Pecihitam.org– Vidiadhar Surajprashad Naipul atau yang lebih populer dengan nama singkatannya, V. S. Naipul, merupakan novelis keturunan India-Nepal kelahiran Trinidad, sebuah wilayah koloni Inggris di dekat Venezuela. Novelis yang pada tahun 2001 memperoleh penghargaan Nobel Sastra ini pada tahun 1979 pernah mengunjungi empat negara Asia yang salah satunya adalah Indonesia.
Perjalanan Naipul itu bertujuan untuk mencari bahan tulisan untuk bukunya yang akan membahas potret Islam di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang non-Arab. Ketika datang di Indonesia, Naipul menemui beberapa intelektual muslim dan beberapa sastrawan. Diantara mereka adalah: Gus Dur, Adi Sasono, Imaduddin, Umar Kayam, Goenawan Mohamad dll.
Naipul melakukan observasi dengan beberapa sosok yang dianggapnya merepresntasikan gambaran sebagai muslim Indonesia. Ia menemui Imaduddin, seorang dosen ITB yang juga pelopor Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Selain itu ia juga menemui Adi Sasono, seorang intelektual Muslim yang aktif di ICMI juga.
Selain itu, Naipul juga menemui seorang pengusaha Muslim yang olehnya diberi nama Budi. Kemudian, Naipul juga mengunjungi Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Pabelan di Magelang. Pertemuan dan kunjungannya ini masih dalam kerangka mencari data untuk calon bukunya itu.
Perjalanan Naipul itu dikemudian hari diterbitkan menjadi buku dengan judul Among the Believers: An Islamic Journey pada tahun 1981. Di buku itu, Naipul menuliskan pandangannya terhadap orang-orang Muslim yang pernah ia temui dan observasi itu selama di empat negara mayoritas Muslim Asia, yang salah satunya di Indonesia.
Terkait pandangan Naipul dalam buku Among the Believers itu, Gus Dur menuliskan secara khusus kritiknya di Tempo dengan judul Naipul dan Islam yang Tidak Marah. Gus Dur menuliskan kekecewaannya atas pandangan-pandangan Naipul yang tidak mendalam tentang objek yang ditulisnya, khususnya perihal pesantren.
Di awal tulisan, Gus Dur melihat bahwa perjalanan Naipul ke empat negeri muslim Asia itu menjadi semacam sia-sia karena ia hanya melihat mereka dalam kerangka iman intelektualnya, yakni humanisme universal yang sekuler. Jika hanya dengan kerangka pemikiran itu saja, maka Naipul hanya akan menghakimi kaum Muslim yang ditemuinya sebagai anti kemodernan.
Muslim yang dinilai anti kemodernan itu disebut Naipul sebagai Islam yang Marah, yakni marah terhadap modernitas. Sterotipe itu ia lihat dari sosok Adi Sasono, Imaduddin, dan pengusaha Muslim yang olehnya diberi nama Pak Budi.
Yang membuat Gus Dur sangat kecewa dengan Naipul adalah pandangan dan kesannya yang menganggap pesantren tak lebih baik dari tiga objek yang ditemui sebelumnya. Naipul menganggap bahwa, meski pesantren tak menampakkan kemarahan sebagaimana Imaduddin dll, namun pesantren dianggap sebagai komunitas Muslim yang beku dan tak menawarkan modernisasi pada masyarakat di sekitarnya.
Menurut Gus Dur pandangan Naipul yang seperti itu disebabkan karena tidak mampunya Naipul mendalami dinamika yang sedang berlangsung di pesantren. Sangat tidak adil menilai pesantren hanya sebagai sebuah bentuk kebekuan yang tak menwarkan modernisasi untuk lingkungan hidupnya.
Pandangan sempit Naipul itu sepertinya disebabkan oleh pijakan monolitik cara berfikirnya yang mengimani humanisme universal sebagai satu-satunya kemungkinan modernisasi. Gus Dur menggugatnya, apakah demikian itu satu-satunya jalan pembebasan manusia? Bagi Gus Dur, seharusnya gagasan humanisme itu juga bisa digali dari sumber keyakinan agama sendiri, seperti yang dipraktikkan di pesantren.
Gus Dur sangat kecewa dengan sikap dan kesan Naipul tentang pertemuannya dengan dunia pesantren. Namun, sebenarnya kekecewaan itu bukanlah satu-satunya. Edward Said, penulis buku Orientalisme pernah mengkritik pandangan Naipul untuk sebuah bukunya yang lain. Said menganggap Naipul terlalu sembrono dan tak mendalam dalam memahami dunia Muslim.
Demikianlah kritik Gus Dur terhadap sikap dan kesan Naipul terhadap dunia pesantren yang pernah ditemuinya. Jika saja Naipul mau lebih dalam dan terbuka membaca objek yang diamatinya, laksana yang ia temui itu bukannya “Islam yang marah”, tapi “Islam yang ramah.” Wallahua’lam.