Kisah Salman al Farisi yang Hampir Dipenggal dan Pemuda yang Menepati Janji

kisah salman al farisi

Pecihitam.org – Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khatab sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi bersama para sahabat yang juga sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mereka menghadap khalifah Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata :

“Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!”
“Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”.

Khalifah Umar segera bangkit seraya berkata :
“Bertakwalah kepada Allah, apakah benar engkau telah membunuh ayah mereka, wahai anak muda?”

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata:
“Benar, wahai Amirul Mukminin.”
“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.”, tukas Umar.
Pemuda lusuh itu kemudian memulai ceritanya:

“Dari pedalaman yang jauh aku datang, kaumku memercayakanku ke kota ini untuk sebuah urusan muamalah. Sesampainya aku di kota ini, ku ikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Setelah kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku. Rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, saat itu aku sangat marah, segera ku cabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Aku tak tahu ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Ya, Amirul Mukminin, engkau telah mendengar penuturannya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.”, sahut pemuda yang ayahnya terbunuh.
“Tegakkanlah had Allah atasnya!” timpal yang satunya.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh tadi.
“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”, ujarnya.
“Izinkan aku, meminta kalian berdua untuk memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan tebusan atas kematian ayahmu”, lanjut Umar.

Baca Juga:  Kisah Sedekah Sayyidina Ali yang Dibalas Berlipat Ganda dengan Tunai

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda dengan mata yang masih merah menyala,
“Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridho jika nyawa belum dibalas dengan nyawa”.

Khalifah Umar semakin bimbang, sebab di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang ia nilai amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba pemuda lusuh tadi berkata :
“Ya Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah”, ujarnya dengan tegas.
“Namun, izinkan aku untuk menyelesaikan urusan kaumku terlebih dahulu. Berilah aku tenggat waktu 3 hari, setelah itu aku akan kembali lagi untuk diqishosh”.

“Mana bisa begitu?”, ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.
“Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?”, tanya Khalifah Umar.

“Sayangnya tidak ada, ya Amirul Mukminin”.
“Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban atas kaumku bersamaku?”, pemuda lusuh itu balik bertanya kepada khalifah Umar.

“Baiklah, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji.” kata Umar.
“Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman”, jawabnya.

Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang :
“Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin”. Ternyata suara Salman al-Farisi yang berkata.

“Salman?” hardik Umar marah.
“Kau belum mengenal pemuda ini, Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini”.

“Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa, Umar. Aku percaya padannya sebagaimana engkau mempercayainya”, jawab Salman dengan tenang namun mantab.

Baca Juga:  Ketika Seorang Ahli Ibadah Dikalahkan Oleh Iblis

Dengan berat hati, akhirnya Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda itu. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai gelisah dan bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena jelas mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Tibalah hari ketiga. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai khawatir dengan nasib Salman, apalagi ia salah satu sahabat Rasulullah S.A.W. yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir begitu gelisahnya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda pembunuh ayah mereka.

Akhirnya, tiba waktunya penqishoshan. Salman dengan sangat tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.
”Itu dia!” teriak Umar.
“Dia datang menepati janjinya!”.

Dengan tubuh yang bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.
”Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..” ujarnya dengan susah payah,
“Tak kukira… urusan kaumku… menyita… banyak… waktu…”.
“Kupacu… tungganganku… tanpa henti, hingga… ia sekarat di gurun… Terpaksa… kutinggalkan… lalu aku berlari dari sana..”

“Demi Allah”, ujar Umar menenangkan dan memberinya minum,
“Mengapa engkau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?” tanya Umar.

“Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan… bahwa di kalangan Muslimin… tak ada lagi ksatria… menepati janji…” jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Baca Juga:  Kisah Umar Bin Khattab Melawan Malaikat Mungkar Nakir

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya :
“Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang lain, padahal ia hanya baru saja kau kenal?

Kemudian Salman menjawab, ” Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”.

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.
”Allahu Akbar!”, Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak.
“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu”.
Semua orang pun tersentak kaget.

“Kalian…” ujar Umar.
“Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.
Kemudian dua pemuda menjawab:
”Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan kasih sayang kepada saudaranya”.

“Allahu Akbar!” teriak orang-orang yang hadir.
Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.
MasyaAllah…, saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan al islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya.

*Kisah ini terdapat dalam kitab I’laam al-Naas Bi Ma Waqa’a Lil Bara.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik