Apa Maksud dari Qabdhu dan Basthu dalam Dunia Sufi? Begini Penjelasannya

Apa Maksud dari Qabdhu dan Basthu dalam Dunia Sufi? Begini Penjelasannya

Pecihitam.org- Qabdhu dan Basthu merupakan dua keadaan atau hal setelah seorang hamba yang telah melampaui dalam perjalanannya dari dua keadaan yang lain, yaitu rasa takut (Khauf) dan harapan (Raja’).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Al-Qabdhu juga diartikan dengan tercekam yang melebihi ketakutan seorang hamba membuat dirinya seolah-olah “tergenggam” dalam bayangan kebesaran dan ancaman Allah SWT, bagi seorang yang telah mencapai derajat ma’rifat.

Kedudukan Al-Qabdhu sama dengan al-khauf bagi seorang musta’nif atau pemula, maksudnya istilah musta’nif diperuntukan bagi seorang hamba yang baru menjalani laku batin atau mema­suki dunia sufi atau thanqah). Begitu juga dengan al-basthu bagi orang yang sudah mencapai derajat ma’rifat, kedudukannya sederajat dengan ar-raja’ bagi al-mustdnif.

Dalam kitab Al-Hikam dijelaskan bahwa :

بسطكَ كى لا يُبْقِيك مع القبضِ وقبضكَ كى لا يترُككَ معَ البسطِ واخْرَجكَ عَنْهماكى لاتكون لشىءٍدونهُ

“Alloh SWT telah  melapangkan bagimu, agar kamu tidak selalu dalam kesempitan (qobdh). dan Alloh telah menjadikan kamu sempit supaya kamu tidak hanyut atau terlena dalam kelapangan (basth). dan Alloh melepaskan kamu dari keduanya, supaya kamu tidak tergantung kepada sesuatu selain Alloh.”

Maksud dari istilah di atas adalah, Alloh selalu membuat macam-macam keadaan hati seseorang, supaya orang selalu sadar dan fana’, artinya tidak melihat keadaan orang itu.

Baca Juga:  Tasawuf dalam Arus Kehidupan Modern dan Era Teknologi

Jadi Al-Qobdhu bisa diartikan sebagai kesempitan itu untuk ahli Bidayah, andaikan tidak ada Qobdhu tentu tidak bisa melatih/mencegah dari kebiasaan dan kesenangan nafsu.

Sedangkan derajat Al-Basthu, bagi orang yang masuk permulaan futuh, supaya tidak lemah kekuatannya dan anggota badannya bisa digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya yaitu pemberian  dari Alloh dan dan tanda-tanda ridho dari Alloh.

Adapun perbedaan antara Al-Qabdhu dan Al-Basthu dengan al-khauf dan ar-raja’ terletak pada tingkat kualitas dan kuantitas perjalanan seorang hamba dalam menuju Maqom atau derajat ma’rifatullah.

Sedangkan Al-khauf adalah sesuatu yang hanya terjadi di masa yang akan datang. Demikian pula dengan ar-raja’, keja­diannya berupa keinginan (cita-cita) akan terwujudnya sesuatu yang dicintainya (diharapkannya) atau mewaapadai (dengan harapan) hilangnya sesuatu yang dibenci dan keterpeliharaan al-musta’nif dari yang dibencinya.

Sedangkan Al-Qabdhu merupakan makna atau nilai spiritual yang terjadi pada saat kejadiannya (bukan masa yang akan da­tang dan lampau, tapi sekarang, yaitu saat sesuatu itu terjadi) itu berlangsung. Hal itu juga berlaku pada al-basthu.

Baca Juga:  Konsep Kebahagiaan Menurut Ibnu Athaillah as-Sikandari

Orang yang mengalami al-khauf dan aR-raja’, hatinya akan selalu bergantung dalam dua keadaan pada sesuatu yang akan terjadi atau yang dimaksudkannya.

Sedangkan orang yang mengalami al-qabdhu dan al-basthu, waktunya diambil dengan kehadiran al-warid (yaitu, sesuatu yang datang atau kehadiran suasana batin yang men­dominasi jiwa seseorang, seperti rasa al-qabdhu dan al-basthu itu sendiri.

Dalam proses berikutnya, sifat-sifat orang yang meng­alami al-qabdhu dan al-basthu berbeda-beda menurut perbedaan­nya dalam al-hal.

Barangsiapa yang kehadiran al-warid, maka dia diharuskan menjadi genggaman,  akan tetapi masih tetap terbenam pada sesuatu yang lain, karena dia belum memenuhinya.

Semen­tara bagi orang yang terkondisikan dalam genggaman artinya tercekam dalam ketakutan sebab karena Allah, maka dia tidak terbe­nam (terpengaruh) pada selain yang “hadir” (al-warid) dalam hati­nya.

Sebab keseluruhan dirinya telah dikuasai dengan kehadiran yang “hadir” yakni berupa rasa ketakutan atau Al­-Qabdhu yang menguasai jiwa seseorang secara total membuatnya tak terpengaruh dengan ketakutan bentuk lain selain Allah, sehingga dirinya sepenuhnya terkuasai oleh sifat “Qabidh”-Nya, yaitu sang penggenggam.

Baca Juga:  Begini Makna Waktu Menurut Para Ulama Sufi

Demikian pula dengan hamba yang terlapangkan (Al Mabsuth) Dalam kondisi demikian, kelapangan atau kegembiraan Yang memperluas atau melapangkan kemakhlukannya tidak membuatnya merasa jijik pada sesuatu (di matanya segalanya terasa lapang dan menyenangkan). Hamba yang mabsuth tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang berkaitan dengan hal (keadaan yang mengkondisikan suasana batinnya).

Mochamad Ari Irawan