Khutbah Jumat: Pengertian Lengkap dengan Ketentuan, Syarat dan Rukunnya

khutbah jumat

Pecihitam.org – Bagi setiap laki-laki muslim yang Mukallaf, setiap hari Jumat diwajibkan untuk pergi ke masjid menunaikan ibadah sholat jumat berjamaah. Salah satu komponen dari ibadah jumat tersebut adalah Khutbah yang dibawakan oleh khatib dengan berisi ceramah atau pidato sngkat yang umumnya berupa nasehat-nasehat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah Swt. berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jt3al beli. Yang demikian itu lebih baikbagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. al-Jumu‘ah: 9)

Khutbah Jumat memiliki kedudukan sangat penting, karena merupakan satu rangkaian yang tidak dipisahkan dalam pelaksanaan shalat Jumat. Oleh karena itu, pelaksanaan khutbah Jumat yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat dapat membatalkan ibadah shalat Jumat tersebut.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Khutbah Jumat

Khutbah

Secara bahasa, khutbah jumat terdiri dari dua kata yaitu khutbah dan jumat. Khutbah adalah bentuk masdar dari kata khataba, yakhtubu, yang artinya adalah berpidato. Adapun berpidato adalah mengungkapkan buah pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditunjukkan kepada orang banyak.

Sedangkan Menurut Mu’jam Al-Lughah Al-Arabiyyah Al-Mu’ashirah, khutbah secara istilah, dikatakan:

الخطبة: قطعة من الكلام توجه الى جمهور الناس, كلام يخاطب به المتكلم جمعا من الناس لاعلامهم واقناعهم.

Artinya: “Khutbah adalah beberapa perkataan yang diucapkan di hadapan banyak orang, yang diucapkan oleh seorang pembicara di hadapan banyak orang untuk memberitahukan sesuatu dan mempersuasi mereka.”

Dari pengertian diatas khutbah diartikan berdasarkan tujuannya, yaitu untuk memberitahukan suatu pengetahuan dan mempersuasi siapa saja yang mendengarkan khutbah, dengan kata lain khutbah harus bersifat informatif dan persuasif.

Oleh karenanya, seorang khatib harus bisa memberikan informasi yang benar dan akurat serta up to date supaya mencapai tujuan persuasifnya, yaitu mempengaruhi setiap jamaat yang mendengarkan sehingga dapat membangkitkan kesadaran untuk menerima dan melakukan dari apa yang dengarnya.

Khutbah juga salah satu cara berdakwah yaitu sebagai sebuah sarana untuk mengajak manusia kepada kebaikan dan petunjuk, serta mencegah berbuat mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Jumat

Jumat merupakan bentuk masdar yang berasal dari kata kerja jama, yajma’u yang berarti mengumpulkan atau menghimpun. Adapun kata jumat itu sendiri diartikan hari jum’at, yaitu hari ke-6 dalam urutan waktu satu minggu.

Penggunaan kata jumat sebagai nama hari, juga tidak terlepas dari sejarah yang melekat padanya. Hari Jumat pada zaman Jahiliyah disebut hari Arubah. Sedangkan orang pertama yang menyebut hari Jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ay.

Diriwayatkan, bahwa sebabnya disebutkan demikian, karena pada suatu hari penduduk Madinah berkumpul sebelum Rasulullah Saw datang, lalu orang- orang Anshar berkata:

“Kaum Yahudi mempunyai hari dimana setiap pekan sekali mereka berkumpul pada hari itu, begitu juga kaum Nasrani, maka marilah kita mencari hari yang kita pergunakan untuk berkumpul pada hari itu, kemudian hendaklah kita pergunakan hari itu untuk berdzikir kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya.” Lalu mereka berkata: “Hari Sabtu milik kaum Yahudi, hari Ahad milik kaum Nasrani, maka pakailah hari Arubah (untuk kita).”

Kemudian mereka menemui As’ad bin Zararah, kemudian As’ad shalat dua rakaat bersama mereka pada Arubah itu, maka hari itu kemudian disebut hari berkumpul (jum’at). Mereka juga menyembelih seekor kambing untuk sarapan pagi dan makan malam. Itulah permulaan penyebutan hari Jum’at dalam Islam.

Baca Juga:  Pekerjaan Rumah Tangga Apakah Mutlak Kewajiban Istri?

Dan kemudian pada hari ini, telah disyariatkan suatu ibadah bagi setiap muslim yang baligh, berakal, sehat dan tidak dalam perjalanan, yaitu shalat jum’at.

Khutbah Jumat

Adapun pengertian khutbah jumat, sangat sedikit ulama yang mendefinisikannya secara istilah. Biasanya jika ada yang membahas tentang khutbah jumat, mereka tidak memberikan pengertiannya melainkan dengan menjelaskan syarat atau rukun dari khutbah jum’at tersebut. Seperti halnya yang dijelaskan oleh salah satu ulama hanafiyah:

والخطبة في المتعارف اسم لما يشتمل علي تحميد الله والثناء عليه والصلاة علي رسوله والدعاء للمسلمين والوعظ والتذكير لهم.

“Khutbah dalam pengertiannya merupakan sesuatu yang mengandung pujian bagi Allah, shalawat atas rasul-Nya, do’a untuk orang-orang islam, dan nasehat serta peringatan bagi mereka semua”.

Pengertian tersebut lebih kepada penjelasan mengenai komponen-komponen yang harus terkandung dalam khutbah jumat atau disebut rukun-rukun khutbah jum’at, sehingga ini tidak dapat disebut sebagai suatu definisi.

Namun dalam sebuah Kamus Istilah Fiqih, dijelaskan bahwa khutbah jumat adalah pidato, ceramah, atau perkataan yang mengandung mauidhah dan tuntunan ibadah yang disampaikan oleh khatib dengan cara (syarat dan rukun) yang telah ditentukan oleh syariat untuk memberi pengertian kepada jamaah.

Meski pengertian tersebut tidak begitu sempurna, dengan tidak adanya penjelasan waktu penyampaiannya, namun pengertian ini dapat memberikan gambaran tentang khutbah jumat dan membedakannya dari metode pidato atau ceramah lainnya.

Ketentuan Khutbah Jumat

Khutbah memiliki ketentuan meliputi syarat khatib, syarat khutbah, dan rukun khutbah. Adapun beberapa ketentuan khutbah jumat sebagai berikut.

Syarat Khatib

1. Muslim, Laki-laki, dan Baligh

Khatib harus seorang Muslim dan berjenis kelamin laki-laki sebab shalat Jumat hanya diwajibkan bagi laki-laki, selain itu, khatib telah baligh.

2. Taat Beribadah serta Tidak Suka Berbuat Tercela dan Dosa

Seorang khatib disyaratkan tidak suka berbuat tercela dan taat beribadah. Seorang khatib bertugas mengajak orang lain meningkatkan ketakwaan. Syarat tersebut dimaksudkan agar orang lain tertarik dan tergugah hatinya mengikuti ajakan khatib. Jika khatib suka berbuat tercela dan berbuat dosa, tentu orang lain tidak tertarik mengikuti ajakannya.

3. Berakal Sehat

Syarat lain menjadi khatib juga harus sehat akal pikirannya. Orang yang tidak sehat akal pikirannya tidak layak menjadi khatib. Beberapa keadaan yang termasuk tidak sehat akal pikirannya adalah mabuk, gila, dan pikun dll.

4. Suci dari Hadas dan Najis

Seorang khatib harus dalam keadaan suci dari najis dan hadas, baik badan maupun pakaian. Jika berhadas kecil, khatib wajib berwudhu dahulu sebelum berkhutbah. Jika sedang berhadas besar, khatib harus mandi besar untuk bersuci dari hadas besar.

5. Menutup Aurat

Pada saat berkhutbah khatib wajib menutup aurat. Batas aurat laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut. Namun, secara adab umat Islam tetap dianjurkan untuk mengenakan pakaian yang lengkap dan tertutup, baik khatib maupun jamaah shalat Jumat.

Syarat Khutbah Jumat

Khutbah Jumat disampaikan dalam dua bagian, yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Kedua khutbah dilaksanakan secara berurutan atau tanpa disela dengan ibadah lain. Syarat pelaksanaan khutbah meliputi hal-hal berikut.

  1. Khotbah Jumat dimulai setelah tergelincirnya matahari (masuk waktu zuhur).
  2. Khatib menyampaikan khotbah dengan berdiri jika mampu.
  3. Khatib duduk di antara dua khotbah.
  4. Khotbah disampaikan dengan suara keras dan jelas agar dapat didengar oleh jamaah.
  5. Khotbah disampaikan secara tertib.
Baca Juga:  Lewat di Depan Orang Shalat, Bagaimana Hukumnya?

Rukun Khutbah JUmat

Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang wajib dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwalah). Berikut ini lima rukun khutbah Jumat beserta penjelasannya.

Pertama, Memuji Allah di Kedua Khutbah

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي

“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246)

Kedua, Membaca Shalawat Nabi di Kedua Khutbah

Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

ويتعين صيغتها اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم

“Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalatu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).

Ketiga, Berwasiat dengan Ketakwaan di Kedua Khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah makshiat”.

Selain itu, tidak hanya sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia saja, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemakshiatan. Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر …الى ان قال… ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا

“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219)

Keempat, Membaca Ayat al-Quran di Salah Satu Khutbah

Membaca ayat suci al-Quran dalam khutbah standarnya adalah ayat yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauidhah, cerita dan lain sebagainya. Membaca ayat al-quran lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama. Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

(قوله ورابعها) أي أركان الخطبتين (قوله قراءة آية) أي سواء كانت وعدا أم وعيدا أم حكما أم قصة) وقوله مفهمة) أي معنى مقصودا كالوعد والوعيد وخرج به ثم نظر أو ثم عبس لعدم الإفهام (قوله وفي الأولى أولى) أي وكون قراءة الآية في الخطبة الأولى أي بعد فراغها أولى من كونها في الخطبة الثانية لتكون في مقابلة الدعاء للمؤمنين في الثانية

Baca Juga:  Kulit Hewan Qurban Tidak Boleh Dijual, Ini Solusi Biaya Operasional untuk Panitia Qurban

“Rukun keempat adalah membaca satu ayat yang memberi pemahaman makna yang dapat dimaksud secara sempurna, baik berupa janji-janji, ancaman, hikmah atau cerita. Mengecualikan seperti ayat “tsumma nadhara”, atau “abasa” karena tidak memberikan kepahaman makna secara sempurna. Membaca ayat lebih utama dilakukan di khutbah pertama dari pada ditempatkan di khutbah kedua, agar dapat menjadi pembanding keberadaan doa untuk kaum mukminin di khutbah kedua.” (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anatut Thalibin, juz.2, hal.66, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Kelima, Berdoa untuk Kaum Mukmin di Khutbah Terakhir

Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti “allahumma ajirna minannar, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”, “allahumma ighfir lil muslimîn wal muslimat, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”.

Tidak mencukupi jika hanya doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti “allahumma a’thina malan katsiran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

(و) خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خلافا للأذرعي (ولو) بقوله (رحمكم الله) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة (ثانة) لاتباع السلف والخلف

“Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat imam al-Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).

Sunnah Khutbah

Selain rukun, ada beberapa sunnah khutbah yang termasuk dalam tata cara dan ketentuan pelaksanaan khutbah Jumat. Beberapa sunnah khutbah adalah sebagai berikut.

  1. Khutbah hendaknya dilakukan di atas mimbar atau tempat yang Iebih tinggi. Tempat yang Iebih tinggi dimaksudkan agar para jamaah dapat mendengar suara khatib dengan jelas.
  2. Memulai khutbah dengan mengucap salam.
  3. Khutbah disampaikan dengan bahasa yang jelas, sederhana, tidak terlalu panjang, dan tidak terlalu pendek.
  4. Khatib membaca Surah al-lkhlas sewaktu duduk di antara dua khutbah.
  5. Tertib dalam melaksanakan rukun khutbah.
  6. Jamaah hendaknya mendengarkan khutbah dengan khidmat. Adapun menurut para ulama, berbicara ketika mendengarkan khutbah hukumnya haram.

Hal-Hal yang Makruh dalam Khutbah

Hal-hal yang makruh dilakukan dalam khutbah adalah sebagai berikut.

  1. Khatib meninggalkan seluruh sunah khutbah.
  2. Khutbah yang disampaikan oleh khatib mengandung pernyataan yang dapat memecah persatuan umat.
  3. Khutbah yang disampaikan oleh khatib terlalu panjang atau terlalu pendek.
  4. Jamaah bermain-main ketika khatib berkhutbah.
  5. Jamaah berbicara ketika khatib menyampaikan khutbah.
  6. Imam atau jamaah memicingkan mata tanpa suatu alasan ketika khatib menyampaikan khutbah (menurut ulama mazhab Syafi’i).
  7. Khatib membelakangi jamaah.

Demikian semoga informasi ini bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik