Pecihitam.org – Lafad Khass (khusus) berlawanan dengan lafad ‘amm (umum). Lafad Khass adalah lafad yang menunjukan makna khusus. Para ulama berbeda dalam mendefinisikan Khass. Manna al-Qattan mendefinisikan lafad Khass sebagai lafad yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.
Mustafa Said al-Khin memahami yang dimaksud dengan Lafad ini adalah setiap lafad yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang diketahui. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa lafad Khass adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.
Menurut Adib Shalih, Khass adalah lafad yang mengandung satu pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafad Khass adalah lafad yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih dapat di hitung atau terbatas.
Definisi tersebut di atas, sekalipun berbeda redaksinya, memiliki kesamaan dalam memahami Khass. Lafad ‘amm menunjukkan makna umum. Sebaliknya, Khass digunakan untuk menunjukkan makna khusus.
Manna al-Qattan menyatakan bahwa, “Khass adalah lawan kata ‘amm, karena itu tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan.” Karena Khass tidak dapat menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa pembatasan maka diperlukan adanya takhsis (pembatasan) tersebut. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafad ‘amm.
Sifat-sifat Lafad Khass
Lafzh Khass itu, dalam nash-nash syara’, kadang-kadang datang secara mutlaq, tanpa diikuti oleh suatu syarat apa pun, kadang-kadang muqayyad, yakni di batasi dengan suatu syarat, kadang-kadang datang dengan sighat (bentuk) al-amr, yakni tuntunan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan kadang-kadang dengan sighat al-nahy, yakni melarang mengerjakan suatu perbuatan. Dengan demikian pembahasan tentang Khass ini mencakup lafd al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.
Penggunaan masing-masing sighat tersebut akan berpengaruh terhadap dilalat dan istinbat hukum. Oleh karena itu penting bagi seorang mufassir untuk memahami secara mendalam penggunaan sighat-sighat tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran ayat al-Quran maupun kekeliruan dalam melakukan istinbat hukum tertentu.
Berikut ini salah satu contoh penggunaan lafad khass dalam surat Al-Baqarah ayat 196:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Barangsiapa yang tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib baginya puasa tiga hari selama haji dan tujuh hari ketika kalian pulang.” (QS. al-Baqarah: 196)
Penggunaan kata tsalatsati ayyam (tiga hari) pada ayat di atas adalah contoh penggunaan lafadz Khass. Ayat ini menunjukkan bahwa bagi mereka yang di saat melakukan ibadah haji karena sesuatu dan lain hal tidak bisa menyempurnakan ibadah haji, maka bagi mereka membayar fidyah. Apabila mereka tidak menemukan binatang kurban untuk disembelih atau tidak mampu untuk menyembelih karena keterbatasan kemampuannya, maka wajib baginya berpuasa selama tiga hari saat mengerjakan ibadah haji dan tujuh hari ketika sudah kembali.
Kata tiga hari menunjukkan arti khass tertentu, sehingga tidak mungkin terjadi penafsiran yang berbeda dari lafadz tersebut. Oleh karena itu dalalat lafdziyyahnya bersifat qath’iy demikian juga dalalat hukumnya juga bersifat qath’iy.
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa lafadz Khass akan tetap pada ke Khassannya selama tidak ada qarinah yang menyebabkan lafad tersebut harus di ta’wilkan. Apabila pada lafadz Khass terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa lafad tersebut harus di ta’wil, maka lafad Khass itu harus di ta’wil dan dilalatnya juga di ta’wilkan.