Kisah Ulama yang Murtad dan Keluhuran Akhlak Muridnya

kisah ulama yang murtad

Pecihitam.org – Ada sebuah kisah kisah ulama sempat menjadi murtad yang jika diceritakan akan membuat hati kita terenyuh. Bagaimana mungkin seorang yang tekanal alim dan punya banyak murid bisa terlepas dari agamanya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kisah ulama yang murtad ini diceritakan oleh Syekh Rohimuddin An Nawawi Al Bantani, keturunan ulama besar Nusantara Syekh Nawawi al Bantani. Berikut kisahnya…

Alkisah ada seorang Ulama besar, ia sangat alim dan punya majelis dengan murid banyak. Suatu ketika, bertemu dengan seorang wanita muda nan cantik jelita.

Allah kemudian menghujamkan rasa cinta yang begitu besar ulama itu kepada sang wanita. Akhirnya sang ulama berniat menikahinya.

Ia kemudian menyelidiki latar belakang wanita itu. Ketika memastikan tempat tinggalnya, sang ulama lantas berkunjung dan bertemu dengan seorang pria paruh baya yang ternyata ayah wanita tersebut. Diutarakanlah keinginannya menikahi sang putri.

“Boleh saja, tapi ada syaratnya,” kata ayah dari wanita itu. Syarat yang diajukan adalah melepaskan jubah dan surban. Ulama itu menuruti.

Namun, ternyata yang dimaksud jubah dan surban adalah agamanya. Ya, wanita yang diincar ulama itu adalah non-Muslim. Ayahnya meminta ulama tersebut melepaskan Islam.

Baca Juga:  Kisah Nabi Ibrahim Yang Selamat Dari Pembakaran Kaum Namrud

Apa yang terjadi? Karena cintanya begitu besar sang ulama pun menuruti.. Ternyata syarat itu belum cukup. Ayah dari wanita itu minta syarat lain.

Engkau harus mengurusi hewan ternak yang masih kecil. “Jika hewannya sudah besar, baru boleh kau nikahi anakku.” kata ayah dari wanita itu. Meski harus dengan syarat tambahan, lagi-lagi sang ulama menyetujui.

Di lain tempat, murid-muridnya bingung lantaran sang guru tak ada di majelis. Dinanti beberapa hari tak kunjung datang. Ditanya kesana kemari tak ada yang mengetahuinya.

Hingga datanglah kabar dari mulut ke mulut jika guru mereka berada di tempat wanita non-Muslim, mengurus ternaknya dan telah menjadi murtad.

Muridnya lantas menyambangi. Benar saja, guru yang sebelumnya ulama besar di daerah tersebut ternyata telah berpindah agama. Lalu apa tindakan muridnya?

Kaget? Tidak. Marah? Boro-boro. Mencaci dan menyakiti gurunya? Tidak sedikit pun cercaan dan atau tudingan yang keluar dari lisannya.

Bertemu gurunya murid lantas itu tersenyum. Ia malah sangat gembira. “Duhai guruku, apa kabar?” sapa murid itu dengan lembut. Melihat muridnya, ulama yang telah pindah agama itu malu. Ia enggan menatap muridnya bahkan tak menyapa balik.

Baca Juga:  Kisah Cinta dan Patah Hati Salman al-Farisi, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

“Siapa kamu? Aku tidak kenal. Pergi!” jawab sang guru. Muridnya tak pergi. Ia malah mendekat dan bersimpuh di kaki gurunya.

Murid itu berkata; “Hari ini aku lebih mencintaimu dibanding hari-hari sebelumnya.”

Murid itu melanjutkan: “Wahai guruku, dulu engkau mendidik kami jika Allah maha membolakbalikkan hati. Dulu engkau mendidik kami tak ada yang bisa diperbuat manusia kecuali atas izin Allah. Engkau ingatkan kami, manusia tempatnya salah dan dosa.

Guru, hari ini apa yang kau katakan dulu telah terbukti. Hanya Allah-lah yang maha membolakbalikkan setiap hati manusia. “Kembalilah guru…”

Seperti disambar petir! Dada sang guru terguncang. Ia menangis, kembali bersyahadat dan memeluk muridnya. Ulama itu lantas, kembali ke majelis. Bertaubat membersihkan hati dan diri.

Betapa dahsyat akhlak antara guru dan murid itu. Tak ada kemarahan, tak ada kekecewaan, tak ada caci maki, tak ada saling bantah membantah, apalagi fitnahan, dan tudingan. Aapalagi pembunuhan.

Keduanya sama-sama menyadari manusia tempat salah dan dosa. Mereka saling mengingatkan, menyadarkan, menyentuh jiwa dan hati dengan kelembutan serta kasih sayang. Berharap datangnya hidayah dari Allah Swt.

Allah pun membalikkan hati sang ulama. Hingga akhirnya ia kembali mendidik murid-muridnya di majelisnya dulu. Masya Allah indahnya.

Baca Juga:  Kisah Dzun Nun Al-Misri, Seorang Bapak Paham Ma’rifat dari Mesir

Elok nian kemuliaan akhlak mereka. Alangkah bahagianya jika akhlak mereka bisa ditauladani para ulama, ustadz, dan aktivis dakwah di Indonesia.

Alangkah geram dan takutnya musuh-musuh Islam jika umat Islam bersatu dalam satu payung bernama: ukhuwah Islamiah.

Namun, sebaliknya. Musuh-musuh Islam akan senang ketika melihat umat terkotak-kotak. Sesama ustadz saling klaim, saling balas bantahan, saling hujat, lalu diikuti murid-murid dan atau jamaahnya.

Belum cukup. Bahkan kadang juga caci maki. Tudingan bidah, sesat, kafir, musyrik dilemparkan dengan entengnya: hanya lantaran beda amaliyah. Klaimnya ahli sunnah. Namun akhlaknya?

Agama adalah akhlak. Begitu nilai-nilai yang ditanamkan Rasulullah Saw yang sudah sewajibnya diteladani oleh umatnya.

Wallahua’lam bisshawab.

Lukman Hakim Hidayat