Kesunnahan dalam Pelaksanaan Pernikahan Menurut KH. Hasyim Asy’ari

Kesunnahan dalam Pelaksanaan Pernikahan Menurut KH Hasyim Asy'ari

Pecihitam.org- Di dalam suatu pernikahan, nikah beserta mekanismenya merupakan tata krama, termasuk di dalamnya adalah kesunnahan dalam pelaksanaan pernikahan. Hal ini diterangkan oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam kitab Dhau’ Al-Mishbah fi Bayan Ahkam An-Nikah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di dalam kitab yang ditulis oleh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ini, meringkas seputar pernikahan. Antara lain, hukum nikah, pelaksanaan nikah, sunah dan rukun nikah. Sampai pada hak suami dan istri dalam sebuah rumah tangga.

Pada awal catatan kitab, Kiai Hasyim membukanya dengan pendefinisian terhadap hukum nikah. Nikah dapat dijatuhkan sebagai sesuatu yang wajib, sunah, makruh dan haram. Disebabkan karena sesuatu hal yang disertainya. Kiai Hasyim mengambil beberapa pendapat dari ulama tersohor.

Dalam kitabnya  Hasyiah At-Tahrir, menurut As-Syarqawi menjelaskan bahwa menikah menjadi sesuatu yang wajib. Apabila, tujuan menikah untuk mencegah terjadinya perbuatan zina atau memperlakukan wanita seenaknya yang mengarah pada diskriminasi wanita, agar diantara keduanya tidak melakukan kesalahan yang berarti fatal.

Hukum nikah menjadi sunnah, apabila sudah memiliki mahar dan hasrat berjimaknya tinggi serta mempunyai penghasilan untuk keluarganya nanti. Berbeda dengan makruh, menikah dapat dihukumi makruh, jika orang merasa berjimaknya tinggi.

Baca Juga:  Hukum Tunangan Menurut Islam, Berikut Penjelasannya

Namun, tidak memiliki biaya pernikahan dan penghasilan. Sedangkan, menikah dapat dijatuhkan sebagai sesuatu yang haram, apabila menikah dengan pasangan yang haram dinikahi. Dan, ketika menikah justru akan merugikan salah satu pasangannya.

Segi pendefinisian Kiai Hasyim melihat faktor lain di dalam pernikahan, bahwa menikah tidak hanya cukup dengan hasrat untuk berjimak yang meledak. Orang harus siap dari segi lahir dan batin.

Adapun materi yang harus dipersiapkan, agar setelah menikah, tidak ada masalah yang muncul akibat pernikahan. Suami diiberatkan oleh Kiai Hasyim sebagai seorang yang harus bertanggung jawab. Terutama dalam persoalan materi memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Pernikahan yang telah diniatkan secara kuat, akan mendapatkan faedah di dalamnya. 

Kiai Hasyim menyebut, ada lima faedah nikah yang ditulis dalam kitabnya yakni, memperoleh anak atau keturunan, menyalurkan syahwat, mengatur rumah tangga, memperbanyak hubungan keluarga, jihad melawan nafsu melalui pelaksanaan kewajiban istri dan keluarga, serta bersabar atas segala urusannya.

Baca Juga:  Tanggung Jawab Terhadap Anak Akibat Perceraian

Dijelaskan dalam kitab yang ditulis oleh Kiai Hasyim, tentang rukun dan sunah nikah. Ada lima rukun nikah, yakni, shigat ijab kabul, istri, suami, waliyang melakukan akad nikah dan dua orang saksi.

Proses akad nikah bisa dikatakan sah apabila, wali sudah berucap “saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan fulhanah”. Kemudian, pria menjawab “aku nikahi dia….”.

Menurut Imam Syafi’i, hendaknya menyebutkan nama dan nasabnya. Mau pria atau wali yang lebih dahulu tetap dianggap sah. Karena kabul sendri salah satu dari sisi akad dan tidak memiliki perbedaan diantara keduanya.

Selain rukun nikah, ada anjuran sunnah yang disebutkan oleh Kiai Hasyim. Menurutnya menikah agar mengikuti Rasulullah. Seperti, melaksanakan di masjid. Dasarnya, hadis marfu’ riwayat Aisyah “umumkanlah perkawinan ini dan gelarlah acaranya di masjid” (H.R At-Turmudzi).

Salah satu kesunnahan dalam pelaksanaan pernikahan yang lain adalah melangsungkannya pada hari Jumat menjelang siang, bulan Syawal. Namun bisa juga melaksanakan pada bulan lain, atau yang sudah dikehendaki. Kiai Hasyim kemudian, menganjurkan agar menikah pada bulan Shafar. Karena Fatimah menikah dengan Ali pada bulan tersebut.

Baca Juga:  Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia

Menikah disunahkan pula mengundang banyak orang, terutama orang-orang saleh. Hal ini agar banyak yang mendoakan, pernikahannya barokah dan langgeng sampai maut memisahkan. Selain itu, agar tersiarnya berita pernikahan, sehingga banyak orang yang mengetahui.

Sebelum melaksanakan akad, sebaiknya wali mempelai wanita, berkhutbah. Selain bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan yang bermakna. Khutbah saat nikah juga sesuai apa yang telah Rasulullah lakukan saat menikahkan Fatimah.

Mochamad Ari Irawan