Kebatinan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Sebuah Karya Sastra Agung “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

Kebatinan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Sebuah Karya Sastra Agung “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

Pecihitam.orgSunan Kalijaga atau Raden Sahid adalah sosok Wali yang berasal dari tanah Jawa. Putra Tumenggung atau Bupati Tuban. Sunan Kalijaga juga dikenal dengan beberapa nama: Syaikh Melaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nama-nama ini memiliki kaitan erat dengan sejarah perjalanan hidup sang wali. Selain ia seorang putra bangsawan di tanah Jawa, Sunan Kalijaga adalah salah satu orang yang membawa Islam di Tanah Mataram.

Alkulturasi budaya dan agama Kanjeng Sunan lakukan dengan berbagai bentuk seperti wayang kulit, kidung, tarian dan juga musik. Kedatangan Islam di tanah Jawa membawa nuansa yang berbeda yaitu dengan mencoba mengakulturasikan budaya dengan agama Islamisasi Kultur Jawa.

Hadirnya Islam di Nusantara membuat istilah dan nama yang sebelumnya tidak pernah didengarkan oleh masyarakat Jawa. Nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum atau norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan.

Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam yang diartikan sebagai upaya pengintegralisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam, sehingga Islam menjadi menJawa.

Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam ke Jawa yang ke Islaman sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen.

Kalangan ulama Nusantara pada waktu itu memang telah berhasil mengintegrasikan antara ke-Islaman dengan ke-Indonesiaan. lebih khusus lagi pada masyarakat Jawa yang telah terealisasikan oleh para walisongo.

Baca Juga:  Wajibkah Umat Islam Bertasawuf? Ini Penjelasannya

Dari alkulturasi budaya dan agama Islam sehingga berdampak pada masyarakat Jawa. Meraka akhirnya mengerti bahwa Islam bukan hanya menyangkut pada aspek nilai dan norma yang berkaitan dengan ideologi Arab saja melainkan agama Islam juga dapat menyatukan budaya Jawa dan masyarakat tanpa mengkikis budaya yang telah ada sejak nenek moyang masyarakat Jawa.

Strategi dakwah seperti ini, menurut penulis adalah strategi yang sangat baik. Karena bukan hanya bertendensi pada aspek Islam saja melainkan juga tradisi dan budaya yang telah ada.

Selanjutnya, bukti sejarah keberadaan Sunan Kalijaga dapat kita lihat dari makamnya yang terletak di tengah kompleks pemakaman Desa Kadilangu. Makamnya dilingkari dinding dengan pintu gerbang makam.

Area makam Sunan Kalijaga masih di dalam kota Demak kira-kira berjarak sekitar 3 km dari Masjid Agung Demak.  Sunan Kalijaga selain seorang Dalang Wayang, ia juga seorang shufi. Keshufianya terlihat dalam sebuah kidung yang ia karang yaitu Kidung Rumeksa Ing Wengi.

Kidung ini merupakan salah satu sarana dakwah dalam bentuk tembang yang popular dan menjadi “kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti.

Kidung Rumeksa Ing Wengi merupakan kidung yang memuat nilai-nilai tasawuf dan ketuhanan. Salah satu tulisan kidung yang memuat isi teologi dan tasawuf yaitu:

Baca Juga:  Berbagai Gelar Raden Syahid: Lokajaya, Syaikh Melaya dan Sunan Kalijaga

Ana Kidung rumeksa ing wengi Teguh hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah mring mami Guna duduk pan sirna

“Ada nyanyian yang menjaga di malam hari Kukuh selamat terbebas dari penyakit, terbebas dari semua malapetaka Jin atau setan jahat pun tidak ada yang berani Segala jenis sihir tidak berani Apalagi perbuatan jahat Guna-guna pun tersingkir Api akan menjadi air Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku Guna-guna sakti pun lenyap”.

Dari kata-kata ‘Ana Kidung rumeksa ing wengi’ (ada nyanyian yang menjaga di malam hari), Sunan Kalijaga ingin mengajak umat Islam saat itu untuk membaca dan mengamalkan sungguh-sungguh Kidung-nya ini demi keselamatan di malam hari.

Sebab dengan cara inilah niscaya mereka akan selamat dari berbagai macam kejahatan yang berasal dari jin, setan, dan manusia yang menggunakan ilmu hitam.

Malam hari menjadi waktu yang ditakuti oleh masyarakat waktu itu. Karena masih banyaknya ilmu hitam dan jin di sekeliling rumah. Oleh sebab itu, Sunan Kalijga juga membuat istilah Jawa Sang Sabda Kun ( Sang Guru Sejati atau Tuhan Yang Maha Esa ). Sang Sabda Kun adalah sabda yang salah satu menjadi pembuka dari matra untuk menangkal jin, setan dan ilmu hitam.

Baca Juga:  Benarkah Jika Sudah Bertasawuf Tidak Perlu Lagi Syariat? Ini Penjelasannya

Secara tersirat, Sunan Kalijaga merumuskan doa-doa dalam bentuk bahasa Jawa yang menjadi sebuah Kidung. Kidung adalah sebagai sarana dakwah Sunan Kalijaga dan mengajarkan kepada masyarakat untuk lebih mengenal agama tanpa mengikis tradisi Jawa yang sudah ada.

Sehingga ajaran tasawuf berupa doa berbentuk kidung tersebut dapat mudah diterima oleh masyarakat. Selain itu masyarakat juga lebih mengerti Kidung jika di bandingkan dengan doa Arab.

Oleh sebab itu, Kidung Rumeksa Ing Wengi adalah sebuah karya sastra agung yang dibangun atas dasar al-Qur’an. Banyak simbol-simbol di dalamnya yang menjadi makna filosofis yang sangat mendalam. Kidung Rumeksa Ing Wengi mempunyai nilai-nilai tasawuf yang dapat dipahami dengan pendekatan budaya.

Artinya pada zaman Sunan Kalijaga membangun sebuah pemahaman baru mengenai doa-doa dengan pendekatan budaya. Sehingga kemunculan kidung tidak dapat dilepaskan daripada tradisi yang sudah lama ada di tanah Jawa.

M. Dani Habibi, M. Ag