Pecihitam.org, JAYAPURA – Kiprah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua dalam melawan radikalisme sudah sangat teruji pada separuh dekade terakhir. Dialog dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Tasamuh, Tawazun, Tawassuth, dan I’tidal adalah menjadi cara yang di kedepankan.
Menurut Ketua PWNU Papua, KH. Dr. Toni Wanggai, S.Ag, M.A, memahami akar permasalahan adalah prasyarat dalam melawan radikalisme. Untuk itu perlu ditelusuri tiap insiden yang sudah terjadi di Tanah Papua.
Dia bercerita, benih radikalisme mulai tampak di Papua sejak tahun 2010, saat mengudaranya salah satu radio swasta di Kota Jayapura. PWNU Papua meminta Polres Jayapura mencabut izin operasional radio tersebut, karena menghadirkan da’i berpaham radikal yang dakwahnya menyesatkan sesama muslim dan mengkafirkan non-muslim.
“Dinamika itu akhirnya dimediasi oleh MUI Papua. Sejak 2010 pula PWNU Papua bekerjasama dengan BNPT Pusat menjadi informan gerakan radikalisme dan terorisme di Papua,” tutur Toni seperti dikutip dalam siaran pers yang dikeluarkan Lembaga Ta’lif Wa Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN-NU) Papua, Kamis (24/10/2019). Dikutip pospapua
Perlawanan terhadap radikalisme, lanjutnya, juga ditunjukan pada pertengahan 2014. Saat itu ada rencana Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI) Papua untuk mengadakan Kampanye Akbar Penegakan Khilafah Islamiyyah di Lapangan PTC Entrop, Kota Jayapura, yang bersamaan dengan kunjungan Presiden Jokowi.
“PWNU Papua bersama FKUB Kota Jayapura meminta Polda Papua mencabut ijin kegiatan tersebut, sehingga akhirnya dipindahkan ke salah satu hotel di Kota Jayapura,” jelasnya.
Demikian pula soal isu pembakaran musala di Kabupaten Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015 ketika Sholat Idul Fitri. Padahal yang terjadi adalah kebakaran kios yang merembet ke musala, namun dipelintir oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab hingga menyita perhatian nasional.
“Isu ini memicu seruan untuk berjihad dari unsur-unsur Islam garis keras di luar Papua. Kami berada terdepan meredam reaksi keras dari semua pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan umat muslim maupun dari kalangan gereja dan tokoh masyarakat di Papua,” tuturnya.
Melebarnya persoalan di Tolikara juga disikapi keras, Ketua PWNU Papua Toni Wanggai bersama Ustadz Thoha Al-Hamid (Dewan Pembina Majelis Muslim Papua) menghubungi Ketua Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, memperingatkan bahwa jika FPI sampai datang di Papua maka harus berhadapan lebih dahulu dengan umat muslim Papua.
“Waktu itu kami membuat pernyataan di media lokal dan nasional meminta semua ormas Islam di luar Papua untuk tidak mencampuri urusan umat muslim di Papua, karena muslim Papua bisa menyelesaikannya sendiri dengan cara pendekatan adat,” terangnya.
Apalagi isu Tolikara juga telah memicu kedatangan almarhum Ustadz Ja’far Umar Thalib (JUT), seorang eks kombatan Mujahidin Taliban di Afghanistan yang pada tahun 2000 membentuk Laskar Jihad di Ambon.
JUT berpaham Salafi dan mengajarkan ajaran intoleran mendirikan ponpes Ihya as-Sunnah di Kota Jayapura pada tahun 2015, lalu berpindah ke Kabupaten Keerom pada tahun 2016. Percikan awal terjadi akhir 2015, perkelahian antara santri JUT dengan pemuda gereja di Distrik (kecamatan) Muara Tami, Kota Jayapura, di wilayah perbatasan Indonesia – PNG.
“Kejadian itu memicu penolakan dari ormas-ormas Islam di Papua terhadap JUT, khususnya PWNU Papua. Untuk menyelesaikan kasus ini, PWNU Papua bersama Pokja Agama MRP (Majelis Rakyat Papua) bertemu Wapres Jusuf Kalla dan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin pada 4 Juni 2018,” tuturnya.
Puncak polemik JUT terjadi pada Februari 2019, mereka melakukan kekerasan dengan merusak sound system di rumah warga dekat masjid menggunakan pedang katana, dengan alasan warga memutar lagu-lagu rohani dengan volume tinggi. Insiden ini berujung vonis penjara bagi JUT, yang kemudian meninggal dunia pada tanggal 25 Agustus 2019.
Peran PWNU kembali digeber pada awal tahun 2018, menyusul polemik terkait menara masjid Al-Aqsha di Sentani, Kabupaten Jayapura, yang diprotes oleh pihak gereja setempat karena tinggi menara dipandang melampaui batas.
Isu ini pun memicu reaksi dari umat muslim di luar Papua hingga PWNU Papua kembali turun tangan menengahi dengan dialog melibatkan unsur umat muslim, gereja, tokoh masyarakat, dan unsur pemerintah.
Dalam kesepakatannya, tinggi menara Masjid Al-Aqsha dikurangi dari 30 meter menjadi 27 meter, dengan merujuk pada aturan yang membatasi tinggi bangunan di sekitar bandara yang dapat mengganggu operasional bandara.
Masih tahun 2018, PWNU Papua merestui GP Ansor Papua melakukan demonstrasi menuntut pembubaran HTI di halaman Kantor Gubernur Papua, Juni tahun itu. Selang beberapa jam kemudian Presiden menerbitkan Perppu Ormas membekukan HTI.
Polemik yang teranyar adalah pasca rangkaian demonstrasi anarkis pada kurun Agustus-September tahun ini. Sebagai imbas kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Kalasan Surabaya, pada tanggal 29 Agustus di Kota Jayapura terjadi demo yang berujung pembakaran fasilitas pemerintah dan publik.
Kejadian ini disusul demo anarkis mahasiswa eksodus Papua pada tanggal 23 September serentak di dua lokasi, yakni Kota Jayapura dan Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Bahkan tragedi kemanusiaan di Wamena merenggut 33 korban jiwa. Ratusan bangunan musnah, dan 16.000 orang mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan ketakutan.
Lagi-lagi, PWNU Papua kembali mengambil peran sentral dalam meredam potensi timbulnya konflik susulan menyusul seruan kelompok-kelompok jihadis untuk datang ke Papua. PWNU pun tegas menolak kedatangan kelompok atau ormas Islam dari luar Papua yang bertujuan melakukan jihad, karena konflik di Papua bukan konflik SARA.
Menurut Toni Wanggai, PWNU Papua kerapkali bekerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga agama dan LSM berskala nasional mengadakan seminar penanggulangan radikalisme dan terorisme.
Upaya yang ditempuh PWNU Papua dalam mendorong resolusi berbagai konflik di Tanah Papua selama ini tidak hanya melalui unsur-unsur setempat, namun juga dengan unsur pusat. Tujuannya untuk menelisik adanya kemungkinan keterlibatan oknum di pemerintahan pusat.
Dia mensinyalir, ada strategi manajemen konflik untuk menimbulkan deterrent effect terhadap gerakan separatisme di Papua dengan menghadirkan potensi perlawanan dari masyarakat sipil terhadap gerakan ini. Namun, harus diakui bahwa strategi ini tidak tepat sasaran, dan malah menimbulkan masalah baru.
“Gerakan yang dilakukan JUT misalnya, tidak pernah menyasar pelaku-pelaku separatisme, melainkan menyasar masyarakat umat beragama lain. Kemudian aksi balasan masyarakat di bawah bendera Paguyuban Nusantara terhadap massa perusuh, juga terbukti malah menimbulkan keresahan dan potensi konflik berlarut-larut,” ujarnya.
Toni menambahkan, PWNU Papua telah menyampaikan kritik ini kepada pihak-pihak yang berwenang, sekaligus menawarkan solusi yang lebih rasional dalam menangani masalah separatisme di Papua. Di antaranya. melalui pendekatan budaya dan penegakan hukum.
“Solusi ini tentu menuntut kepedulian semua pihak, baik di Papua maupun di luar Papua. Seluruh elemen bangsa harus satu suara menolak radikalisme,” kata Toni