Kisah Debat Imam Syafii dan Imam Hambali Tentang Orang yang Meninggalkan Shalat

kisah imam syafii dan imam hambali

Pecihitam.org – Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’ terdapat kisah Imam Syafii dan Imam Hambali yang pernah berdebat tentang kedudukan orang yang meninggalkan shalat apakah kafir atau tidak.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Saat itu Imam Hanbali menyatakan pendapatnya bahwa orang yang meninggalkan shalat satu kali saja dengan sengaja, maka orang itu dihukumi kafir.

Pendapat itu berdasar dari dzahir teks hadits: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, dia telah kafir.”

Lalu Imam Syafii berkata kepadanya: “Jika seseorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dihukumi kafir seperti madzhabmu (pendapatmu), bagaimana cara orang tersebut kembali pada Islam?”

Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Melakukan shalat.”

Imam Syafi’i berkata lagi: “Bagaimana mungkin shalat orang kafir dipandang sah?!” Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal diam, tidak mengatakan apa-apa lagi. (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 272).

Dari sini dapat kita lihat bahwa perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah dalam kajian hukum islam. Sebab jika tidak ada perbedaan pendapat, maka khazanah keilmuan kita tidak akan sekaya ini. Kitab-kitab ulama akan terlihat tipis dan tidak ada kitab yang tebal berjilid-jilid dan kaya akan informasi.

Akhirnya kita tahu bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat, yaitu bentuk kasih sayang Tuhan kepada umat manusia. Kemudian tinggal bagaimana kita sebagai umat islam melestarikannya.

Selain itu dari kisah debat Imam Syafii dan Imam Hambali di atas mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mengetahui bagaimana proses hukum fiqih terbentuk.

Baca Juga:  Inilah I'tiqad yang Benar Kepada Para Sahabat Nabi Saw

Sebagai contoh sebuah hukum yang terbentuk dari hadits riwayat Imam Muslim yang mengatakan, “al-ghuslu yaum al-jum’ah wajibun ‘ala kulli muhatalimin”, mandi hari jumat wajib bagi setiap muslim yang telah baligh.”

Dhohir hadits tersebut jelas mengatakan tentang kewajiban mandi Jumat, namun kebanyakan ulama menghukumi mandi jumat adalah sunnah, meski ada pula ulama yang menghukuminya wajib seperti Madzhab Dzahiri. Mengapa bisa terjadi demikian?

Karena ulama tidak gegabah mengambil kesimpulan tanpa melakukan telaah mendalam. Dalam perkara hukum mandi Jumat, ternyata para ulama sangat hati-hati serta mempertimbangkan dzahir hadits yang lain.

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ

“Barangsiapa yang berwudlu di hari jumat maka cukup baginya dan baik. Barangsiapa yang mandi jumat, maka mandi itu lebih utama.” (H.R. Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud)

Itulah mengapa berdasarkan hadits di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi Jumat hukumnya bukan wajib namun sunnah. Hal ini sama halnya dengan debat Imam Syafii dan Imam Hanbali diatas tentang kedudukan orang yang meninggalkan shalat.

Imam Syafii tentunya sangat tahu dasar argumentasi dari Imam Ahmad bin Hanbal. Namun beliau tidak bisa mengabaikan hadits lain tentang larangan mudahnya mengkafirkan orang.

“Man da’a rajulan bi al-kufr aw qala ‘aduwwa Allah wa laisa kadzalik illa hara ilaih (HR. Muslim). Barang siapa yang mendakwa seseorang dengan kekufuran, atau menyebutnya musuh Allah, sedangkan dia tidak seperti itu, hal tersebut akan kembali pada yang mengucapkannya.”

Baca Juga:  Wajib Tahu! Inilah Amalan-amalan yang Dapat Menunda Kematian

Menurut Madzhab Syafii, orang yang meninggalkan shalat bisa dikatakan kafir ketika dia meninggalkannya karena mengingkari kewajiban shalat. Namun, jika meninggalkannya sebab kemalasan dan menyepelekan, maka orang tersebut tidak dihukumi kafir, tetapi berdosa. (Fariduddin Attar, 2009, 272).

Karena itu sangat penting untuk memahami berbagai keragaman hukum fiqih untuk memperluas pengetahuan kita. Karena orang yang berpengetahuan luas, tidak akan mempersulit namun mempermudah, seperti kisah ulama-ulama kita di masa lalu.

Rata-rata para ulama dahulu memberikan hukum yang paling mudah dilakukan oleh masyarakat umum, namun mereka memberikan hukum yang paling berat untuk dirinya sendiri, bukan sebaliknya.

Dari kisah di atas terdapat hikmah yang mengajarkan kita beberapa hal:

  • Pertama, jangan mudah menyalahkan pendapat dan amalan orang lain, sebab mungkin saja ia punya dasar hukum dalam pendapat dan amalannya tersebut.
  • Kedua, pentingnya mempelajari mekanisme pengambilan hukum fiqih (ushul fiqih), agar pemahaman kita terhadap dzohir teks baik alQuran maupun hadits lebih dekat dengan pemahaman yang benar.
  • Ketiga, pentingnya mengetahui keragaman pendapat ulama. Ketika perbedaan pendapat masih dalam lingkup furu’iyyah, tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain. Setiap pendapat memiliki dasarnya sendiri-sendiri. Tergantung pada kekuatan nalar kita. Umat diberi kebebasan untuk memilih mana pendapat yang lebih kuat, walaupun belum tentu pendapat yang menurut kita lebih kuat, lebih benar dari pendapat lainnya.
  • Keempat, pintu taubat selalu terbuka. Imam Syafi’i enggan menyebut orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir. Sebab beliau memandang setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk bertaubat kembali kepada Allah.
  • Kelima, mencari kebenaran, bukan kemenangan intelektual. Pada akhir diskusi, kita tahu bahwa Imam Hanbali diam. Itu artinya, beliau membenarkan pendapat dari Imam Syafi’I dan tidak ngotot mempertahankan pendapatnya, namun menerima pendapat itu dengan tidak melakukan bantahan.
Baca Juga:  Kisah Hikmah Sufi, Jangan Mudah Berburuk Sangka!

Yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa banyak kita luangkan waktu kita untuk belajar dengan guru yang benar-benar mumpuni dibidangnya? Jika belum, mengapa kita mudah mengomentari wilayah yang sejatinya di luar keahlian kita, bahkan tidak jarang menyalahkannya? Semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik