Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 1)

Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf

Pecihitam.org – Yang kita tahu, Imam Ghazali adalah tokoh tasawuf. Namun siapa sangka, beliau juga ahli dalam bidang fikih, hadis bahkan filsafat. Ketokohan beliau diakui oleh banyak ulama, juga mereka yang beragama selain Islam. Bagaimana tidak, sanggahannya terhadap para filsuf dalam beberapa pemikiran filsafatnya telah membuat dunia keilmuan semakin hidup. Berikut ini kritik Imam Ghazali terhadap para filsuf.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Imam Ghazali dalam karyanya, Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat) menyampaikan sanggahannya dengan tegas dan lugas terhadap 20 permasalahan yang dibahas oleh para filsuf. Filsuf yang dimaksud adalah mereka yang beragama Islam, seperti Ibnu Al Kindi, Al Farabi dan Ibnu Sina.

Selain itu, yang dimaksud dengan filsuf adalah filsuf non Islam seperti para filsuf Yunani klasik, Socrates (470 SM), Aristoteles (427 SM), Plato (384 SM) dan lainnya. Karena sedikit banyaknya para filsuf muslim sendiri, pemikiran filsafatnya terpengaruh oleh para filsuf Yunani klasik tersebut.

Dari 20 permasalahan yang disanggah Imam Ghazali, 3 di antaranya berimplikasi pada kekufuran seseorang. Kok bisa? Karena ketiga permasalahan tersebut berkaitan dengan akidah. Adapun ketiga permasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, Kekadiman Alam. Menurut Imam Ghazali dalam Tahafut halaman 88, para filsuf secara mayoritas berpendapat bahwa alam ini qadim. Ia kekal dan abadi. Allah menjadi sebab adanya alam, Dia bersamaan dengan alam. Mereka berpandangan bahwa analogi Allah dengan alam, sebagaimana matahari bersamaan dengan sinarnya. Artinya? Allah bersamaan dengan alam dari segi waktu.

Baca Juga:  Enam Hal Yang dapat Merusak Hati Menurut Imam Hasan al Bashri

Dalam mendasari pandangannya ini, mereka tentu tidak memegang prinsip “creatio ex nihillo” -diciptakan dari ketiadaan-. Karena menurut mereka, sesuatu yang ada mustahil diciptakan dari yang tidak ada. Tentulah yang ada diciptakan dari ada dalam bentuk lain. Sudah pusing? Sama saya juga.

Selanjutnya, silakan cek QS. Ibrahim [14] : 48, inilah dalil yang mereka angkat untuk memayungi pendapatnya tersebut.

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمٰوٰتُ ۖ وَبَرَزُوا لِلَّهِ الْوٰحِدِ الْقَهَّارِ

Artinya: (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa (QS. Ibrahim[14] : 48).

Dalil ini, menurut mereka adalah bukti bahwa alam raya ini merupakan bentuk pancaran dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Apa? Tahta dan masa. Sekali lagi, ingat analogi di atas. Maka, ketika Allah bersamaan dengan alam, kemungkinannya dua; kadim keduanya atau baru keduanya.

Baca Juga:  Ini 4 Pesan Imam Al Ghazali, Pegangan Praktis untuk Para Salik

Nah, jika keduanya sama, maka salah satunya tidak ada yang saling menyalahi. Artinya, tidak mungkin yang satu kadim, sementara yang lainnya baru. Karenanya kesimpulan yang paling mendekati adalah kadim keduanya, Allah kadim, alam pun kadim. Demikian kesimpulan akhir para filsuf.

Jelas ini bukan perkara mudah untuk disanggah. Dalam membangun argumen, para filsuf membuatnya dengan sangat terstruktur dan rapih hingga akhirnya dapat dipahami maksudnya.

Selanjutnya, nyatanya pemikiran semacam ini menurut pandangan Imam Ghazali sama sekali tidak senafas dengan syariat Islam. Karenanya, ia mengkritisinya dengan baik dan terstruktur pula.

Kontan ia menyanggahnya dalam kitab Tahafut halaman 96. Hal yang mula ia sampaikan adalah Allah memiliki kuasa penuh atas kehendak-Nya. Apapun yang terjadi di alam raya ini, tidak ada yang luput dari kehendak dan pengetahuan-Nya.

Tidak ada paksaan sama sekali bagi Allah untuk menciptakan alam. Toh, ketika Allah berkendak alam ini tidak ada, maka alam tidak akan ada. Begitupun sebaliknya. Sebagai Tuhan, Allah menciptakan alam dari ketiadaan. Jelas, ini logika yang sangat logis. Tuhan Maha segalanya.

Baca Juga:  Tasawwuf, Jalan Sunyi menuju Tuhan dengan Penekanan 4 Substansi

Jika dikatakan bahwa Allah bersamaan dengan alam sebagaimana bersamaannya matahari dengan sinarnya atau bersamaan geraknya cincin dengan geraknya jari, maka ini logika yang keliru. Allah sebagai pencipta, berbeda tabi’at, Zat dan kedudukan-Nya dengan ciptaan. Mustahil dapat dilogikakan seperti itu.

Allah pencipta dan tidak diciptakan. Sementara alam merupakan ciptaan yang tentu butuh pencipta. Lantas, jika alam diciptakan dari ketiadaan, apakah “ketiadaan” juga makhluk? Benar, ia makhluk yang Allah ciptakan sebelum adanya alam ini. Dan asali (cara penulis menggambarkan tidak adanya wujud selain Allah) adalah benar-benar Allah semata.
Wallaahu a’lam bishshawab.

*Poin 2 dan 3 akan penulis sampaikan pada tulisan berikutnya.

Azis Arifin