Ternyata Kata Lawaih, Thawali’, dan Lawami’ Memiliki Perbedaan, Ini Penjelasannya

Ternyata Kata Lawaih, Thawali’, dan Lawami’ Memiliki Perbedaan, Ini Penjelasannya

Pecihitam.org- Abu Ali Ad-Da’qaq, berkata terkait Lawaih, Thawali’, dan Lawami’: “Istilah-istilah ini Saling berdekatan makna dan hampir tidak ada perbedaan besar di antaranya. Ia adalah bagian dari sifat-sifat salik pemula yang sedang menelusuri jalan sufi dengan hatinya menuju ketinggian rohani. Setelah itu mereka memperoleh cahaya matahari ma’rifat dan AI-Haqq menganuge­rahi hati mereka rezeki dalam setiap saat.”

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Maryam ayat 62:

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا إِلَّا سَلَامًا ۖ وَلَهُمْ رِزْقُهُمْ فِيهَا بُكْرَةً وَعَشِيًّا

“Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di dalam surga, kecuali ucapan salam. Bagi mereka rezekinya di surga itu tiap-tiap pagi dan petang.”

Ketika hati diibaratkan dengan langit yang gelap lalu ditutupi dengan mendung keberuntungan, maka muncullah di dalamnya lawaih (kilatan) cahaya kasyaf (ketersingkapan hati) dan Inumni’ (kernilau) kedekatan memantul­kan cahaya gemerlapan.

Salik pada saat mengalami sitru (ketertu­tupan), tiba-tiba mereka menjadi dekat dengan kedatangan lawaih yang spontan. Posisinya seperti yang digambarkan dalam syair ini: “wahai kilat yang memantulkan kemilauan cahaya dari arah sayap-sayap langit mana saja yang bersinar terang.

Baca Juga:  Begini Tatacara Baiat dan Macam-Macam Pembagian Tarekat

Dengan demikian, proses pertama adalah lawaih (kilatan sinar), kemudian lawami’ (kemilauan cahaya), dan akhirnya tim­bul thawali’ (terbitnya cahaya matahari). Lawaih ibaratkan kilat yang kelihatan hingga hilang menutupi, sebagaimana perkataan seorang penyair:

“setahun lamanya kami berpisah, maka ketika kami bertemu, pengucapan salamnya kepadaku merupakan ucapan selamat tinggal. Mereka berkata: Wahai orang yang berkunjung dan sebenarnya ia tidak berkunjung seakan-akan dia mengambil dan terkena api, kemudian ia lewat dan berjalan di depan pintu rumah dengan cepat-cepat, padahal tidaklah berbahaya kalau dia masuk ke dalam rumah, Lawami’ lebih jelas daripada lawaih.”

Hilangnya tidak cepat dan kemunculannya berlangsung sekitar dua atau tiga waktu (ukuran waktu di sini relatif, entah dalam satuan jam, hari, bulan, atau tahun). Akan tetapi, keberadaannya seperti yang dikatakan para penyair:

Baca Juga:  Makrifat: Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin Ala Khalid bin Walid

“Tidak sampai mata meneteskan air wajahnya, kecuali di dalam kerongkongannya dengan penjaga, sebelum puasnya mendekat Ketika terjadi lawami, kamu akan terputus darimu dan kamu terkumpulkan dengannya. Akan tetapi, cahaya siangnya tidak berjalan hingga sekelompok pasukan malam. menyerangnya.”

Salik yang mengalami demikian berada di antara ruh dan ratapan kare­na posisinya di antara kasyaf (tersingkap) dan sitru (tertutup). Dalam syair diungkapkan:

“dengan kelebihan dinginnya malam telah menyelimuti kami, sedangkan subuh menyelimuti kami dengan selimut yang hilang Thawali’ waktunya lebih lama lagi. Lebih kuat kekuasaannya, lebih lama tinggalnya, lebih cepat daya penghilangan kegelapan malam, dan lebih mampu peniadaan kebingungan kegelapan malam. Akan tetapi, keberadaannya diposisikan dalam pembe­naman kekhawatiran, tidak dengan ketinggian puncak, juga tidak dengan keabadian kediaman. Waktu-waktu kejadiannya ber­langsung cepat dan saling berdekatan dalam putaran kepinda­hannya. Keadaan terbenamnya pengakhirannya juga sangat panjang.”

Inilah makna-makna lawaih, lawami’, dan thawali’. Keber­adaannya dalam permasalahan yang berbeda-beda. Di antaranya, jika lewat, tidak meninggalkan jejak, seperti bintang timur ketika lenyap seakan-akan malam selamanya mengada.

Baca Juga:  Tata Cara Prosesi Tari Sufi Atau Tari Sema

Ada kalanya meninggalkan jejak, maka ketika “stempel”-nya (berupa bencana) hilang, rasa sakitnya membekas, dan jika cahaya-cahayanya terbenam, bekas-bekasnya masih membekas.

Karena itu, kepemi­likannya (penguasaannya) setelah diamnya dominasi-dominasi batin (mov-mov atau kekuatan-kekuatan ruh yang menguasai batin), lalu hidup dalam cahaya berkahnya, kemudian menuju pemunculan cahaya kedua yang waktunya diharapkan atas penantian pengembaliannya dan hidup dengan sesuatu yang ditemukan ketika adanya.

Mochamad Ari Irawan