Konsep Tasybih: Memahami Tuhan Melalui Sifat-sifat-Nya

Memahami Tuhan Melalui Sifat-sifat-Nya

Pecihitam.org – Sebelumnya saya pernah menulis perihal memahami Tuhan melalui jalur teologi negatif atau tanzih. Di situ saya jelaskan perihal salah satu alternatif dalam menalar Tuhan di tengah kesulitan kita dalam menjelaskan zat “The Great Unknow”, Yang Besar tapi tak dikenal itu, yakni dengan cara membedakannya dari makhluk-makhluknya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam diskurus para teolog Muslim, masih ada jalur lain yang bisa ditempuh untuk memahami Tuhan. Jika sebelumnya melalui jalan tanzih atau membedakan. Maka jalur satunya lagi, yang akan dibahas di sini adalah melalui jalur tasybih, yakni kesamaan yang ada antara Tuhan dengan makhluk-makhluk-Nya.

Titik keserupaan (tasybih) ini tidak terletak pada level esensi atau zat dari Tuhan. Keserupaan Tuhan dengan makhluk ini dimungkinkan melalui sifat-sifat-Nya yang termaktubkan dalam ayat-ayat (tanda-tanda) dalam nash.

Titik pemahaman teologis ini berangkat dari landasan filosofis bahwa penalaran terhadap segala sesuatu, termasuk Tuhan, ia akan mungkin dipahami hanya melalui hal-hal yang menyerupainya. Kita tidak akan mungkin memahami entitas tertentu, jika kita tak memiliki titik kesamaan yang menjadikan kita bisa menalar dan memahaminya.

Baca Juga:  Apa Yang Dimaksud Sifat Jaiz Allah SWT?

Prof. Mulyadhi Kartanegara melalui bukunya Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia (2016) mengatakan bahwa sesuatu itu bisa dikenal apabila antara subjek yang mengenal dan objek yang dikenali, memiliki keserupaan.

Alasan manusia tak bisa memahami zat (esensi) Tuhan adalah karena, manusia sebagai subjek tak ada sama sekali keserupaan dengan objeknya yang esensinya sangat Maha Kuasa. Maka dari itu, jalan lain yang bisa ditempuh adalah melalui menalar sifat-sifat Tuhan yang tanda-tandanya sering dinukilkan dalam nash.

Prof. Mulyadhi (2016) mencontohkan bahwa kita sebagai manusia mampu menalar sifat “tahu” Tuhan, karena kita juga pada level yang lebih rendah memiliki sifat “tahu” tersebut. Begitu pula dengan sifat-sifat Tuhan lain.

Dulu, ketika mengaji di pesantren, ada pelajaran dari kitab-kitab Tauhid Sunni tentang sifat-sifat Tuhan. Sifat-sifat Tuhan itu berjumlah 99 sifat atau disebut sebagai Al-Asma’ Al-Husna. Kemudian, sifat-sifat itu diperas lagi menjadi 20 sifat wajib Allah Swt.

Baca Juga:  Tauhid Sebagai Ajaran Semua Nabi, Inilah Pengertian dan Pentingnya dalam Agama Ini

Prof. Mulyadhi (2016) menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah menganjurkan kepada manusia untuk berakhlak seperti perangainya Tuhan: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.” Anjuran itu tak lain adalah sebuah keabsahan dan sekaligus (jalan) kemungkinan bagi kita untuk mengenal Tuhan melalui sifat-sifat-Nya.

Konsep tasybih, memahami Tuhan melalui sifat-sifat-Nya ini merupakan tradisi teologis Asy’ariyah atau Sunni. Para teolog Mu’tazilah tak sepakat dengan pandangan-pandangan ini. Bagi mereka, antara zat dengan sifat tidaklah boleh dibedakan, keduanya menyatu.

Menurut mereka, jika antara zat (esensi) dengan sifat dibedakan, maka akan terjadi penumpukan atau ketersusunan (tarkib) di dalam sifat Tuhan. Pemahaman demikian ini sangat diperngaruhi oleh tradisi filsafat Yunani kuno tentang konsep kesatuan Tuhan atau ke-esa-an Tuhan.

Pandangan demikian ini juga tampak dari filusuf Muslim era awal seperti Ibn Sina dan al-Farabi. Kedua filusuf itu, kita ketahui, cukup banyak mengambil khazanah filsafat Yunani kuno untuk menjelaskan pemikiran Islam. Ibn Sina dan Farabi mendapatkan akses filsafat Yunani kuno sejak zaman proyek penerjemahan buku-buku Yunani kuno ke dalam bahasa Arab era Baitul Hikmah.

Demikian inilah penjelasan perihal konsep tasybih dalam tradisi Sunni untuk menjelaskan eksistensi Tuhan melalui sifat-sifat-Nya. Konsep itu menjadi salah satu bagian khazanah yang menarik dan terus hidup dalam pemikiran keislaman kontemporer. Wallahua’lam.