Pecihitam.org– Anda yang sering membaca atau mendengar kisah tentang karomah wali, tentu tidak asing dengan istilah khawariqul adah.
Khawariqul adah mengacu pada sifat, karakter atau sikap yang menyimpang dari kebiasaan. Khawariqul adah bisa sebuah kemuliaan, bisa juga istidraj.
Penjelasan lengkapnya bisa Anda baca dengan detail dalam tulisan ini.
Daftar Pembahasan:
Pengertian Khawariqul Adah
Istilah Khawariqul Adah adalah merupakan ungkapan bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu khawariq dan ‘adah. Khawariq merupakan bentuk jamak dari Khariq yang berarti keluar atau menyalahi.
Sedangkan ‘Adah berarti kebiasaan. Jadi, Khawariqul Adah secara harfiah bermakna berbagai gejala atau fenomena yang keluar atau menyalahi kebiasaan.
Khawariqul Adah: Mukjizat, Karomah, Istidraj
Adapun menurut istilah, mengacu pada penyebutannya dalam beberapa tempat di dalam Al-Qur’an, fenomena khawariqul adah dapat dikelompokkan ke dalam tiga istilah, yakni mukjizat, karomah dan mukhada’ah atau istidraj.
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Kalabadzi menyatakan persamaan antara mukjizat, karomah dan istidraj. Ketiga istilah tersebut merupakan gejala khawariqul adah, yakni fenomena yang keluar atau menyalahi kebiasaan.
Berbagai gejala yang menyalahi kebiasaan yang terjadi pada para nabi disebut mukjizat, yang terjadi pada para wali dinamakan karomah dan yang terjadi pada musuh-musuh Allah disebut istidraj atau mukhada’ah.
Mukjizat
Mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan yang digunakan untuk mendukung kebenaran kenabian seorang nabi dan/atau kerasulan seorang rasul, sekaligus melemahkan lawan-lawan/musuh-musuh yang meragukan kebenarannya.
Contoh mukjizat yang berupa khawariqul adah adalah tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular dan membelah lautan. Contoh lainnya Nabi Ibrahim tidak hangus ketika dibakar Raja Namrud.
Karomah
Karomah secara bahasa berarti al-ikram (kemuliaan atau kehormatan), atau at-taqdir (penghargaan) dan al-wala (persahabatan atau pertolongan).
Dalam Tasawuf, karomah para wali mengandung pengertian karunia Allah yang diberikan kepada para wali sehingga muncul pada diri mereka khawariqul adah, yakni sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan sebagai rahmat Allah atas apresiasi ibadah dan pengabdian mereka sehingga mendapatkan penghargaan tertentu dari Allah.
Karomah para wali merupakan perlakuan khusus Allah kepada hamba hamba pilihan-Nya. Menurut An-Nabhani, karomah bagi seorang wali berada pada peringkat kedua setelah mukjizat para Nabi.
Di Indonesia, seorang ulama yang dipercaya sebagai wali dan mempunyai banyak karomah, salah satunya adalah Syaikhona Kholil Bangkalan.
Istidraj
Adapun istidraj atau mukhada’ah, yakni berbagai fenomena yang keluar dan menyalahi kebiasaan yang terjadi pada musuh-musuh Allah.
Menurut Al-Kalabadzi, karena Allah bisa saja memperlihatkan kepada musuh-musuhnya sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan yang merupakan istidraj, yakni ujian yang membawa malapetaka dan kebinasaan bagi mereka.
Sebab istidraj akan menumbuhkan kesombongan di dalam diri mereka, sementara para musuh Allah itu merasa mendapat kehormatan dan kemuliaan.
Mereka pun memandang fenomena yang keluar dan menyalahi kebiasaan itu sebagai karomah yang pantas mereka miliki karena buah dari amal baik mereka.
Mereka memandang dirinya memperoleh keutamaan dibandingkan orang lain karena ibadahnya.
Adapun para wali, jika muncul pada diri mereka karomah dari Allah, mereka bertambah rendah hati, tunduk dan hikmat kepada Allah.
Dengan demikian, bertambahlah penghargaan Allah kepada mereka. Mereka pun bersyukur kepada Allah atas pemberiannya.
Karomah Vs Istidraj
Para ulama sepakat bahwa peristiwa khawariqul adah benar-benar terjadi pada diri para wali. Menurut Al-Hujwiri, karomah atau peristiwa khawariqul adah yang diberikan kepada seorang wali selama ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama.
Sebab, karomah itu tanda ketulusan seorang wali dan tidak dapat diberikan kepada seorang gadungan kecuali sebagai tanda bahwa pengakuannya sebagai wali itu palsu.
Sementara itu, para ahli hakikat, menilai bahwa karomah yang hakiki adalah bersikap istiqomah dalam beragama dan memperoleh keyakinan yang sempurna.
Adapun bisa melakukan sesuatu yang ada mengandung dua kemungkinan. Jika hal ini disertai dengan sikap istiqomah lahir dan batin, maka kaum muslimin wajib memberikan penghormatan kepada pemilik karomah tersebut, sebab itu merupakan bukti kesempurnaan orang itu dalam posisinya sebagai wali.
Sebaliknya, jika tidak disertai dengan sikap istiqamah dalam mengamalkan agama lahir dan batin, maka kemampuan melakukan khawariqul adah tersebut tidak ada nilainya sedikitpun dari segi agama.
Sejalan dengan pandangan para ahli hakikat tersebut, Abul Abbas Al-Mursi, yang merupakan guru dari Ibnu Athaillah As-Sakandari, menilai bahwa dapat melakukan sesuatu yang khawariqul adah itu tidak otomatis merupakan tanda penghargaan dan kemuliaan dari Allah.
Al-Mursi mengatakan, “Bukanlah kemuliaan itu pada orang yang dapat menggulung bola dunia sehingga dalam waktu yang sangat singkat berada di Mekah atau di tempat lain di bumi ini. Akan tetapi kemuliaan itu pada orang-orang yang dapat meningkatkan kualitas dirinya sehingga mendapatkan tempat di hadapan Allah”.
Khawariqul Adah dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bertemu dan bertarungnya dua khawariqul adah, yakni yang berupa istidraj dengan yang berupa mukjizat, yakni antara tukang sihir yang berhadapan dengan Nabi Musa.
Khawariqul Adah yang ditunjukkan oleh para ahli oleh para ahli sihir Firaun untuk mengubah tali dan tongkat menjadi ular dalam pertarungannya dengan Nabi Musa, juga khawariqul adah berupa mukjizat yang Allah tampakkan pada diri Nabi Musa yang mengubah tongkat menjadi ular yang lebih besar dan kemudian menelan ular-ular para ahli ahli sihir Firaun itu.
Pertempuran khawariqul adah negatif dan positif ini diabadikan oleh Allah dalam Surat As-Syu’ara’ ayat 43 – 45 berikut:
قَالَ لَهُمْ مُّوْسٰٓى اَلْقُوْا مَآ اَنْتُمْ مُّلْقُوْنَ
Dia (Musa) berkata kepada mereka, “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan.”
فَاَلْقَوْا حِبَالَهُمْ وَعِصِيَّهُمْ وَقَالُوْا بِعِزَّةِ فِرْعَوْنَ اِنَّا لَنَحْنُ الْغٰلِبُوْنَ
Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka seraya berkata, “Demi kekuasaan Fir‘aun, pasti kamilah yang akan menang.”
فَاَلْقٰى مُوْسٰى عَصَاهُ فَاِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُوْنَ ۚ
Kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.
Dalam kisah di atas, awalnya para ahli sihir Fir’aun merasa yakin dengan kemampuannya dan bersumpah dengan kebesaran Firaun akan menjadi pemenang.
Ternyata kekuatan khawariqul adah berupa mukjizat berada diatas segalanya.
Menghadapi kekalahan tersebut, para ahli sihir Fir’aun mengambil sikap yang tepat. Mereka jujur dengan perasaannya yang mendalam bahwa kekuatan yang dimiliki Nabi Musa tidak dapat ditandingi oleh kekuatan sihir mereka yang merupakan tertinggi dari semua kekuatan sihir yang ada pada zaman itu.
Para ahli sihir Fir’aun kemudian menyatakan beriman kepada Nabi Musa. Mereka tunduk dan menyerah dengan bersujud mengakui kebesaran Allah.
Mereka pun siap menerima segala hukuman yang akan diberikan Fir’aun kepada mereka akibat sikap yang menyatakan beriman kepada Nabi Musa.
Ini pun diceritakan dengan gamblang pada ayat selanjutnya dalam Surat As-Syu’ara’
فَاَلْقٰى مُوْسٰى عَصَاهُ فَاِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُوْنَ ۚ فَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَ ۙ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. Maka menyungkurlah para pesihir itu, bersujud. Mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam”. (QS. As-Syu’ara ayat 45 – 47)
Kesimpulan
Demikianlah penjelasan tentang khawariqul adah, baik yang berupa mukjizat, karomah maupun istidraj. Inti dari uraian diatas adalah untuk membedakan khawariqul adah yang merupakan karunia dan yang istidraj adalah dengan memperhatikan keistiqomahan di dalam ibadah.
Jika tidak istiqomah dalam ibadah namun memiliki khawariqul adah, maka itu adalah istidraj. Karena sebagaimana dikatakan oleh Syekh Abu Yazid Al Bustomi, “Jangan engkau terpedaya dengan orang yang bisa berjalan di atas air karena setan pun bisa melakukan yang demikian hingga kamu melihatnya istiqomah di dalam menjaga perintah dan menjauhi larangan”