Pecihitam.org – Ketika Rasul tengah sibuk memimpin majlis ilmu di masjid Nabawi, datanglah Zaid bin San’ah melalui pintu masjid. Masjid Nabawi yang dipenuhi para shahabat yang asik mendengarkan nasehat rasulullah berusaha dipecah oleh Zaid agar dia dapat menuju ke shaf yang paling depan. Bayak para shahabat yang belum mengetahui siapa pria yang berusaha menuju shaf awal tersebut.
Sesampainya di shaf paling depan, Zaid tidak langsung duduk, melainkan berdiri di belakang Nabi sehingga menghalangi jama’ah yang sedang mendengarkan ceramah Nabi.
Tidak hanya itu, dia langsung menarik kain serban yang melingkar pada leher rasul hingga beliau langsung tercekik. Tanpa banyak pertimbangan, hampir semua shahabat berdiri seperti bersiap untuk menyerang pria asing tersebut.
Umar bin Khattab yang berada dekat sekali dengan Kanjeng Nabi SAW, berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal kepala orang ini!” Umar menatap Zaid dengan wajah merah padam, menahan murka. Nabi Muhammad saw, memberi isyarat dengan tangannya agar Umar dan seluruh hadirin tenang. Sedangkan keadaan beliau masih tercekik karena perlakuan Zaid.
“Wahai Yahudi, ada apa?” tanya Nabi kepada Zaid bin San’ah.
“Kau berutang padaku, Muhammad! Dan aku tahu, kalian ini orang Quraisy sangat suka menunda-nunda pembayaran utang,” Jawab Zaid bin San’ah.
“Bukankah belum tiba saatnya (batas waktu pembayaran hutang)?” tanya Nabi saw.
“Saya tidak peduli. Bayar utangmu sekarang juga!” perintah Zaid seraya melepas serban nabi.
Maka Rasulullah saw segera berpaling kepada Umar dan berkata, “Wahai Umar, ambilkan dari Baitul Maal sebanyak 20 sha’ (sekira 40 kg) kurma untuk membayar utangku kepada Yahudi ini dan sebanyak 20 sha’ kurma lagi.”
“Wahai Rasulullah, 20 sha’ itu untuk utang engkau. Tetapi, 20 sha’ lagi untuk apa?” tanya Umar.
“Itu sebagai hukuman karena engkau telah menakut-nakuti dia,” jawab Nabi SAW.
Dengan patuhnya, Umar segera keluar dari masjid menuju baitul mall untuk mengambil kurma. Dibelakangnya Zaid mengikuti Umar. Umar yang terkenal dengan ketegasannya, berusaha sebaik mungkin menahan amarah atas perlakuan zaid kepada nabi.
Sesampainya di baitul mall, Umar segera mengisi dua karung dengan masing-masing 20 sha’ kurma. Karung pertama yang tuntas diisi lantas diberikannya kepada pria Yahudi itu. Sementara karung kedua yang baru diisi dengan kurma, segera dicegah oleh Zaid.
“Wahai Umar. Tahanlah. Jangan kau masukkan kurma ke karung kedua itu,” kata Zaid.
Umar tidak memperdulikan ucapannya, “Aku hanya melaksanakan perintah Rasul! Aku tidak ingin mendengarmu!” tegas Umar.
“Wahai Umar, apakah kau tidak mengenalku?” Tanya Zaid bin San’ah.
“Saya tidak ingin tahu!” jawab Umar ketus.
“Saya adalah Zaid bin San’ah” Zaid menimpali.
Umar terkejut mendengar jawabannya. Segera Umar berdiri menghadapnya dan bertanya “Apakah benar kamu Zaid bin San’ah? Zaid yang pendeta Yahudi, ahli Taurat?” tanya Umar sedikit ragu.
“Benar. Akulah Zaid bin San’ah,” jawab si Yahudi dengan tenang.
“Bukankah kau mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah!?” tanya Umar lagi.
“Benar. Aku mengetahuinya. Tapi, coba kamu renungkan, bagaimana aku melakukan hal tersebut seorang diri bahkan didepan ribuan shahabat seperti kalian. Apa engkau berpikir aku sudah gila?” tanya Zaid.
“kenapa kau melakukannya?” tanya Umar.
“Sungguh, sebelum aku datang ke masjid Nabawi, aku melihat hampir semua tanda kenabian dari Muhammad. Namun masih ada satu tanda yang belum aku dapatkan darinya, yaitu kasih sayang yang begitu besar hingga mengalahkan rasa marahnya” terang Zaid.
“Oleh karena itu, aku sengaja melakukan hal tersebut untuk memancing kemarahan Muhammad. Aku sudah tahu bahwa utangnya belum jatuh tempo dan aku siap bertaruh nyawa untuk hal itu. Aku ingin sekali membuktikan tanda kenabian yang ada pada Muhammad” lanjut Zaid.
“Dan kini aku percaya adanya semua tanda kenabian yang ada pada dirinya. Maka kujadikan engkau sebagai saksi wahai Umar, asyhadu an laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” ucap Zaid.