Kriteria Kafaah dalam Pernikahan (Prinsip Kesetaraan)

kafaah dalam pernikahan

Pecihitam.org – Dalam pernikahan terdapat istilah yang disebut dengan Kafaah. Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan kafaah dalam pernikahan adalah keseimbangan atau keserasian antara kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam tingkatan sosial, moral maupun ekonomi, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut Ibnu Manzur mendefinisikan kafa’ah sebagai suatu keadaan keseimbangan, kesesuaian atau kesearasian. Maka ketika dihubungkan dengan pernikahan, maka kafa’ah dapat diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon suami dan calon istri baik dari segi kedudukan agama, keturunan, kemerdekaan, pekerjaan, dan sebagainya.

Jika keduanya seimbang dan sebanding kedudukannya maka hal ini merupakan faktor kebahagiaan kelak setelah berkeluarga dan menjamin keselamatan dari kegagalan rumah tangga.

Meskupun begitu, namun kafa’ah ini tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur sah atau tidaknya sebuah pernikahan karena pernikahan akan tetap sah walaupun tidak se-kufu antara suami dan istri.

Perihal sekufu ini sudah menjadi hak dari pihak perempuan serta keluarga terutama walinya dalam mencari jodoh yang sepadan. Dan mereka tetap diperbolehkan menggugurkan hak itu dengan melakukan pernikahan antara pasangan yang tidak sekufu, apabila calon mempelai perempuan dan walinya ridho.

Dasar hukum kafaah dalam pernikahan ini dijelaskan didalam Al-Qur’an pada surat An-Nur ayat 26.

Baca Juga:  Adakah Konsep Outsourcing dalam Fiqih?

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Artinya: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”. (Q.S An-Nur; 26)

Mengenai kafaah dalam pernikahan terdapat perbedaan pendapat antara jumhur ulama termasuk Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad. Namun sepakat bahwa kafaah tidak termasuk syarat sah pernikahan.

Sehinggan pernikahan terhadap pasangan yang tidak sekufu pun juga tetap sah, hukum tentang kafa’ah ini hanya sekedar bentuk afdholiyah saja. Seperti pada ayat berikut;

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”.

Baca Juga:  Polemik Perihal Membaca Sayyidina Dalam Shalat

Menurut ulama Syafi’iyah, menyatakan bahwa dasar kafa’ah adalah,

  • Nasab (keturunan)
  • Diyanah ( Agama yang sama)
  • Kemerdekaan dirinya
  • Hirfah (profesi)

Dalam hal ini kekayaan tidak termasuk dalam kriteria kafa’ah. Karena itu, seorang laki-laki miskin sederajat dengan perempuan yang kaya. Menurut Imam Syafi’i seorang laki boleh menikahi perempuan yang tidak sederajat dengan dirinya, meskipun si perempuan adalah seorang budak sekalipun.

Sedangkan menurut jumhur ulama selain Imam Maliki sepakat pekerjaan masuk pada kriteria kafa’ah tersebut, seperti pada Hadist Nabi SAW, berikut :

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda “Orang Aarab adalah kufu’ bagi lainnya, orang Mawali adalah kufu’ bagi Mawali lainnya kecuali tukang bekam.

Maksudnya adalah bahwa pekerjaan terhormat sekufu’ atau seimbang dengan pekerjaan yang terhormat juga. Menurut Imam Syafi’I hirfah atau profesi tetap menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan kafa’ah.

Seorang peempuan yang berasal dari keluarga yang pekerjaanya terhormat, tidaklah sekufu dengan laki-laki yang pekerjaanya kasar tetapi jika pekerjaanya itu hampir sama tingkatannya maka dianggap tidak berbeda. Dali yang digunakan Imam Syafi’I adal Surat Ar-Rum ayat 21.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Baca Juga:  Hikmah Adanya Muhallil dalam Proses Rujuk Setelah Talak Tiga

Artinya “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum;21).

Namun, islam berusaha mengalihkan konsep kafaah dalam pernikahan yang tadinya bersifat sosial kemudian menggantinya dengan konsep yang bersifat moral keagamaan, yaitu dari bentuk kesalehan dalam keagamaan dan ketaqwaan.

Sebab sekarang banyak sekali suami istri yang berbeda profesinya , dan tidak menganggap bahwa perbedaan itu adalah suatu masalah. Dan rumah tangga mereka tetap baik-baik saja selama tetap saling menjaga toleransi diantara keduanya. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik