Komitmen Gus Dur Terhadap Pluralisme

Komitmen Gus Dur Terhadap Pluralisme

Pecihitam.org – Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme diwujudkan dalam bentuk pembelaan terhadap kaum minoritas sebenarnya telah Gus Dur tunjukkan jauh sebelum ia menjadi presiden.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di zaman Orde Baru tepatnya di tahun 1996, Gus Dur mengegerkan publik karena ia membela sepasang pengantin, bernama Budi Wijaya dan Lanny Guito yang beragama Konghucu. Pasangan tersebut mendapatkan kesulitan saat ingin mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya.

Pegawai Catatan Sipil menolak mencatatkan pernikahan tersebut karena agama Konghucu dianggap bukan sebagai agama yang diakui di Indonesia. Pasangan pengantin tersebut akhirnya diminta untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui negara kala itu agar pernikahan mereka dapat dicatat dan diakui oleh negara.

Setelah Gus Dur berhasil menjadi presiden, ia mengembalikan harkat dan martabat warga keturunan Tionghoa yang selama ini dipasung oleh rezim Orde Baru. Gus Dur menunjukkan keberpihakannya dengan menghapus aturan Orde Baru dalam Inpres Nomor 14/1967 yang melarang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia merayakan peringatan Imlek serta kegiatan keagamaan dan adat-istiadat Tionghoa secara terbuka.

Baca Juga:  Nahdliyyin Senang Tahlilan, Ternyata Ini 4 Keistimewaan Membaca Tahlil

Naiknya Gus Dur menjadi presiden tidak sepenuhnya ditandai dengan berbagai keberhasilan, sebaliknya era pemerintahannya ditandai dengan sejumlah catatan merah. Salah satunya adalah Gus Dur dianggap gagal meredam eskalasi konflik Islam-Kristen yang terjadi di Ambon ketika berkuasa, padahal selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang konsen mempromosikan gagasan pluralisme dan juga aktif membangun dialog antara umat beragama.

Meskipun berlatar belakang santri dan juga keturunan K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Bisri Syansuri yang keduanya adalah ulama pendiri NU, Gus Dur tetap konsisten untuk tidak menyetujui adanya konsep negara Islam.

Gus Dur dikenal cukup berani dan tak segan-segan “menelanjangi” kelemahan konsep negara Islam yang diajukan oleh para kaum Islam formalis yang pro terhadap pendirian negara Islam. Menurutnya, Islam tidak mengenal konsep yang jelas tentang negara.

Ia mengambil contoh bahwa suksesi kepemimpinan khalifah pasca meninggalnya Nabi Muhammad cenderung selalu berubah-ubah. Abu Bakar diangkat melalui baiat oleh para pimpinan suku-suku. Umar diangkat melalui wasiat Abu Bakar. Usman dipilih oleh dewan formatur yang dibentuk oleh Umar sesaat sebelum ia meninggal.

Baca Juga:  Implikasi Ajaran Sunan Kalijaga Terhadap Tradisi Sekaten di Yogyakarta

Setelah itu, Utsman diganti oleh Ali. Setelah Ali, pemerintahan Islam –yang diawali oleh dinasti Umayyah hingga Utsmaniyah- lebih bercorak kerajaan (dinasti) di mana kekhalifahan diwariskan berdasarkan garis keturunan.

Gagasan pluralisme yang diusung oleh Gus Dur adalah suatu gagasan yang tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan lahir dari suatu proses pergumulan yang cukup panjang, yang diwarnai oleh persinggungan dengan berbagai tradisi pemikiran.

Pluralisme yang diusung Gus Dur bukanlah suatu pandangan yang bermaksud ingin menyamakan semua agama. Gus Dur menyadari bahwa setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme adalah suatu pandangan yang tidak hanya berbicara tentang pentingnya menghargai keragaman, namun ia juga adalah sebuah bentuk kontribusi aktif dalam keragaman itu sendiri.

Bagi Gus Dur, keragaman adalah sebuah sunnatullah yang telah didesain dan ditetapkan oleh Tuhan agar manusia dapat saling belajar satu sama lain untuk saling mengisi dan saling menyempurnakan.

Baca Juga:  Islam NUsantara dan Perumpamaan Gandum

Di mata Gus Dur, pluralisme bukanlah suatu konsep yang negatif sebagaimana yang sering dituduhkan orang karena secara substansi, pluralisme sejalan dengan nilai Islam, Pancasila, dan juga konstitusi negara di mana ketiganya memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan kesetaraan.

Karena itulah, gagasan pluralisme dapat menjadi tawaran untuk mengawal Indonesia ke depan agar terhindar dari mengerasnya paham radikalisme agama.

Mochamad Ari Irawan