Sebentar Lagi Idul Fitri, Yuk Ketahui 6 Hal Saat Lebaran di Zaman Nabi

lebaran zaman nabi

Pecihitam.org– Lebaran di zaman Nabi sebenarnya secara umum tidak jauh berbeda dengan tradisi lebaran yang yang berlaku di Indonesia hari ini. Diantaranya adalah mengisi malam dan siang hari raya dengan mengumandangkan takbir dan pergi untuk melaksanakan salat Ied dengan mengenakan pakaian yang baru.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daftar Pembahasan:

Arti Lebaran

Lebaran adalah nama lain dari Hari Raya umat Islam, baik hari raya Idul Fitri maupun hari Raya Idul Adha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawal setelah sebulan umat Muslim melaksanakan puasa di bulan Ramadan. 

Lebar-an dalam bahasa Jawa artinya Sudah-an/Setelah-an atau Sesudahnya/Setelahnya, dan kalimat ini sudah terbiasa digunakan dalam Islam ketika umat muslim Indonesia telah menyelesaikan kewajiban berpuasa, Lebaran dalam Islamya itu Sesudah/Setelah melakukan kewajiban berpuasa dalam bulan Ramadhan, kaum muslim Indonesia lebih familiar dengan kalimat Lebaran dalam merayakan Hari Kemenangan.

Lebaran Idul Fitri

Lebaran Idul Fitri atau biasa disebut “Lebaran Mudik” saja dilaksanakan ketika hari raya Idul Fitri tiba, orang-orang Islam umumnya saling bersalam-salaman dan bermaaf-maafan dengan tetangganya, juga keluarganya setelah menunaikan Salat Ied.

Lebaran Idul Adha

Lebaran Idul Adha biasa disebut “Lebaran Haji”, karena memang pada saat-saat itu orang-orang Islam umumnya menunaikan ibadah Haji.

Seusai Salat Ied, biasanya diadakan pemotongan hewan Qurban, dan daging hasil sembelih itu kemudian dibagikan kepada warga di daerah yang bersangkutan atau kepada warga yang kurang mampu. Di lebaran Idul Adha masyarakat Muslim juga menunaikan ibadah Salat Ied.

Lebaran di Zaman Nabi

Dan inilah 6 gambaran lebaran di zaman nabi yang dipraktekkan langsung oleh Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

Takbir [an]

Takbiran bukan hanya menjadi semarak di masa kita hari ini. Namun lebaran di zaman Nabi memang sudah dihiasi dengan takbiran, arena ini merupakan perintah Allah yang sekaligus sebagai bentuk perayaan atau kemenangan dari Jihad melawan nafsu selama melakukan puasa Romadhon.

Takbir artinya mengagungkan Allah. Takbir merupakan satu rangkaian ibadah yang disunnahkan pada saat hari raya. Pada Idul Fitri dimulai dari terbenamnaya matahari tanggal 30 Ramadlan (masuk malam 1 Syawal) sampai imam takbiratul ihram untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Baca Juga:  Filosofi Ketupat, Dakwah Sunan Kalijaga dalam Mengajarkan Agama Islam

Untuk orang yang shalat sendiri batasannya hingga ia takbiratul ihram, untuk orang yang tdak shalat, batasannya hingga zawal (tergelincirnya matahari ke arah Barat). Pada Idul Adha mulai terbenamnya matahari hari Arafah (masuk malam tanggal 10 Dzulhijjah) sampai berakhirnya hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah).

Hanya saja tentang batas akhirnya, ulama berbeda pendapat. Menurut Imam ar-Rafi’i, sampai Shubuh hari tasyriq. Sedangkan menurut Imam an-Nawawi, sampai akhir hari tasyriq (masuk Maghrib malam tanggal 14 Dzulhijjah).

Takbir sangat dianjurkan, baik di masjid, rumah, jalan, maupun di pasar, waktu siang maupun malam. Dasar kesunnahan takbir antara lain Firman Allah Swt.
…dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan puasa dan bertakbirlah kepada Allah atas petunjuk yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]:185)

Juga Hadis Riwayat Imam Thabrani

زَيِّنُوا أَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيرِ

Hiasilah hari rayamu dengan takbir. (HR. Thabrani)

Lafadz takbir ada yang mengulang dua kali الله أكبر, الله أكبر, sebagaimana riwayat Ibnu Mas’ud dalam Musnad Abi Syaibah . Ada juga yang mengulang tiga kali
الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر

seperti yang biasa kita lakukan, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dan Salman al-Farisi dalam Sunan Baihaqi.

Shighat takbir adalah sebagai berikut:

اللَّهُ أكْبَرُ، اللَّهُ أكْبَرُ، اللَّهُ أكْبَرُ، لَا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ واللَّهُ أكْبَرُ، اللَّهُ أكْبَرُ، وَلِلَّهِ الـحَمْدُ
اللَّهُ أكْبَرُ كَبِـيراً، والـحَمْدُ لِلَّهِ كَثـيراً، وَسُبْحانَ اللَّهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لَا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ، وَلا نَعْبُدُ إلاَّ إيَّاهُ مُخْـلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُونَ، لَا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لَا إلَهَ إلاَّ اللَّهُ واللَّهُ أكْبَرُ، اللَّهُ أكْبَرُ، وَلِلَّهِ الـحَمْدُ

Setelah sighat takbir diatas, sunnah ditambahkan shalawat sebagai berikut:

اَلَّلهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى أَنْصَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى أَزْوَاجِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى ذُرِّيَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ تَسْلَيْمًا كَثِيْرًا.

Baca Juga:  Makna Kafaah (Sekufu) dalam Perkawinan yang Harus Kita Pahami

Pakaian Baru

Mengenakan pakaian baru saat hari raya atau lebaran memang sudah menjadi kebiasaan di zaman Nabi. Bahkan Nabi Muhammad sendiri menjadikan hari raya sebagai hari yang spesial, di mana beliau memakai pakaian terbaiknya.

Disebutkan, bahwa Nabi mengenakan pakaian terbaiknya dalam tiga keadaan. Pertama, ketika ingin salat Jumat. Kedua, ketika menemui tamu. Ketiga, ketika hari raya atau lebaran.

Memang begitulah, syariat menganjurkan kita mengenakan pakaian baru atau pakaian yang terbaik di saat hari raya. Dan seperti itulah salah satu gambaran lebaran di zaman Nabi.

Dalam Islam, sebagaimana disebutkan di dalam beberapa kitab fiqih, saat hari Jumat kita dianjurkan untuk memakai pakaian yang putih. Adapun pada hari lebaran dianjurkan untuk memakai pakaian yang baru walaupun bukan berwarna putih.

Makan Sebelum Berangkat

Gambaran lebaran di zaman Nabi adalah makan sebelum berangkat melaksanakan salat Ied. Nabi sendiri mempraktekkan ini dengan memakan 7 butir kurma.

Berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW tidak berangkat ke tempat shalat sebelum beliau memakan beberapa biji kurma dengan jumlah ganjil (yakni, memakannya dengan jumlah ganjil, seperti tiga, lima, tujuh, dan seterusnya).

Kemudian, Said bin Musayyab radhiyallahu anhu meriwayatkan di dalam kitab al-Muwaththa’ bahwa orang-orang diperintahkan makan terlebih dahulu sebelum pergi shalat Idul Fitri. Ibnu Qudamah berkata, “Mengenai disunnahkannya makan terlebih dahulu pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke tempat shalat, kami tidak menemukan adanya perselisihan (di antara ulama).”

Shalat Idul Fitri

Ini tentu menjadi hal yang tak terpisahkan dari perayaan idul fitri baik lebaran di Zaman Nabi maupun di era kita hari ini.

Walaupun hukumnya adalah sunnah muakkad, bukan fardhu, tetapi lebaran sudah sangat identik dengan yang namanya salat idul fitri, di mana kita bisa menyaksikan orang-orang pergi untuk melaksanakan salat Ied baik di masjid maupun di lapangan terbuka.

Baca Juga:  Prediksi BIN: Penularan Corona Bakal Melonjak Jika Warga Salat Idul Fitri di Luar Rumah

Mendatangi Tempat Ramai

Mengunjungi tempat keramaian adalah yang dilakukan Nabi saat lebaran. Disebutkan, suatu ketika saat hari raya Idul Fitri, Rasulullah menemani Sayyidah Aisyah mendatangi sebuah pertunjukan atraksi tombak dan tameng.

Bahkan saking asyiknya, sebagaimana hadist riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Sayyidah Aisyah sampai menjengukkan (memunculkan) kepala di atas bahu Rasulullah sehingga dia bisa menyaksikan permainan itu dari atas bahu Rasulullah dengan puas. 

Mengunjungi Sahabat

Mengunjungi rumah sahabat itu yabg dilakukan Nabi saat Idul Fitri. Tradisi silaturahim saling mengunjungi saat hari raya Idul Fitri sudah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika Idul Fitri tiba, Rasulullah mengunjungi rumah para sahabatnya. Begitu pun para sahabatnya.

Pada kesempatan ini, Rasulullah dan sahabatnya saling mendoakan kebaikan satu sama lain. Sama seperti yang dilakukan umat Islam saat ini. Datang ke tempat sanak famili dengan saling mendoakan, misalnya mengucapkan Minal Aidin wal Faizin ataupun Taqabbalallahu Minna wa Minkum.

Hakikat Idul Fitri

Ketika disebutkan salah satu gambaran dari lebaran di zaman Nabi adalah memakai pakaian yang baru, akan tetapi di sini perlu diingat bahwa hakikat Idul Fitri bukanlah bagi mereka yang berpakaian baru.

Akan tetapi hakikat Idul Fitri adalah kembalinya diri kepada fitrah sebenarnya setelah melalui penggemblengan di bulan Romadhon dan kemudian menjadi pribadi yang bertaqwa, sebagaimana tujuan utama dari puasa itu sendiri. La’allakum tattaqun.

Faisol Abdurrahman