Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia

Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia

Pecihitam.Org – Sebelum lebih jauh membahas Konsep Kafa’ah dalam hukum perkawinan di Indonesia menurut UU Perdata dan Kompilasi Hukum Islam perlu diketahui bahwa berlakunya hukum agama bagi masyarakat dan negara khususnya apabila dikaitkan dengan hukum positif ada 3 kemungkinan, sebagaimana dikemukakan Effendy yakni:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

  • Hukum agama juga dapat berlaku atau diterima secara menyeluruh oleh golongan masyarakat yang bersangkutan.
  • Hukum agama baru akan berlaku apabila hukum agama tersebut diterima oleh hukum di masyarakat setempat.
  • Hukum positif akan berlaku apabila adat tidak bertentangan dengan hukum agama (Effendy, 1994 : 65).

Berhubungan dengan adanya konsep kafa’ah dalam hukum perkawinan Islam maka bagaimana masyarakat di Indonesia menerima konsep tersebut khususnya dalam hal pengejawantahan dalam peranturan perundangan atau hukum positif yang berlaku.

Kalau penulis mentelaah dari isi peraturan perundangan yang berlaku maka konsep kafa’ah tidak termanifestasikan dengan jelas dalam aturan perundangan yang berlaku.

Hal tersebut dapat terlihat dari Peraturan perundangan yang berlaku yang terdapat dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Inpres Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dimana Isi pasal demi pasal di dalam aturan tersebut tidak ada aturan yang mensyaratkan adanya konsep kafa’ah dalam hal terjadinya perkawinan khususnya dalam proses peminangan dan pencegahan perkawinan.

Baca Juga:  Harus Tahu! Inilah Kewajiban Orang Tua Kepada Anak

Namun tidak semua konsep kafa’ah ditolak keseluruhanya oleh masyarakat dalam hal tersebut kalau dilihat dari pasal 2 ayat 1 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam penjelasan ayat menyebutkan tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan hukum hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Kalau melihat dari penjelasan dan pasal ini maka syarat untak melakukan perkawinan harus sesuai dengan hukum agama yang dianut oleh mempelai berdua atau dapat ditafsirkan bahwa perkawinan dapat dilangsungkan apabila calon mempelai mempunyai persamaan agama atau dengan kata lain bahwa perkawinan tidak bisa dilakukan dengan hukum agama yang berbeda.

Baca Juga:  Berhubungan Saat Haid atau Nifas Mengenakan Kondom Bagaimanakah Hukumnya?

Dari pemahaman pasal 2 ayat 1 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 kalau ditinjau dari konsep Kafa’ah maka prinsip kesejajaran dalam masalah agama yang dianut oleh masing masing mempelai harus sama meskipun tidak secara tegas Negara melarang terjadinya perkawinan antar agama yang berbeda.

Selain Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Materiil khusus bagi pemeluk agama Islam di Indonesia juga ada aturan yang lebih khusus mengatur tentang perkawinan yang terdapat dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam di Indonesia khususnya yang terdapat di dalam Bab 1 tentang perkawinan.

Kalau melihat isi pasal demi pasal dari aturan tersebut bahwa syarat sekufu dalam pengertian kafa’ah tidak diharuskan dalam proses terjadinya perkawinan atau lebih teknisnya dalam proses peminangan dan dalam hal aturan pencegahan perkawinan atau lebih jelasnnya didalam pasal 61 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa

tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al- dien.”

Baca Juga:  Bagaimana Hukumnya Jika Suami Menceraikan Istri Saat Haid?

Dari pasal ini dapat disimpulkan meskipun dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pencegahan perkawinan oleh wali nikah khususnya terdapat di dalam pasal 60 ayat 2 KHI yaitu dalam hal bila calon suami atau istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Aturan perundang undangan Namun syarat sekufu tidak bisa dijadikan alasan pencegahan perkawinan oleh wali nikah kecuali disebabkan karena ketidaksamaan dalam hal agama yang dianut masing masing calon.

Mochamad Ari Irawan