Sejarah Strategi Kyai dan Santri dalam Politik Islam Jawa

Kyai dan Santri

Pecihitam.org – Kyai dan santri adalah dua kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hadirnya seorang Kiai karena mempunyai santri atau murid yang dibimbing oleh seorang Kiai. Kiai menjadi tokoh sentral dalam sebuah lembaga pesantren atau di masyarakat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Peran Kyai dalam membangun karakter santri dan masyarakat yang lebih baik, tentu membutuhkan banyak cara dan metode. Ada yang menggunakan metode pengajaran dengan menggunakan budaya, ekonomi, sosial dan bahkan politik. Semua itu tentu diimbangi dengan khazanah keislaman seperti ilmu fiqih, falsafah, ibadah dan juga tasawuf.

Jika kita mengacu pada sejarah Islam di tanah Jawa, pengembangan dakwah melalui tardisi, budaya dan politik dapat kita lihat pada zaman walisongo. Khususnya pada abad ke-14 hingga akhir abad ke-16. Pada abad ke-15 contohnya, sudah bermunculan pusat-pusat keilmuan Islam seperti di Giri, Ampel, Tuban dan Kudus, meskipun keberadaan pesantren tersebut tidak seperti sekarang.

Kegiatan pembelajaran dan pengajaran dimungkinkan berlangsung di rumahrumah, langgar atau masjid. Proses pembelajaran pun mustahil menggunakan kitab kuning karena sulitnya memahami teks-teks berbahasa Arab. Meksipun ada bukti sejarah bahwa pada abad ke-16 sudah ditemukan naskah-naskah berbahasa Arab di mana kemungkinan kitab-kitab tersebut dibawa oleh pedagang dari Timur Tengah.

Baca Juga:  Qasidah Salamullah Ya Sadah; Tradisi Nusantara Ketika Mengunjungi Makam Auliya

Istilah wali adalah sebutan masayrakat kepada seseorang yang sangat dihormati di lingkungannya. Wali sebenarnya sama seperti kiai, sama-sama orang suci yang dihormati. Namun, wali lebih cenderung mempunyai kelebihan atau dalam bahasa agama disebut dengan kharomah.

Dalam konteks Jawa, wali bukan hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai pemimpin politik. Awalnya mereka adalah pemimpin agama, menyebarkan agama Islam, namun ketika memiliki pengaruh pada akhirnya memiliki pula kekuasaan terhadap suatu daerah.

Pada akhirnya mereka mendirikan kerajaan atau wilayah otonomi dari kerajaan pusat. Di sisi lain ada pula yang dilakukan melalui jalur pernikahan. Sebagian mereka adalah keturunan Cina Muslim yang berhasil menjalin hubungan pernikahan dengan elite Majapahit.

Tidak hanya wali, di dalam sistem kerajaan Jawa ada istilah sultan. Penulis mempunyai pandangan bahwa, sultan sama seperti kiai, dan wali. Keduanya mempunyi kehormatan khusus oleh masyarakat. Jika kita melihat sejarah, istilah  “sultan” dalam kepemimpinan Islam Jawa tidak dapat dipisahkan dari nama Sultan Agung yang pada masanya menjadi pemimpin/raja Mataram Islam.

Baca Juga:  Beginilah Cara Santri NU Meneladani Rasulullah dalam Bernegara

Selain dikenal sebagai ahli di bidang militer, Sultan Agung juga dikenal dengan kemampuan di bidang politik dan budaya yang mengungguli raja-raja sebelumnya yang kemudian menjadi penguasa seluruh tanah Jawa.

Dalam literatur Islam, kata sultan juga digunakan untuk menunjuk kepada menteri, gubernur atau figur-figur penting lainnya. Secara umum merupakan contoh dari kecenderungan istilah-istilah politik, di mana kata tersebut menunjukkan suatu abstraksi sebutan dari pemegang kedaulatan.

Dari istilah sultan, wali dan juga kiai di atas. Mungkin peran sultanlah yang lebih cenderung mepunyai tendensi pada kepemimpinan. Yang menjadi pertanyaanya adalah bagiaman dengan istilah kiai yang sama halnya orang yang disucikan dimasyarakat, bolehkah kiai mengajarkan santrinya cara berpolitik ?.

Dalam pembahasan di atas, saya punya pandangan bahwa kiai boleh ikut dan mengajarkan santrinya untuk berpolitik. Namun dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah, dunia politik sekarang saya mengistilahkan pada “ lempar batu, tutup tangan “.

Baca Juga:  Begini Fakta Tentang Tradisi Kupatan yang Terdapat Pada Masyarakat

Artinya setiap orang yang mempunyai dunia politik maka mereka tidak segan-segan untuk menjatuhkan orang lain demi kepentingan kelompoknya. Sudah barang tentu, saling menjatuhkan sangat di larang oleh agama. Oleh sebab itu, politik santun dan menjadikan politik sebagai sarana dakwah dan silahturahmi dalam membangun kesejahtraan, ini yang sangat dianjurkan.  

M. Dani Habibi, M. Ag