Pentingnya Kecakapan Literasi Baca-Tulis di Abad 21 bagi Generasi Muslim Milenial

Pentingnya Kecakapan Literasi Baca-Tulis di Abad 21 bagi Generasi Muslim Milenial

Pecihitam.org – Literasi bukan merupakan aktifitas yang hanya mencakup kegiatan baca tulis. Lebih dari itu, literasi juga mencakup melek visual, artinya “sebuah kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (adegan, video, gambar, suara).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lebih dalam lagi, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta/Rektor PTIQ) berpesan bahwa alangkah miskinnya ilmu seseorang jika Ia hanya berguru pada yang kasat mata.

Ini menunjukkan bahwa kemampuan intuisi yang baik atau rasa/batiniyah bisa juga media berliterasi (literasi batiniyah). Hal ini dibuktikan dengan berbagai karya-karya sejarah ulama Islam yang merekam peristiwa literasi batiniyah tersebut.

Mereka banyak berguru pada makhluk yang tidak nampak oleh mata kasar, tetapi berguru pada mereka yang nampak pada mata batinnya. Jalan batin yang suci mampu menciptakan beragam kitab (buku) yang menjadi sumber bacaan umat Muslim hingga saat ini (zaman now).

Inilah gambaran awal Pentingnya Kecakapan Literasi Baca Tulis di Abad 21.

Literasi Zaman Old

Baca tulis merupakan aktifitas yang sudah lama terjadi, sejak zaman batu tulisan dan bacaan mulai ada, walau masih dengan simbol-simbol dan bahasa isyarat.

Dalam Islam sejak penciptaan manusia pertama yakni nabi Adam as., Allah sudah mengajarkannya tentang sesuatu sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 31

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:”Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!” (QS. al-Baqarah [2]: 31)

Adam pun menyebutkan segalanya, berdasarkan ajaran langsung sang Maha Kuasa.

Hal tersebut menjadi bukti otentik bagi siapa saja, bahwa aktifitas literasi sejak dahulu sudah ada. Insan zaman now tinggal melanjutkan dan berkarya sebaik-baiknya untuk menuai manfaat sebanyak-banyaknya.

Penulis yang baik terlahir dari pembaca yang baik, dan pembaca yang baik itu cakap memilih sumber bacaan yang baik.

Baca Juga:  Non Muslim Itu Kafir atau “Dikafirkan?” Ini Pendapat KH. Afifuddin Harisah

Dari itu, jika ingin menjadi penulis yang baik, maka harus dimulai dengan membaca karya-karya terbaik para pendahulu. Bahkan berguru langsung kepada yang tak kasat mata itu (impersonal teacher).

Literasi abad 21

Abad ke-21 dikenal dengan istilah zaman milenium, zaman yang serba terbuka, akses terbuka lebar, informasi terbentang luas, hingga hubungan/interaksi juga menjadi tak terbatas.

Pada kondisi tersebut, manusia hidup lebih nyaman, instan dan praktis karena segalanya serba tersedia. Kaum milenium harus cerdas memilah dan memilih informasi agar tidak sebatas label jika berada pada zaman now.

Ttetapi informasi yang disuguhkannya adalah informasi yang salah (hoax). Informasi yang disebarkan seharusnya sebaik-baiknya konten, informasi yang bermanfaat bagi siapa saja.

Anies Baswedan (Mantan Menteri Pendidikan/Gubernur DKI Jakarta) pernah menasehatkan bahwa Proyeksi Pendidikan Abad 21 membutuhkan tiga komponen utama:

Pertama karakter yang baik (akhlak/moral). Kedua, kompetensi yang baik dengan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Ketiga literasi yang baik. Keterbukaan wawasan tentang masa depan yang gemilang.

Terkhusus di Indonesia pada abad ke 21, literasi harus ditumbuhkembangkan secara menyeluruh, berdasarkan fakta yang terjadi bahwa minat baca orang Indonesia tinggi, namun daya bacanya rendah.

Contoh, membaca pesan whatsapp lama (berjam-jam) kuat, namun baca buku lemah, apalagi jika membaca bacaan yang tulisannya panjang-panjang dan halamannya banyak. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian agar generasi muda bangsa Indonesia memiliki minat baca yang kuat dan seimbang dengan daya bacanya yang juga kuat.

Bukti konkret lainnya, berdasarkan pengalaman penulis, di ruang-ruang kelas dapat diamati bahwa mahasiswa dan siswa pada semester awal, jika diberikan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab secara spontan, banyak yang tidak mampu untuk menjelaskannya secara tuntas, dimana pertanyaannya berkaitan tentang ilmu-ilmu dasar pada jurusan yang sedang dijalaninya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa lemahnya literasi baca di kalangan mahasiswa dan siswa pada keilmuan dasar, sehingga membutuhakan metode dan konsep lebih baik agar dapat menjadi generasi yang minat bacanya kuat, daya bacanya juga kuat.

Baca Juga:  Layakkah Suatu Hadits Dishohihkan oleh Syeikh Al Bani?

Di masa depan, siswa akan diberikan lembar kosong lalu diminta agar mengerjakan semaunya, tidak lagi pilihan ganda. Jika tidak dibarengi dengan literasi yang baik, tentunya tidak akan memberikan dampak lebih baik.

Bahkan banyak generasi millennial tak mampu menjawab apabila tidak fasilitasi HP yang bebas akses atau jaringan internet di sekolahnya. Alangkah mirisnya keadaan literasi di zaman now.  

Pertanyaan yang muncul di masa depan akan jauh berbeda dengan sebelumnya, dimana dahulu sering muncul pertanyaan apa cita-citamu dan dimana kamu akan bekerja, suatu saat nanti tidak akan ada lagi pertanyaan seperti itu.

Berpijak pada kasus-kasus tersebut, pendidik harus lihai mempersiapkan diri secara totalitas untuk menghadapi murid yang lamban memahami pelajaran, ditambah banyak murid yang hanya ingin instan mendapatkan informasi. Mereka harus menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. 

Masa kini beda dengan masa lalu, apa lagi masa depan akan jauh berbeda dengan masa kini. Harus diketahui bahwa hari ini tidak lagi ada di masa depan, mental yang harus dibangun adalah bersiap untuk menghadapi masa depan yang tidak pernah ditemui dimasa lalu dan masa kini.

“Gelisahlah dengan masa depan, jangan puas dengan prestasi masa lalu. Menciptakan generasi pemenang di masa depan hanya bisa ditentukan di ruang-ruang keluarga dan ruang-ruang kelas” Demikian ungkapan Anies Baswedan.

Mental baja dan serba kompleks harus dimiliki untuk menghadapi berbagai tantangan, terkhusus tantangan literasi pada abad ke-21. Literasi masa lalu tentu jauh berbeda dengan literasi masa kini, apa lagi literasi masa depan.

Kini mendapatkan akses literasi sangat mudah dan instan, tapi generasi zaman now tidak boleh terlena terhadap segala fasilitas yang tersedia, tidak boleh menjadi generasi konsumtif semata terhadap apa yang tersedia di depan mata, perjalanannya dirasa nikmat namun ujungnya sengsara.

Baca Juga:  Rumah Ibadah dan Toleransi Antar Umat Beragama

Maksudnya bahwa jangan menikmati membaca status dan tulisan pendek saja, lalu tidak lagi berminat pada tulisan panjang.

Salah satu bentuk literasi zaman now adalah literasi digital. Literasi digital sangat baik, tapi jangan sampai melupakan literasi klasik (cetak)

Apalagi meninggalkan budaya baca buku cetak yang hanya berdalih karena sebagai generasi zaman now tidak lagi membaca buku cetak. Dari itu, seimbangkanlah membaca buku cetak dengan media digital.  Setelah itu, maka indahkanlah pesan dari Imam al-Gazali bahwa jika kamu bukan anak Raja maka menulislah.

Menulis pada naskah cetak, juga produktif menulis naskah digital. Menulis merupakan aktifitas yang sangat penting, karena menulis berarti berbicara di atas kertas, menyuarakan isi jiwa dan pikiran. Menulis adalah tradisi orang berilmu dan kebiasaan orang-orang hebat.

Menulis adalah aktifitas yang tidak pernah mati, sebab menulislah yang membuat semua ilmu pengetahuan dikenal dan dikenang. Jika kesadaran menulis sudah tertancap pada generasi milenium, maka jejak peradaban akan semakin terjaga dengan baik.

Mari hidupkan literasi baca tulis. Menulislah, karena menulis itu ibadah. Menulislah karena menulis itu menyambung nafas sejarah. Menulislah, sebab menulis itu jejak peradaban.

Ust. Muhammad Asriady