PeciHitam.org – Khitan berasal dari bahasa Arab yang berarti memotong qulfah (kulup), yakni kulit yang menutupi kepala dzakar (penis), sampai hasyafah atau tudung yang menutupi kepala penis terbuka sepenuhnya.
Selain itu, khitan bisa diartikan sebagai bagian dari alat kelamin, baik lelaki maupun perempuan (zakar atau farji), dimana apabila keduanya bertemu, dengan masuknya pangkal hasyafah (dzakar) ke dalam farj (vagina), maka menyebabkan kedua orang tersebut wajib mandi besar.
Khitan untuk lelaki (sunatan, tetak atau supitan) mengikuti pengertian di atas, yakni memotong qulfah (kulup atau glands) atau kulit yang menutupi kepala dzakar (penis).
Khitan untuk lelaki ini selain akan lebih hieginis karena dengan terpotongnya kulup tersebut akan menghilangkan kotoran yang biasanya berwarna putih yang disebut dengan fimosis, memperlancar keluarnya air seni, juga dipercayai dapat meningkatkan potensi seksualitasnya.
Berbeda dengan itu, khitan untuk perempuan (tetesan) memiliki beragam bentuk dan akibat yang ditimbulkannya. Sebagian masyarakat kita melakukan pemotongan sebagian dari klitoris, baik melalui tusukan jarum, pemotongan selaput klitoris dengan pisau khusus, dengan silet atau gunting, sebagai syarat bahwa si perempuan tersebut telah diislamkan.
Khitan untuk perempuan ini masih dilakukan di sebagian negara Islam, seperti Mesir, Sudan, Saudi Arabia, Yaman Selatan, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Filipina, Malaysia, Pakistan dan Indonesia. Sementara di Iran, Irak, Al-Jazair, Libia, Maroko atau Tunisia, tidak dilakukan. Bagaimana sebenarnya bentuk-bentuk khitan untuk perempuan ini?
Jenis-Jenis Khitan Perempuan
Perlu dijelaskan terlebih dahulu macam-macam khitan untuk perempuan, agar dapat ditentukan term mana yang lebih dekat dengan praktek yang umumnya dilakukan di Indonesia.
Pertama, pemotongan dalam bentuk circumcision yang berarti memotong kulup (kulit khitan) atau kerudung (selaput) klitoris. Hal ini berarti sama dengan khitan untuk lelaki, dan khitan jenis ini tidaklah sampai merusak fisik atau nafsu syahwat perempuan.
Walaupun begitu, secara medis masih tergantung dengan cara pemotongannya, bila menggunakan cara-cara konvensional, kemungkinan terjadi pendarahan, infeksi dan luka.
Kedua, pemotongan dalam bentuk excision yang memotong klitoris dan sebagian atau keseluruhan labia minora.
Pemotongan seluruh bagian klitoris ini bisa menimbulkan penderitaan, pendarahan, infeksi, luka dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan rasa nyeri di waktu kencing atau menstruasi, sedangkan dalam hubungan seksual si perempuan akan sulit mencapai kepuasan, sebab klitoris merupakan bagian yang sensitif dan pusat syahwat perempuan.
Ketiga, pemotongan dalam bentuk infabulation yang berarti memotong seluruh bagian klitoris, labia minora dan sebagian dari labia majora. Khitan ini disebut juga dengan khitan gaya Fir’aun (pharaonic circumcision).
Khitan seperti ini sering menimbulkan luka berat, frigiditas, infeksi saluran kencing dan ginekologis, keguguran atau steril, haid yang menyakitkan, nyeri pada jaringan bekas luka, abses, bahkan kanker.
Dari ketiga jenis khitan tersebut, yang dimaksud dengan khitan dalam tulisan ini, sebagaimana hal itu berlaku pada umumnya di Indonesia, adalah khitan dalam arti yang pertama yakni circumcision.
Hukum Khitan Perempuan
Berbeda dengan khitan untuk laki-laki, khitan untuk perempuan (tetesan) masih dijumpai perbedaan pendapat baik dalam pemaknaan nash maupun praktiknya.
Yang jelas, tidak dijumpai satu pun hadis Nabi saw. yang memerintahkan wajibnya khitan untuk perempuan. Agaknya, hadis Nabi saw. mendiamkan masalah ini. Meskipun begitu, dijumpai beberapa hadis yang diduga merekomendasi dilakukannya khitan pada perempuan.
Di antara yang paling sering disebut adalah peristiwa ketika Nabi saw. melihat Ummu ‘Athiyah, lalu beliau meinstruksikannya agar memotong sedikit (bagian klitoris) dan tidak menghilangkannya, sebab hal itu akan lebih menyenangkan bagi si perempuan dan baik pula bagi si suami.
Akan tetapi, bila diperhatikan teks hadis Ummu Athiyah tersebut, kalaupun ia shahih, mayoritas ulama mazhab tidak memahami, baik tersurat maupun tersirat, adanya perintah untuk mengkhitankan perempuan.
Yang ada hanyalah tuntunan dan peringatan Nabi Muhammad saw. kepada juru khitan perempuan agar mengkhitan dengan cara yang baik dan tidak merusak. Selain itu, dikabarkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa “al-khitan sunnatun li al-rijal makrumatun li al-nisa’” atau “khitan itu sunnah bagi lelaki dan perilaku mulia bagi perempuan”.
Serta beberapa hadis yang semakna dengannya. Bila dicermati, maka akan nampak beberapa perbedaan atau bahkan unsur yang saling bertentangan antara satu versi hadis dengan lainnya, yang pada akhirnya dapat melemahkan kesahannya.
Lagi pula, secara umum hadis-hadis tersebut dipandang tidak autentik dan lemah. Itu sebabnya, Mahmud Syaltut menyampaikan, “kita bisa mengatakan tanpa ragu, bahwa khitan bagi perempuan tidak memiliki dasar, baik dalam Alquran maupun Sunnah Nabi saw” Sedangkan Sayid Sabiq memandang bahwa khitan pada perempuan ini sebagai praktik tradisi kuno atau sunnah qadimah.
Ash-Shawabu Minallah