Begini Proses Pergulatan Wacana Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Tubuh NU

Begini Proses Pergulatan Wacana Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Tubuh NU

Pecihitam.org- Domestikasi dan marginalisasi perempuan di ruang publik sudah berjalan dalam waktu yang sangat panjang. Budaya patriakhi, kebijakan negara yang tidak sensitif gender, dan teks-teks keagamaan yang dipahami secara diskriminatif, melanggengkan realitas perempuan yang marginal.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seiring dengan berjalannya waktu, tuntutan kesetaraan dan keadilan gender bergema dengan massif, baik dari kalangan perempuan yang mengalami pencerahan maupun laki-laki yang aktif memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.

Di Indonesia, gerakan kesetaraan dan keadilan gender mulai berlangsung pada tahun 1980-an dan pada tahun 1990-an mulai merambah isu-isu agama.

Diskusi-diskusi gender mulai marak di wilayah agama dan kaum agamawan sejak tahun 1990-an. Yang menjadi sasaran ekspansi gerakan kesetaraan dan keadilan gender salah satunya adalah organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Dalam NU, gerakan keadilan gender tidak dimulai dari wilayah strukturalnya, melainkan dari wilayah kulturalnya, khususnya kader-kader mudanya yang sedang gandrung dengan wacana-wacana kritis yang dibangun oleh K.H. Abdurrahman Wahid sebagai mentor dan pelindungnya.

Tema-tema demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme mengisi diskusi-diskusi kalangan anak muda NU. Mereka menyebar di berbagai organisasi kajian dan pemberdayaan masyarakat, seperti Lakpesdam Jakarta, FK2P, Desantara, P3M, Rahima, Fahmina, LKiS, eLSAD, dan lain-lain.

Baca Juga:  Berhubungan Suami Istri Setelah Haid, Tapi Belum Mandi Junub, Bolehkah?

Tokoh-tokoh mudanya adalah Masdar Farid Mas’udi, Husein Muhammad, Ulil Abshar Abdalla, Syafiq Hasyim, Abdul Moqsith Ghazali, Sinta Nuriyah Wahid, Maria Ulfa, Badriyah Fayumi, dan lain-lain.

Lambat laun namun pasti, isu-isu perempuan akhirnya masuk menjadi salah satu isu strategis dan sensitif karena menusuk ke jantung tradisi NU, yaitu pesantren yang secara tidak langsung masih mempertahankan budaya patriakhis dan teks-teks agama yang dipahami secara diskriminatif.

Akhirnya, pertentangan wacana dalam tubuh NU tidak bisa dihindari, antara mereka yang mengusung wacana kritis, khususnya tentang keadilan dan kesetaraan perempuan di ruang publik dengan mereka yang mempertahankan konservatisme pemikiran sebagaimana mereka warisi dari generasi terdahulu.

Kitab kuning sebagai salah satu ruh pemikiran pesantren dan NU ikut menjadi tertuduh karena melanggengkan pemahaman agama yang diskrimatif dan patriakhis.

Kalangan pesantren secara umum tidak menerima tuduhan bahwa kitab kuning sudah out of date, karena sudah terbukti dalam sejarah bahwa kitab kuning mampu merespons seluruh persoalan sosial dengan rumusan jawaban yang sudah ditulis para ulama yang menulis kitab tersebut.

Baca Juga:  Adab Berhias dalam Islam bagi Muslimah

Namun, kalangan yang mengusung perubahan mengkritik cara pembacaan kalangan konservatif terhadap kitab kuning yang mengedepankan teks apa adanya (qauli), tanpa mempertimbangkan landasan etiknya.

Yang dimaksud landasan etika yaitu tujuan teks tersebut yang seharusnya untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat dan kemaslahatan tersebut terus mengalami transformasi dan dinamika sepanjang sejarah peradaban manusia, sehingga teks-teks yang ada dalam kitab kuning harus dimaknai secara kritis, dinamis, dan kontekstual, sehingga mampu menjadi solusi bagi persoalan-persoalan sosial.

Pergulatan wacana gender terus meningkat levelnya, tidak hanya sekadar di pesantren-pesantren tertentu, tetapi merambah ke forum tertinggi para kiai, yaitu Munas, Konbes, dan Muktamar NU.

Fatayat, IPPNU, akademisi, dan aktivis pejuang keadilan gender berkolaborasi untuk memenangkan wacana keadilan gender dalam komunitas NU dalam forum-forum resmi organisasi supaya sosialisasi nilai-nilai keadilan berjalan dengan efektif dan massif.

Akhirnya, lahirlah keputusan-keputusan yang memihak kepada keadilan gender, khususnya dalam konteks kepemimpinan perempuan.

Kepemimpinan perempuan merupakan isu yang sangat sensitif sebagai ending dari isu-isu gender yang lain. Kepemimpinan perempuan mengisyaratkan perempuan yang mampu menjadi pemimpin, tidak hanya bagi kaumnya saja, tetapi juga bagi kalangan laki-laki.

Baca Juga:  Hukum Menunda Haid dengan Obat bagi Wanita

Tentu, isu kepemimpinan perempuan ini mendapat pertentangan keras dari kalangan konservatif dengan dasar teks-teks keagamaan yang sudah melembaga dalam waktu yang sangat panjang.

Perjuangan panjang yang dilakukan secara konsisten dan pantang menyerah dari seluruh aktivis pejuang gender membuahkan hasil yang luar biasa yang patut diapresiasi oleh seluruh elemen bangsa, karena keputusan resmi NU mempunyai implikasi luas terhadap transformasi sosial budaya di negara Indonesia.

Mochamad Ari Irawan