Perintah “Khudz Min Amwalihim” dalam Al-Quran, Apa Maksudnya?

Khudz Min Amwalihim

Pecihitam.org- Perintah khudz min amwalihim / ambillah (zakat) dari sebagian harta mereka dalam al-Quran surat at-Taubah (9) : 103 turun dalam konteks diterimanya taubat para sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk bersama Nabi Muhammad.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ketidakikutsertaan mereka dalam perang Tabuk disebabkan oleh cintanya mereka pada harta benda yang mereka miliki. Setelah Allah menerima taubat mereka, mereka kemudian membawa harta bendanya kepada Nabi dan berkata,

Wahai Rasulullah, ini harta benda kami. Tolong wakili kami menyedekahkannya dan mintalah ampunan untuk kami.” Nabi Menjawab, “Aku tidak diperintahkan mengambil sedikit pun harta kalian.” Maka turunlah al-Quran surat at-Taubah (9) ayat 103, yang berbunyi :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya : “ (Khudz Min Amwalihim) Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui

Setelah Nabi wafat, sebagian kabilah Arab Badui menganggap tidak ada lagi pembayaran zakat karena tidak ada lagi balasan kepada mereka berupa doa Nabi yang membersihkan dan menyucikan mereka.

Kebijakan khalifah Abu Bakar memerangi mereka yang menolak membayar zakat binatang ternak, menjaga karakter politik zakat, yaitu zakat harus diserahkan kepada negara untuk dikelola.

Baca Juga:  Hukum Zakat Profesi Menurut Ulama Kontemporer

Jumhur ulama sepakat bahwa pengelolaan zakat al-amwal al-zhahirah merupakan kewenangan penuh penguasa di mana penguasa berhak memungutnya.

Namun, untuk pengelolaan zakat al-amwal al-bathinah terdapat perbedaan pendapat. Madzhab Hanafi dan Syafi’i memandang bahwa pengelolaan zakat al-amwal al-bathinah diserahkan kepada pemiliknya.

Madzhab Maliki menyatakan bahwa orang harus menyerahkan seluruh zakatnya baik yang zhahir maupun yang bathin, kepada penguasa sekalipun mereka zhalim, sepanjang mereka berlaku amanah dalam mengelola zakat.

Adapun Madzhab Hanbali berpendapat menyerahkan zakat kepada penguasa adalah tidak wajib, namun diperbolehkan, baik penguasa itu adil maupun zhalim. Baik harta zhahir maupun bathin.

Al-Qaradlawi memilih dan menguatkan dua pendapat tentang pengelolaan zakat dalam fiqh Islam.

Pertama, pengelolaan zakat merupakan bagian dari otoritas pemerintahan Muslim, di mana pemerintah berhak mengumpulkan zakat dari seluruh jenis harta, baik yang zhahir maupun bathin, terutama jika penguasa mengetahui bahwa rakyatnya melalaikan kewajiban zakat.

Kedua, kegagalan pemerintah mengelola zakat dengan membiarkan dan tidak memungut zakat dari masyarakat tidak menghapus tanggung jawab individu dari pembayaran zakat, di mana muzakki tetap harus menilai zakat yang harus dibayarnya dan menyalurkannya sendiri kepada mustahiq.

Baca Juga:  Apakah Tujuan Membayar Zakat Sebenarnya?

Ketika menetapkan kewenangan pemerintah dan bahkan menjadikannya keharusan untuk mengelola zakat sesuai ketentuan syariah, al-Qaradlawi memberikan kualifikasi bahwa hendaklah pemerintah memberikan kepercayaan kepada pemilik harta untuk membagikan sendiri sepertiga atau seperempat dari kewajiban zakatnya sesuai dengan sunnah Nabi.

Lebih jauh lagi, al-Qaradlawi juga mempersyaratkan bahwa otoritas memungut zakat ini hanya berlaku untuk pemerintahan Islam di mana Islam ditetapkan sebagai dasar hukum pemerintahan dan kehidupan bernegara, termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintahan sekuler yang mendasarkan diri pada ideologi non Islam tidak berhak dan dilarang memungut zakat.

Namun, informasi Abu Ubaid menegaskan bahwa wacana pengelolaan zakat oleh penguasa ini tidak lepas dari perbedaan dan penuh dengan dinamika. Diskursus fiqh tentang menyerahkan zakat kepada penguasa pertama kali terjadi pasca terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.

Dinamika wacana penyerahan zakat kepada negara ini sangat terlihat dalam sikap Ibnu Umar. Pada awalnya Ibnu Umar sangat tegas menyatakan bahwa zakat wajib diserahkan kepada penguasa sekalipun mereka tidak lagi memiliki komitmen keagamaan.

Sepanjang para penguasa itu Muslim (masih menunaikan shalat), maka masyarakat wajib menyerahkan zakat kepada mereka. Namun, setelah mengikuti dinamika yang ada di masyarakat, Ibnu Umar akhirnya mengubah pendapatnya dengan tidak mewajibkan lagi masyarakat ke penguasa tetapi mendistribusikannya secara langsung kepada mereka yang berhak (mustahiq).

Baca Juga:  Hukum Zakat Fitrah dengan Uang, Inilah Beda Pendapat Para Ulama

Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa ketika para ulama menegaskan kewajiban menyerahkan zakat ke penguasa, mereka mengasumsikan bahwa pemerintah berkarakter Islam.

Ketika komintmen keagamaan penguasa mengalami degradasi secara signifikan, maka mereka tidak lagi mewajibkan dimensi politik zakat, tetapi tetap menjalankan dimensi ritualnya, yaitu mendistribusikan zakat secara langsung kepada mustahiq.

Dinamika fiqh ini mengaskan bahwa karakter zakat sebagai institusi keuangan publik yang bersifat khusus, yaitu bahwa zakat harus didistribusikan kepada publik, baik melalui pemerintah ataupun tidak. Aspek distributif zakat jauh lebih penting daripada aspek pengumpulannya.

Dengan kata lain, pengelolaan zakat oleh negara bukanlah tujuan melainkan hanya sarana. Tujuan utama pengelolaan zakat yaitu tersampaikannya zakat kepada mustahiq secara tepat sasaran dan dengan kemanfaatan yang lebih optimal.

Mochamad Ari Irawan