PeciHitam.org – Menurut al Hasyimy, kinayah secara leksikal bermakna tersirat. Kata Kinayah (كناية) merupakan bentuk mashdar dari fi’il (كنى – يكنى – كناية). Sedangkan secara terminologi kinayah adalah suatu ujaran yang maknanya menunjukkan pengertian pada umumnya (konotatif), akan tetapi bisa juga dimaksudkan untuk makna denotatif.
Menurut al-Thûfî, pada ayat “وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ” (QS. al-Isra’ [17]: 29), orang bakhil (kikir) dikinayahkan dengan orang yang membelenggu tangannya di leher, karena ia tidak mau memberi atau berbagi rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagaimana orang yang terbelenggu tangannya tidak bisa/mampu mengulurkan tangannya untuk memberi.
Kondisi orang yang terbelenggu tangannya adalah kondisi yang tidak pantas dan siapapun akan membenci perbuatan itu. Lalu kondisi tersebut disertai perasaan sakit bagi orang yang terbelenggu. Pendeskripsian seperti ini dimaksudkan agar setiap orang menjauhi perbuatan kikir dan sebagai peringatan bahwa perbuatan tersebut membawa mudharat (kerusakan) dan menimbulkan rasa sakit.
Al-Razi mengatakan bahwa ayat tersebut menggunakan uslûb majaz, disebutkan sabab (sebab perbuatan itu muncul), yaitu tangan tetapi yang diinginkan adalah akibat dari sebab itu sendiri yaitu bakhil. Pemilihan kata tangan dilakukan pada konteks ini karena ia merupakan alat untuk mengerjakan banyak aktivitas seperti memberi dan berinfak.
Menurut al-Thûfî pada kata “لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ” (QS. al-Nisa’: 43), menggunakan uslûb kinayah dari kata jima’ (bersenggama). Sebagaimana dipertegas oleh Ibnu Abbas, Mujahid dan Qatadah. Implikasi hukum fikih “dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Fakhr al-Din al-Razi, dalam kitab Mafâtîh al-Gaib menjelaskan bahwa, yang muncul adalah batal wudhu seseorang jika ia melakukan hubungan badan/ bersenggama dengan istrinya. Jika tidak melakukan hubungan badan/ bersenggama, maka tidak membatalkan wudhu. Pada konteks ayat ini dipilih kata lamastum dan tidak dipergunakan kata jima’ karena faktor/unsur malu karena terlalu vulgar.
Berbeda dengan Ibnu Mas’ud dan al-Nakha’i yang menafsirkan ayat di atas dengan menggunakan uslûb haqiqat (makna asli dari suatu kata sebelum terjadinya perubahan dan perkembangan makna), yaitu menyentuh. Implikasi hukum fikih yang muncul dari penafsiran tersebut adalah batalnya wudhu seseorang jika ia menyentuh badan/tubuh perempuan lain yang bukan mahramnya.
Menurut al-Thûfî, kata “أَصْحَابُ الْيَمِينِ” dalam surat al-Waqi’ah ayat 27 adalah kinayah untuk penduduk sorga sedangkan اَصْحٰبُ الشِّمَالِ pada ayat وَاَصْحٰبُ الشِّمَالِ ەۙ مَآ اَصْحٰبُ الشِّمَالِۗ (QS. al-Waqi’ah: 41) adalah kinayah bagi penduduk neraka. Tangan kanan dipergunakan untuk memuliakan, sementara tangan kiri dipergunakan untuk menghina.
Sementara itu أَصْحَابُ الْيَمِين, menurut ar Razi terdapat tiga makna dari kata tersebut; Pertama, orang yang mengambil kitab catatan amal perbuatannya pada hari kiamat dengan menggunakan tangan kanan, Kedua, orang yang memiliki kekuatan, dan Ketiga, pemilik cahaya.
Pada kata “وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا“QS. al-Hujurat [49]: 12, orang yang meng-gibah (menyebut kejelekan seseorang di belakang) dikinayahkan dengan orang yang memakan daging bangkai manusia (يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ), karena gibah berarti menyobek kehormatan seseorang sebagaimana orang yang memakan daging binatang dipastikan menyobek/memisahkan kulit dari dagingnya.
Kemudian level penyerupaan tadi dinaikkan lagi menjadi daging saudaranya karena biasanya seseorang akan sangat menjaga hak-hak saudaranya. Kemudian dinaikkan lagi levelnya bahwa daging itu adalah bangkai karena seseorang tidak mengetahui dirinya di-gibah sebagaimana bangkai tidak merasa kesakitan secara zahir ketika dagingnya dimakan. Kemudian terakhir dinyatakan bahwa perbuatan tersebut menjijikkan agar orang takut mengerjakannya.
Menurut al-Razi, terdapat pesan sastrawi al-Quran bahwa kehormatan seseorang ibarat/bagaikan darah dan daging. Karena kehormatan seseorang lebih mulia dari dagingnya. Jika orang yang berakal normal tidak mau memakan daging manusia, maka sebenarnya dia tidak akan mau merusak kehormatan orang lain karena itu lebih menyakitkan. Apalagi jika yang dimakan itu daging saudaranya.