Sejarah Lengkap Perjalanan Hidup KH Hasyim Asyari

kh hasyim asyari

Pecihitam.org – KH Hasyim Asyari adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia, pendiri ormas Islam terbesar di Dunia yaitu Nahdlatul Ulama dan pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang. Di kalangan para ulama pesantren dan Nahdliyin KH Hasyim Asyari dijuluki dengan sebutan Hadratus Syaikh yang berarti maha guru.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Kelahiran dan Nasab

KH Hasyim Asyari lahir dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah di Gedang, sebuah dusun kecil di utara kota Jombang, tepatnya pada tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 Hijriah atau 14 Februari 1871 Masehi. Mbah Hasyim adalah putera ketiga dari sebelas bersaudara yaitu: Nafi’ah, Ahmad Shalih, Muhammad Hasyim, Radhiyyah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Ma’shum, Nawawi dan Adnan.

Nama lengkapnya adalah KH Muhammad Hasyim bin Asyari bin ‘Abdul Wahid bin ‘Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin ‘Abdurrahman (Joko Tingkir atau Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya) bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz bin ‘Abdul Fattah bin Maulana Ishaq bin Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri). Ini adalah nasab dari jalur ayah.

Adapun garis keturunan KH Hasyim Asyari dari ibu masih keturunan langsung dari Prabu Brawijaya VI, yang berlatar belakang bangsawan Jawa. Nasabnya yaitu Muhammad Hasyim binti Halimah binti Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Benawa bin Jaka Tingkir atau juga dikenal dengan nama Mas Karebet bin Lembu Peteng (Prabu Brawijaya VI)

Berdasarkan dari dua silsilah diatas, KH Hasyim Asyari mewakili dua trah sekaligus, yaitu bangawan jawa dan elit agama (Islam). Dari jalur ayah, bertemu langsung dengan bangsawan muslim Jawa (Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir) dan sekaligus elit agama Jawa (Sunan Giri).

Sedangkan dari jalur ibu, masih keturunan langsung dari Raja Brawijaya VI yang latar belakangnya bangsawan Hindu Jawa. Kombinasi kedua genetik inilah yang kelak menjadi modal bagi Mbah Hasyim untuk menjadi salah satu pemimpin besar di Indonesia.

Perjalanan Hidup KH Hasyim Asyari

Pendidikan Awal

Hasyim muda merupakan sosok yang tak pernah menyerah dalam menimba ilmu. Lima tahun beliau berada dalam pendidikan dan lingkungan kakeknya di Pesantren Gedang. Dilanjutkan dengan 10 tahun dalam pola pendidikan ayahnya di Pesantren Keras Jombang.

Setelah dirasa punya dasar ilmu yang cukup, sekitar umur 15 tahun Hasyim muda memberanikan diri pamit kepada orang tuanya untuk mencari ilmu di Pesantren Wonorejo Jombang Pesantren Wonokoyo Probolinggo dan Pesantren Lagitan Tuban. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Tenggilis di Surabaya, Pesantren Kademangan Bangkalan di Pulau Madura pesantrennya Mbah Kholil dan Pesantren Siwalan Panji ,di Sidoarjo.

Keluarga KH Hasyim Asyari

Mbah Hasyim pernah menikah dengan empat perempuan, yaitu Nyai Nafishah binti Kyai Ya’qub dari Siwalan Panji Sidoarjo, Khadijah binti Kyai Romli dari Kemuring Kediri, Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas dari Sewulan Madiun dan Nyai Masrurah dari Kapurejo Kediri.

Kiai Hasyim Menikah dengan isteri pertama pada usia 21 tahun. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H. Setelah itu, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji.

Baca Juga:  Syaikh Abdul Fattah, Seorang Ulama Yaman Yang Taubat Jadi Wahabi

Bersama sang istri, Kiai Hasyim kemudian melanjutkan tinggal di Makkah untuk menuntut ilmu. Tujuh bulan kemudian, Nafisah meninggal dunia setelah melahirkan seorang putra bernama Abdullah

Setelah lama menduda, KH Hasyim Asyari menikah lagi dengan Khadijah putri Kiai Romli dari desa Karangkates (Kediri. Pernikahannya dilakukan sekembalinya dari Makkah pada tahun 1899 M/1325 H. Pernikahannya dengan istri kedua juga tidak bertahan lama, karena dua tahun kemudian (1901), Khadijah meninggal.

Untuk ketiga kalinya, KH Hasyim Asyari menikah lagi dengan perempuan nama Nafiqah, anak Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dan mendapatkan sepuluh orang anak, yaitu: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurah, dan Muhammad Yusuf. Perkawinan ketiga ini juga berhenti di tengah jalan, karena Nafiqah meninggal dunia pada tahun 1920 M.

Sepeninggal Nafiqah, KH Hasyim Asyari memutuskan menikah lagi untuk terakhir kalinya yaitu dengan Masrurah, putri Kiai Hasan yang juga pengasuh Pesantren Kapurejo, pagu (Kediri). Dari perkawinan keempatnya ini, KH Hasyim Asyari memiliki empat orang anak: Abdul Qadir, Fatimah, Khadijah dan Muhammad Ya’qub.

Belajar Ke Timur Tengah

Setelah pernikahan yang pertama, satu tahun berikutnya Mbah Hasyim bersama isteri dan mertuanya berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji dan menimba ilmu disana selama tujuh tahun.

Guru KH Hasyim Asyari di Mekkah

Di antara guru Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari di Arab Saudi adalah:

  1. Syaikh Mahfudz al-Tarmasi
  2. Syaikh Ahmad Khatib al-Minankabawi
  3. Syaikh Nawawi al-Bantani
  4. Syaikh Ahmad Amin al-Aththar
  5. Sayyid Sulthan bin Hasyim
  6. Sayyid Ahmad Nawawi
  7. Syaikh Ibrahim ‘Arb
  8. Sayyid Ahmad bin Hasan al-Aththasy
  9. Syaikh Sa’id al-Yamani
  10. Sayyid Abu Bakar Syatha’ al-Dimyati
  11. Syaikh Rahmatullah
  12. Sayyid ‘Alwi bin Ahmad al-Saqaf
  13. Sayyid ‘Abbas Maliki
  14. Sayyid ‘Abdullah al-Zawawi
  15. Syaikh Shalih Bafadhal
  16. Syaikh Syu’aib bin Abdurrahman
  17. Syaikh Sulthan Hasyim Daghastani dan
  18. Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Mekkah.

Murid-muridnya di Mekkah

Melihat prestasi belajar Mbah Hasyim yang menonjol, membuatnya kemudian juga memperoleh kepercayaan untuk mengajar di Masjidil Haram. Beberapa ulama terkenal dari berbagai negara pernah belajar kepadanya seperti:

  • Syaikh Sa’dullah al-Maymani dari India
  • Syaikh Umar Hamdan dari Mekkah
  • al-Syihab Ahmad bin ‘Abdullah dari Syiria
  • KH. Abdul Wahab Hasbullah dari Tambakberas Jombang
  • KH. Asnawi dari Kudus
  • KH. Bisyri Syansuri dari Denanyar Jombang
  • KH. Dahlan dari Kudus dan
  • KH. Saleh dari Tayu.

Sekembalinya dari Mekah pada tahun 1883, KH Hasyim Asyari kembali ke rumah orang tuanya di Jombang untuk mengajarkan berbagai ilmu yang telah diperolehnya. Di samping itu juga mengajar di pesantren mertuanya di Kediri dan pesantren kakeknya di Gedang Jombang.

Dengan memiliki setting sebagai orang yang ‘alim, KH Hasyim Asyari Hasyim kemudian menjadi salah satu guru yang terkenal di Jombang. Oleh karena itu, Mbah Hasyim berkeinginan untuk mendirikan pesantren sendiri dalam rangka mendukung upaya dakwah yang telah dilakukan para kyai sebelumnya. Maka, dipilihlah suatu daerah untuk mendirikan sebuah pesantren baru, yaitu Tebuireng.

Baca Juga:  Biografi Singkat Imam Malik bin Anas, Pendiri Mazhab Maliki

Mendirikan Pesantren Tebuireng

Pada 26 Rabi’ul Awwal 1317 Hijriyah berdirilah Pesantren Tebuireng. Bertepatan dengan tahun 1899 Masehi, dan diakui Belanda pada 6 Pebruari 1907 Masehi.

Selama kurang lebih dua setengah tahun, KH Hasyim Asyari bersama delapan santrinya harus berjuang untuk menjaga eksistensi Pesantren Tebuireng dari segala serangan, fitnah, gangguan dan sebagainya yang berasal dari tokoh-tokoh “dunia hitam” di sekitarnya. Namun ketinggian moral yang ditunjukkan Mbah Hasyim merupakan daya tarik tersendiri dalam menaklukkan kerasnya mental masyarakat Tebuireng saat itu.

Kesabaran KH Hasyim Asyari dalam mewujudkan gagasannya, termasuk tidak menggunakan kekerasan dalam berdakwah, telah menyebabkan masyarakat yang menentang upaya Mbah Hasyim menjadi sadar dan menghentikan aksinya. Inilah yang menjadi point dari dakwah Mbah Hasyim yang sukses di tempat baru tersebut.

Pesantren Tebuireng telah mengalami berbagai perubahan, meskipun tokoh sentral di pesantren tersebut masih Kiai Hasyim sendiri. Sikap terbuka terhadap perubahan dalam memimpin institusi pendidikan yang ditunjukkan KH Hasyim Asyari merupakan pengaruh dari setting sosial politik yang terjadi di kawasan Arab.

Ini dapat dilihat dari persetujuan Mbah Hasyim terhadap gagasan dan realisasinya dari KH. Ma’shum ‘Ali, santrinya sendiri yang sekaligus menjadi menantu, yang memperkenalkan sistem madrasah di lingkungan pesantren. Gagasan ini direalisasikan untuk semakin meningkatkan kualitas output pesantren.

Melalui pemantauan terhadap kehadiran santri dalam mengikuti proses belajar mengajar yang dilakukan kyai (sistemisasi manajemen). Contoh lain adalah sikap terbuka Mbah Hasyim terhadap pengajaran mata pelajaran umum di Madrasah Nidzamiyah yang berdiri di dalam Pesantren Tebuireng. Seperti matematika, geografi, sejarah, menulis huruf Latin dan bahasa Belanda.

Mendirikan Nahdlatul Ulama

Pada 21 Januari 1926 di Surabaya, bersama dengan para kyai lainnya, KH Hasyim Asyari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU). Sampai dengan 1933, dengan menduduki jabatan sebagai Rais Akbar, peran KH Hasyim Asyari memang sangat diperlukan bagi pertumbuhan organisasi ini.

Termasuk juga meredam konflik antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisional yang bermuara kepada masalah perbedaan pendapat antara keduanya tentang masalah-masalah furu’iyyah.

Pidato KH Hasyim Asyari di Muktamar NU ketiga pada tanggal 28-30 Oktober 1928 di Surabaya, telah dijadikan NU sebagai pengantar dari Anggaran Dasar (Al-Qanun Al-Asasi) organisasi ini.

Sedangkan pidato Mbah Hasyim di Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin yang mengomentari konflik antara Islam modernis dengan Islam tradisionalis yang semakin meruncing, memperoleh respon positif dari kaum Islam modernis.

Bahkan diterjemahkan sendiri oleh seorang tokoh Islam modernis (Hamka) dan dimuat di Pandji Masjarakat, sebuah majalah yang sering memuat ideologi-ideologi pembaruan.

Saat penjajahan Jepang, pemerintah militer mengetahui peran pentin KH Hasyim Asyari ini. Bagi Jepang, ketokohan dan popularitas yang dimiliki Mbah Hasyim harus dikelola dengan baik untuk kepentingan kolonial di Indonesia. Atas alasan itu, Jepang kemudian mengangkat KH Hasyim Asyari sebagai pemimpin Kantor Urusan Agama Pusat di Jakarta.

Bahkan, menjelang proklamasi kemerdekaan NKRI pada 17 Agustus 1945 , Maruto Nitimiharjo ditugasi pemerintah militer Jepang untuk menemui Mbah Hasyim di Pesantren Tebuireng agar bersedia menjadi Presiden RI.

Baca Juga:  Refleksi Harlah NU Ke-92: Pesan Kebangsaan KH Hasyim Asy'ari

Tawaran itu ditolak oleh Mbah Hasyim yang mengatakan bahwa dia hanya seorang kyai yang tugasnya adalah mendidik santri di pesantren. Saat ditanya sosok yang layak untuk menjadi Presiden RI, Mbah Hasyim menjawab bahwa yang tepat menjadi presiden adalah Bung Karno dan wakilnya adalah Bung Hatta.

Meski Jepang sebenarnya sudah tahu jika tawaran itu akan ditolak, namun penugasan Nitimiharjo ini menunjukkan pengakuan dari Jepang terhadap peran strategis dari Mbah Hasyim. Untuk itu, jawaban yang disampaikan KH Hasyim Asyari tentang sosok yang didukung sangat diperlukan Jepang, sebagai sesuatu yang berarti dan penting.

Wafatnya KH Hasyim Asyari

KH Hasyim Asyari wafat setelah mendengarkan kabar terakhir dari Kyai Ghufran Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo tentang kekalahan Pasukan Sabilillah dan Hizbullah di Singosari Malang. Kekalahan pasukan ini akibat serangan besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda di bawah pimpinan Jenderal S.H. Spoor.

Kemerdekaan Indonesia ternyata tidak bisa dinikmati KH Hasyim Asyari dengan lama. Mbah Hasyim wafat pada 25 Juli 1947 M. atau 7 Ramadhan 1366 H karena mengalami pendarahan otak (hersenbloeding). Jenasah KH Hasyim Asyari kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng.

Gelar Pahlawan Nasional

Atas jasa-jasa Mbah Hasyim dalam mendirikan dan membela Indonesia, pemerintah menganugerahi Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dengan gelar Pahlawan Pergerakan Nasional. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 249/1964 tanggal 17 Nopember 1964.

Ini mengingat Mbah Hasyim merupakan inisiator dari dikeluarkannya Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa ini mewajibkan semua muslim dalam radius 60 kilometer dari Surabaya untuk mengangkat senjata melawan Belanda dan jika meninggal dunia dihukumi sebagai mati syahid.

Karya-karya KH Hasyim Asyari

Semasa hidup, Mbah Hasyim Asy’ari banyak sekali menulis. Tulisan-tulisan tersebut ada yang berbahasa Arab dan Jawa, Tulisan mbah Hasyim banyak mengupas masalah-masalah ‘aqidah, fiqh, hadits, tashawuf, pendidikan maupun lainnya. Mayoritas artikel dan manuskrip (risalah) yang ditulis menunjukkan respon Mbah Hasyim terhadap problematika yang dihadapi masyarakat.

Di antara tulisan-tulisan Mbah Hasyim tersebut antara lain:

  • Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Al-Nurul Mubin
  • At-Tanbihat wal Wajibat, AlDurarul Muntatsirah
  • Al-Tibyan, Al-Mawa’idz
  • Risalah Ahlissunnah wal Jama’ah
  • Dha’ul Mishbah
  • Ziyadatut Ta’liqat
  • Al-Qanun Al-Asasi Li Jam’iyyatin Nahdhatil ‘Ulama
  • Arba’in Haditsah
  • Al-Risalah fil ‘Aqa’id
  • Al-Risalah fil Tashawwuf
  • Tamyizul Haqq minal Bathil
  • Al-Risalah fi Ta’kidil Akhdz bi Ahadil Madzahib al-A’immah al-Arba’ah
  • Irsyadus Sari
  • Hasyiyah ‘ala Fathur Rahman
  • Al-Risalah Al-Tawhidiyyah
  • AlQala’id, Al-Risalah Al-Jama’ah
  • Manasik Sughra
  • Al-Jasus fi Ahkamin Nuqush, dll.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik