah atau bukan hal yang prinsipil. Seharusnya tak perlu ada pertengkaran dan saling klaim benar sendiri. Itu sebabnya kaum sufi senantiasa mengambil sikap wasathiyah (tengah-tengah).

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik