KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), Profil, Pendidikan dan Karir

kh salahuddin wahid

Pecihitam.org – KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah adalah salah seorang tokoh NU yang sudah lama dikenal sebagai sosok yang idealis dan berkomitmen tinggi. Pria kelahiran Jombang, 11 September 1942 ini merupakan salah satu tokoh HAM di Indonesia. Beliau adalah putra ketiga dari enam bersaudara, putra pasangan KH. Wahid Hasyim (Ayah) dengan Sholihah (Ibu) adik kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Pendidikan

Pada tahun 1947 Gus Sholah pindah ke Tebuireng, ikut ayahnya KH Wahid Hasyim, menyusul wafat sang kakek Hadratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. Kemudian pada awal tahun 1950, saat ayahnya diangkat menjadi Menteri Agama, beliau ikut pindah ke Jakarta.

Pendidikan dasarnya ditempuh di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dimana para gurunya banyak yang menjadi anggota pergerakan, termasuk orang-orang komunis. Dilingkungan ini beliau dikenalkan dalam lingkungan yang heterogen sehingga beliau terbiasa menghadapi perbedaan. Setelah naik ke kelas 4, Gus Sholah pindah ke SD Perwari didekat kampus UI Salemba.

Salahuddin melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri I Cikini antara tahun 1955-1958. Setelah lulus SMP beliau melanjutkan ke SMA Negeri yang terletak di Jalan Budi Utomo. Selama di SMA ini, Salahuddin Wahid aktif di Ansor dan OSIS.

Salahuddin Wahid tamat SMA pada tahun 1962 dan melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan arsitektur. Semasa kuliah beliau aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa. Beliau juga aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan memilih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai tempat naungannya.

Sejak kecil Salahuddin Wahid dan juga saudara-saudaranya sudah aktif belajar mengaji. Ini merupakan hal wajib dilakukan setiap hari. Kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh sang ayah. Setelah Kiai Wahid wafat, tugas tersebut diambil alih oleh sang ibu. Selain dari kedua orang tuanya, KH. Bisri Syansuri yang sering ke Jakarta, juga ikut mendidik mereka.

Selain belajar Al-Qur’an, Salahuddin Wahid remaja juga belajar nahwu, sorof, tarikh dan fiqih. Guru-gurunya antara lain Ust. Abdul Ghoffar dan Ust. Muhammad Fauzi. Mereka semua alumni Pesantren Tebuireng yang tinggal di Jakarta.

Salahuddin Wahid sempat merasakan pendidikan pesantren melalui Pesantren Ramadhan ketika liburan sekolah. Beliau belajar di Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid. Menginjak usia dewasa, cara yang ditempuhnya untuk belajar adalah dengan membaca sendiri buku-buku keagamaan.

Baca Juga:  Ismail al Jazari, Imuwan Muslim Ahli Robotika Abad Pertengahan

Pernikahan

Salahuddin Wahid menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama, KH. Syaifudin Zuhri pada tahun 1968. Yang menjadikan cukup unik, keduanya sama-sama anak mantan Menteri Agama, padahal awalnya mereka tidak ada yang saling tahu. Salahuddin Wahid terlebih dahulu mengenal dan tertarik dengan Farida sebelum mengenal orang tuanya dan belum tahu bahwa Farida adalah putri mantan Menteri Agama.

Dari pernikahan ini, pasangan Salahuddin Wahid-Farida dikaruniai tiga orang anak, yaitu Irfan Asy’ari Sudirman (Ipang Wahid), Iqbal Billy, dan Arina Saraswati. Kuliah Salahuddin Wahid sempat terhenti cukup lama setelah pernikahan tersebut. Beliau baru aktif kembali pada tahun 1977 dan menyelesaikan studinya pada tahun 1979.

Karir

Sejak masih kuliah, Salahuddin Wahid mulai merintis kariernya di bidang kontraktor. Pada tahun 1970, ia mendirikan perusahaan kontraktor bersama kakak ipar, Hamid Baidawi dan dua orang kawannya. Selain itu Salahudin Wahid juga pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH.

Pada tahun 1978-1997 beliau menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik, Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia/Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996), dan masih banyak yang lain. Garis besarnya sejak tahun 1970 hingga 1997, banyak aktif di bidang arsitektur dan konstruksi.

Aktif Menulis

Pada tahun 1998, Gus Sholah mulai memanfaatkan waktunya membaca buku sekaligus mulai menulis. Sejak tahun 1993, beliau pun menjadi pimpinan redaksi majalah Konsultan dan beliau juga aktif menulis di harian Kompas, Suara Karya, Republika dan media lainnya.

Tulisan-tulisan Gus Sholah banyak menyoroti persoalan umat dan bangsa. Uniknya pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya sering kali berbeda dengan Gus Dur kakak kandungnya. Bahkan keduanya pernah berpolemik tentang hubungan agama dan negara di harian Media Indonesia.

Selain itu, Gus Sholah juga banyak menulis buku. Karya-karyanya antara lain adalah:

  1. Negeri di Balik Kabut Sejarah (November 2001)
  2. Mendengar Suara Rakyat (September 2001)
  3. Menggagas Peran Politik NU (2002)
  4. Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (Nopember 2003)
  5. Ikut Membangun Demokrasi
  6. Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (Nopember 2004).

Terlibat Politik

Jika Gus Dur dinilai anti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) karena sering mengkritik lembaga ini, maka Gus Sholah bersikap sebaliknya, beliau justru masuk menjadi anggota ICMI, bahkan pernah terpilih menjadi Anggota Dewan Penasehat ICMI sejak 1995 hingga 2005. Lalu pada tahun 2000, terpilih menjadi Ketua MPP ICMI periode 2000-2005. Keanggotaannya di ICMI membuatnya semakin dekat dengan dunia politik.

Baca Juga:  Gus Sholah Wafat, PBNU: Kita Kehilangan Tokoh Panutan

Sejak Era Reformasi, keterlibatannya dalam bidang politik semakin intens. Pada tahun 1998 Gus Sholah ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum, Amien Rais. Namun hal itu gagal karena Amien Rais menolak dan memilih mendirikan partai PAN.

Kemudian beliau bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat serta Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU. PKU adalah partai yang didirikan oleh Kiai Yusuf Hasyim. Namun pada September 1999 Gus Sholah akhirnya mengundurkan diri dari PKU.

Pada Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, KH Salahuddin Wahid ikut maju sebagai salah seorang kandidat Ketua Umum PBNU. Beliau kemudian terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Pada Muktamar NU tahun 2004 di Solo, Gus Sholah kembali ditawari menjadi ketua PBNU namun beliau menolak tawaran tersebut.

Keterlibatan Gus Sholah di NU sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1977 ia bersama aktivis muda NU membentuk Kelompok yang kelak menjadi cikal bakal tim yang mempersiapkan materi kembalinya NU ke Khittah 1926. Namun keterlibatan itu baru diketahui publik sejak tahun 1990-an, dan semakin intens sejak tahun 2000-an.

Gus Sholah menjadi anggota Komnas HAM pada akhir tahun 2001, yang didaftarkan oleh adik iparnya, Lukman Hakim Syaifudin. Meskipun dengan persiapan sekedarnya, beliau berhasil lolos fit and proper test, dan terpilih sebagai salah satu dari 23 anggota Komnas HAM periode 2002-2007. Dan pada saat yang sama, Gus Sholah juga terpilih sebagai Wakil Ketua II Komnas HAM.

Selama di Komnas HAM, Gus Sholah sempat memimpin TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dalam penyelelidikan kasus Kerusuhan Mei 1998 (Januari-September 2003), Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998 dan Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru dari situlah popularitasnya semakin menanjak.

Gus Sholah pernah dipinang Golkar untuk maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Wiranto pada pilpres 2004. Untuk menunjukkan keseriusannya sebagai Cawapres, Gus Solah mengundurkan diri dari Komnas HAM dan PBNU. Ini merupakan babak baru dari perjalanan karir politiknya.

Nahkoda Tebuireng

Pada bulan Februari 2006, Gus Sholah ditelpon Pak Ud yang menyampaikan niatnya untuk mundur dari jabatan pengasuh Tebuireng. Pak Ud meminta Gus Sholah untuk menggantikannya. Langkah pertama yang diambil Gus Sholah dalam memimpin Tebuireng adalah melakukan pembenahan Tebuireng.

Baca Juga:  Menziarahi Gus Miek Melalui Teks Gus Dur

Sejak bulan April hingga akhir tahun 2007, Gus Sholah secara berkala mengadakan rapat bersama unit-unit yang ada di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari. Dia meminta laporan tentang kendala yang dihadapi, disamping meminta masukan dan kritik dari mereka. Gus Sholah juga menurunkan ”mata-mata” yang turun langsung ke kamar-kamar untuk menanyai para santri tentang kinerja pengurus pondok.

Selama memimpin Tebuireng, Gus Sholah berupaya menggugah kesadaran para guru, Pembina santri, dan karyawan Tebuireng lainnya, untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja berdasar keikhlasan dan kerjasama.

Langkah kongkritnya adalah mengadakan pelatihan terhadap para guru dengan mendatangkan konsultan pendidikan Konsorsium Pendidikan Islam (KPI), yang juga membantu para kepala sekolah untuk menyusun SOP, Standard Operating Procedure, bagi kegiatan belajar mengajar (KBM).

Mulai awal tahun 2007, di Tebuireng diterapkan sistem full day school di semua unit pendidikan. Para pembina dibekali dengan latihan khusus, baik latihan kedisiplinan dan psikologi, sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik.

Rencananya, seorang pustakawan akan didatangkan guna mengelola perpustakaan secara sistematis dan terarah. Pada saat yang sama, Madrasah Mu’allimin dan Ma’had Aly didirikan, serta kegiatan pengajian dilkakukan secara klasikal melalui Madrasah Diniyah dan kelas Takhassus.

Sejak awal kepemimpinannya, Gus Solah berupaya memperbaiki sarana fisik secara bertahap. Klinik kesehatan dibangun di dekat kompleks SMA, masjid diperluas dan ditingkatkan mutunya dengan tetap mempertahankan bangunan lama, ruang makan juga diperbaiki, dan gedung-gedung tua direnovasi. Seluruh proses pembangunan fisik ini ditargetkan selesai dalam 5-7 tahun.

Wafat

Di akhir hayatnya KH Salahuddin Wahid menderita penyakit Aritmia yaitu gangguan irama detak jantung yang tidak teratur, bisa terlalu cepat, lambat, atau bergantian tidak beraturan. Beliau tutup usia setelah sebelumnya mengalami masa kritis usai menjalani bedah jantung di RS. Harapan Kita, Jakarta, pada hari Minggu, 2 Februari 2020, sekitar pukul 20:55 WIB.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik