Kondisi Syatahat yang Dialami Para Sufi Seperti Al-Halaj hingga Berkata “Ana Al-Haq”

Kondisi Syatahat yang Dialami Para Sufi Seperti Al-Halaj hingga Berkata Ana Al-Haq

Pecihitam.org– Bagi mereka yang menempuh jalan Tasawuf akan mengalami dan sampai pada ahwal dan maqam sesuai dengan pendekatan dan kedekatannya dengan Sang Khalik. Karena istilah-istilah yang relatif aneh tak jarang beberapa term dalam Tasawuf mendapatkan kritik dari mereka yang tidak menempuh jalan ini, seperti kondisi syatahat yang dialami oleh para sufi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Syatahat secara umum dikenal untuk kondisi dimana seorang hamba sampai pada pengalaman ruhani yang luar biasa hingga ia mengeluarkan ungkapan di luar kehendaknya.

Lebih detail, Imam Siraj At-Thusi mendefinisikan syatahat sebagai berikut:

عِبَارَةٌ مُسْتَغْرَبَةٌ فِيْ وَصْفِ وَجْدِ فَاضَ بِقُوَّتِهِ وَهَاجَ بِشِدَّةِ غَلَيَانِهِ وَغَلَبَتِهِ

“Ungkapan ganjil dalam mendeskripsikan keasyikan asmara yang tengah memancar dengan kuat serta berkecamuk dengan kedigdayaan dan hegemoni yang dahsyat.”

Salah satu contoh syatahat sufi yang paling masyhur adalah perkataan Abu Yazid al-Bustami ketika terdengar ungkapan dari lisannya: سُبْحَانِيْ سُبْحَانِيْ. “Mahasuci Aku, Mahasuci Aku!”

Juga kondisi syatahat al-Hallaj yang mungkin adalah ekspresi sugistik. Ia pernah mengatakan: أَنَا الْحَقُّAkulah Yang Mahabenar.”

Ungkapan-Ungkapan di atas jika dipahami secara lateral, maka akan menuduh orang yang mengucapkannya telah murtad. Abu Yazid akan dianggap sesat karena telah mengaku bersatu dengan Tuhan. Begitu pula Mansur Al-Hallaj akan dihukumi sesat juga dengan dakwa telah melebur dengan Tuhan.

Tapi lagi-lagi itu adalah pandangan dzahir, sedangkan ilmu tasawwuf adalah jalan batin. Maka dalam hal ini, Imam Al-Ghazali berkomentar, jika para sufi dalam kondisi tertentu mengeluarkan pernyataan yang terkesan bernuansa Ittihad (mengaku menyatu dengan Tuhan), maka pernyataan tersebut harus ditakwil bahwa maksudnya adalah Tauhid.

Baca Juga:  Benarkah Wali Allah tidak Pernah Mati? Ini Penjelasannya

Maka ketika Abu Yazid Al’Bustomi berkata Maha Suci Aku, cara memahaminya bukan berarti Abu Yazid mengakui dirinya suci seperti Tuhan melainkan takwilnya adalah Abu Yazid mensucikan Allah Dzat Yang Maha Sempurna.

Begitu juga ketika Al-Hallaj mengeluarkan ungkapan syathahat Aku adalah Yang Maha Benar, maksudnya bukan berarti Al-Hallaj mengaku melebur dengan Tuhan melainkan ia mengungkapkan pernyataan yang takwilnya Adalah Allah Adalah Dzat Yang Maha Benar.

Mengapa harus dipahami demikian? Karena seseorang yang mengalami kondisi syathahat hakikatnya bukan atas kehendaknya sendiri ia berucap. Tetapi kehendak Allah lah yang membuat lidah mereka bergerak dan mengeluarkan ungkapan.

Secara logika, ini bisa dijelaskan ketika kita sangat mencintai seseorang, maka dalam satu kesempatan kita akan berkata seolah-olah mewakilinya tetapi perkataan itu keluar dari lidah kita.

“Presiden tidak akan menerima eks teroris”, misalnya seorang juru bicara presiden mengeluarkan perkataan seperti itu. Walaupun tidak ada arahan langsung dari presiden untuk berkata seperti itu, tapi perkataan itu dapat diterima karena ia merupakan orang yang dekat dengan presiden.

Kembali pada ungkapan syatahat kaum sufi. Ketika ia berujar, hakikatnya Allah sedang berbicara melalui lisan mereka. Lalu apakah ini ada dalilnya? Tentu saja salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut:

Baca Juga:  Apa Maksud dari Istilah Wara’ dalam Ilmu Tasawuf? Begini Penjelasan Para Ulama

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَىْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِى عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ 

“Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yangmemusuhi wali–Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya.

Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya.

Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.

Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan kepadaKu pasti Aku akan melindunginya, tidaklah Aku ragu tentang sesuatu yang aku lakukan seperti keraguanku tentang (mencabut) nyawa seorang mu’min, dia tidak suka kematian (kesakitan dan kesulitanny), sedangkan Aku tidak suka keburukannya (menyakitinya krn saat lanjut usia ia akan berkurang kekuatannya, menjadi uzur dst, juga sakitnya ia menghadapi kematian)

Hadis di atas, dijadikan sebagai landasan untuk konsep syathahat oleh para sufi. Perhatikan hadis di atas. Diawali dengan uraian bahwa Allah akan menyatakan perang kepada orang yang membenci wali atau kekasih-Nya.

Baca Juga:  Konsep Kebahagiaan Menurut Ibnu Athaillah as-Sikandari

Kemudian pada kalimat-kalimat berikutnya dijelaskan tentang ciri-ciri wali, yakni mereka senantiasa melakukan ibadah yang diwajibkan dan ditambah dengan ibadah sunnah.

Dan ketika seorang hamba telah menjadi wali, maka Allah akan menjadi tangan dan mulut mereka yang dengannya ia berbicara.

Inilah salah satu dalil tentang syatahat yang para sufi bahwa jika seseorang telah sangat dekat dengan Allah, maka Ia akan menggunakan lisan orang tersebut untuk berbicara termasuk untuk mengatakan Aku adalah Dzat Yang Maha Benar yang keluar melalui lisan Al-Hallaj. Wallahu a’lam bisshawab!

Faisol Abdurrahman