Pecihitam.org – Dalam catatan sejarah, sejak didirikan pada 1926 NU secara konsisten menentang komunisme, mencela doktrinnya sebagai ateis, serta cita-cita mengenai kepemilikan kolektif atas kekayaan dan properti sebagai laknat menurut ajaran Islam, tulis Greg Fealy dan Katharine McGregor dalam “Nahdlatul Ulama and the Killing of 1965-66: Religion, Politics, and Remembrance”.
Dalam cacatan tersebut juga dituliskan, bahwa awalnya anti-komunisme NU, sampai akhir 1940-an, kurang intens dibandingkan organisasi modern seperti Muhammadiyah dan Persis. Namun Sikap itu berubah setelah sejumlah kiai NU, yang saat itu tergabung dalam Masyumi, menjadi korban dalam Peristiwa Pemberontakan Madiun 1948.
Dalam sejarahnya, tidak sedikit para Kiai dan Santri NU yang menjadi korban kekejaman PKI. Mereka dibunuh secara keji, dicambuk, disayat dengan pisau, bahkan juga ada yang dikubur hidup-hidup.
Melansir dari Republika dalam Kisah PKI Memusuhi Kalangan Santri, gejolak pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur, pada 1948, sejak awal sudah terlihat secara nyata.
Saat itu pemerintah Kabupaten Madiun, berusaha meredam upaya pemberontakan dengan mengumpulkan tokoh masyarakat, kiai, dan kader PKI di Pendopo Madiun.
Namun, upaya menciptakan kedamaian tersebut justru menjadi titik awal perang saudara, yang melibatkan PKI dan masyarakat. Para tokoh masyarakat, kiai, santri dan pejabat yang diundang dalam agenda perdamaian itu, tak sampai menginjakkan kaki di pendopo.
Menurut Kiai Haji Khoirun saksi hidup pemberontakan PKI di Madiun mengatakan, “Mereka keburu diculik dan diangkut menggunakan berbagai kendaraan oleh PKI. Mereka dibawa ke berbagai tujuan secara berpencar, dan hingga kini tidak pernah diketahui keberadaannya. Bahkan ayah saya adalah satu dari korban pembunuhan massal yang tersebut. PKI dengan cara licik menjebak dan mengelabui para tokoh masyarakat, kiai, dan pejabat untuk dieksekusi secara kejam”, tuturnya.
Seusai peristiwa penculikan dan pembunuhan tersebut, dalam kurun waktu tiga bulan, Madiun seperti kota mati. Banyak mayat berserakan di pinggir-pinggir jalan tak diketahui identitasnya.
Propaganda PKI untuk menghancurkan umat Islam terus dilakukan dengan cara menciptakan kampanye anti kiai. Ulama digambarkan ibarat tikus yang harus dibasmi. Secara nyata, ilustrasi itu tertulis dalam pamflet target pembunuhan yang dipasang di berbagai titik keramaian. Nama Khoirun juga tertera sebagai salah satu target pembunuhan.
Melihat kondisi negeri yang terancam dominasi komunisme, naluri Khoirun muda yang saat itu menjadi santri di Pondok Pesantren Tegal Sari Ponorogo, bergejolak. Apalagi, saat dia mengetahui ada 16 orang teman santrinya di Pondok Mermo yang dibantai oleh PKI.
Khoirun juga melanglang buana ke Madiun dan berbagai tempat di wilayah Jawa Timur. Tujuannya cuma satu: mencari dan membunuh anggota PKI.
Pengalaman terburuknya adalah saat ia berperang di wilayah Banyuwangi. Khoirun mendapati kenyataan mengerikan dan menyayat hati, 43 warga Nahdatul Ulama (NU) diracun, dibantai, dan dimutilasi secara bersamaan.
Upaya Khoirun mencari dan mengejar PKI pembunuh rekan-rekannya ternyata harus dibayar mahal. Dalam pengejaran itu, ia dan sembilan rekannya terjerat dalam jebakan yang dipasang anggota PKI.
Tak ada pilihan lain, kecuali melawan dan terlibat aksi saling bunuh-membunuh dengan anggota PKI. Sayangnya, Khoirun dan rekan-rekannya kalah jumlah.
Mereka pun ditawan, disiksa dan dibakar dalam tungku berbahan kulit gabah yang terus-menerus menyala. Seusai dibakar, tubuh 10 pejuang anti-PKI ini diseret ke suatu tempat yang jauh, dengan siksaan tiada henti dari anggota PKI.
Dalam kondisi sangat lemah, seluruh kulit tubuh terkelupas, Khoirun dan rekan-rekannya yang tak berdaya dimasukkan ke dalam lubang sedalam 12 meter yang telah disiapkan oleh PKI.
Khoirun pun merasa sudah tidak memiliki harapan untuk hidup. Dengan sisa sisa kesadaran, ia menyaksikan gerombolan PKI menembaki mereka dari atas. Tak cukup memamerkan kebengisannya, gerombolan PKI ini juga melemparkan bebatuan berukuran besar ke dalam lubang berisi tubuh-tubuh sekarat.
Antara hidup dan mati, Khoirun merasa seperti sedang berjalan di sebuah jalan besar. Tiba-tiba, seperti kilatan petir menyambar tubuhnya, hingga membuat kesadarannya pulih. Khoirun tersadar dan tak percaya dengan peristiwa yang menimpanya.
Tubuhnya yang penuh dengan luka bakar, tersandar lemah di sebuah pohon pisang, yang tertanam di atas lubang tempat ia dan sembilan rekannya dikubur hidup-hidup.
Dalam keadaan telanjang dan kondisi tubuh yang sangat lemah, Khoirun merangkak sejengkal demi sejengkal untuk mencari pertolongan. Ketika malam tiba, ia menyelamatkan diri melewati jalur tepian sungai.
Di siang hari, Khoirun memilih diam agar tak diketahui orang lain yang tidak dikenal. Hingga akhirnya, ia mendapat pertolongan dari seseorang yang mengantarkannya ke rumah sakit setempat untuk menerima perawatan.
Bagi Khoirun, kebiadaban PKI sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Bahkan ia mengaku pernah membunuh sembilan orang wanita PKI yang berusaha membunuh seorang kiai dengan cara menaburkan racun ke dalam sumur milik sang kiai.
Para wanita PKI itu menyamar dan mendatangi rumah kiai dalam keadaan hamil. Mereka juga mengaku sebagai muslimat NU, dan meminta kesempatan untuk tinggal di rumah kiai. Kerelaan hati sang kiai akhirnya membuat mereka leluasa tinggal di rumahnya.
Suatu ketika, air di dalam sumur rumah kiai tersebut diketahui mengeluarkan buih. Berdasarkan pengalaman peristiwa sebelumnya yang menewaskan sejumlah kiai, Khoirun kemudian langsung membunuh para wanita kejam tersebut.
Meski telah berulang-ulang tertangkap dan disiksa gerombolan PKI, tidak membuat Khoirun muda menyerah. Sebutir peluru tajam anggota PKI pernah ditembakkan ke wajahnya, tetapi beruntung peluru itu hanya mampu menggores alis matanya.
Kekejaman dan kebiadaban PKI terhadap umat Islam benar-benar sudah kelewat batas. Khoirun menceritakan, seorang gadis muslimat NU harus rela menjadi korban kebengisan mereka, saat secara tiba-tiba anggota PKI menangkap dan memotong (maaf) payudaranya.
Khoirun muda turut menjadi saksi terbunuhnya Musso, tokoh dan pemimpin partai komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (kini Rusia).
Musso pernah menawarkan gagasan yang disebutnya jalan baru untuk Republik Indonesia. Ia menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI.
Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxisme-Leninisme PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menurut Muso, PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut Komite Front Nasional.
Beruntung pemberontakan itu akhirnya berhasil ditumpas oleh pasukan TNI pada tanggal 1 Oktober 1948. Muso akhirnya berhasil tertangkap dan ditembak oleh pasukan TNI setelah melalui pengejaran dari wilayah Trenggalek. Setelah terbunuh, warga beramai-ramai atau diarak membawa jenazah Muso ke Alun-Alun Ponorogo.
Menurut data resmi dari Kodim Madiun, tak tanggung-tanggung, korban pembantaian PKI kala itu mencapai 1.920 orang, padahal PKI hanya menduduki Madiun selama 13 hari saja. Terhitung sejak tanggal 18-30 September 1948, ribuan korban yang berhasil dibinasakan dengan kejam oleh PKI.
Monumen Kresek yang terletak di Madiun kini menjadi saksi bisu kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) saat membantai sejumlah tokoh dan ulama. Kekejamannya pun telah melegenda. Gambaran kekejaman PKI tersebut dapat dilihat di sejumlah relief yang ada di seputaran monumen. Tak jarang pengunjung merasa miris dan tidak tega untuk melihatnya.