Mampukah Filsuf Jadi Pemimpin di Tengah Budaya Politik Kita?

Mampukah Filsuf Jadi Pemimpin di Tengah Budaya Politik Kita

Pecihitam.org – Setiap awal pekan saya berupaya untuk tidak melewatkan kolom Prof. Dr. Mujiburrahman di harian Banjarmasin Post. Tulisan-tulisan guru saya itu, yang sekarang menjadi “kepala sekolah” UIN Antasari Banjarmasin, selalu mengandung informasi dan inspirasi bagi para pembacanya. Kumpulan kolom Pak Mujib yang hadir setiap pekan sejak sekitar 2007 hingga sekarang telah menghasilkan berjudul-judul buku yang dinikmati oleh semua kalangan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kolom beliau yang terbit Senin lalu (17/2) tak ada bedanya. Tulisan bertajuk “Ilmu dan Hikmah” itu mendedah betapa berharganya hikmah atau filsafat bagi kita yang hidup di masa modern ini.

Menurut beliau, masyarakat modern dengan segala ilmu yang dimiliki memang membawa kepada kemajuan materiil, tapi hidupnya kering dari kearifan dan kebijaksanaan.

“Krisis manusia modern bukan karena kekurangan ilmu, tetapi hikmah. Ilmu yang didapat tidak lagi menjadi pelita dalam menjalani hidup. Ilmu hanya untuk bekerja, mengejar harta dan tahta belaka. Ilmu akhirnya tak lagi menjadi hikmat, melainkan laknat bagi kehidupan.” Demikian tulis Pak Mujib. (Artikel lengkapnya dapat diakses secara daring di sini).

Yang menarik dan menginspirasi saya bukan hanya isi kolom tersebut, tapi juga keterangan yang Pak Mujib lampirkan ketika membagikan kolom itu di akun Facebook beliau. Di sana beliau menulis, “mungkin isu sosial-politik kita lebih adem jika kita kembali ke filsafat.”

Baca Juga:  Sains di Masa Keemasan Islam, Meninjau Kembali Kenangan Kita

Kalimat tersebut mengingatkan saya dengan ujaran Plato. Konon dalam bukunya yang berbicara tentang filsafat politik, Republic, filsuf Yunani itu mengatakan “pemimpin haruslah seorang filsuf”. Mengapa demikian?

Karena filsuf adalah orang yang mencintai kebenaran dan bertindak atas dasar kebijaksanaan. Dengan sifatnya itu seorang filsuf menjadi sosok terbaik untuk memimpin suatu negara. Nampaknya apa yang disampaikan Pak Mujib serupa dengan ide Plato tersebut.

Suasana sosial-politik kita saat ini memang memprihatinkan, tak lebih dari arena pertarungan para politikus memperebutkan kekuasaan belaka tanpa mementingkan kepentingan rakyat. Sementara budaya politik kita tampak hanya berguna untuk kepentingan elit, membuat cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serasa sulit digapai.

Kondisi semacam ini tentu saja menghajatkan sosok pemimpin yang berdiri di atas kebenaran dan berpijak pada kebijaksanaan. Sosok pemimpin tersebut ada dalam diri seorang filsuf atau setidaknya sosok yang pikiran dan tindakannya berlandaskan pada renungan-renungan filosofis.

Pertanyaannya adalah di tengah suasana dan budaya politik kita saat ini mampukah filsuf jadi pemimpin? Mampukah seorang filsuf bertahan di atas kebenaran dan kebijaksanaan di tengah budaya politik yang menghalalkan segala cara demi merebut dan mempertahankan kekuasaan?

Baca Juga:  Kategori Non Muslim yang Diperbincangkan Al-Qur’an

Sejauh pengetahuan saya, filsafat bukanlah sekedar pengetahuan, bukan pula sekedar tradisi dan cara berpikir. Lebih dari itu, filsafat membentuk mental dan pribadi yang mencintai kebenaran dan kebijaksanaan bagi sesiapa yang bergelut di dalamnya.

Sebagaimana Pak Mujib ungkapkan dalam artikel beliau, filsafat atau hikmah menjadikan hati seseorang bercahaya, sehingga sikap dan tindakannya dilandasi oleh petunjuk “hati nurani”, sebuah istilah yang diserap dari kata Arab “nurani” yang berarti “bercahaya”.

Karena itu, segala perbuatan curang dan tindakan yang sekilas terlihat baik dan biasa saja tapi sebenarnya jahat akan ditentang oleh hati nurani. Maka di tengah budaya politik sekarang ini, seorang filsuf, atau yang bergelut dalam filsafat, atau setidaknya yang sedang belajar filsafat takkan pandai jilat-menjilat, merayu-rayu dan bermanis muka penuh kepalsuan, apalagi sampai menyikut dan menjatuhkan lawan politik secara diam-diam. Dari sudut pandang ini, seorang filsuf akan selalu gagal dalam berpolitik.

Segala intrik culas memang sudah membudaya dalam politik kita, seakan memaksa kita mengatakan: “bagaimana lagi kalau memang kita harus menghalalkan segala cara dalam berpolitik?!” Tapi kita tidak boleh menyerah dengan hal itu.

Baca Juga:  Jika HTI Menolak Saran Ini, Lebih Baik Berhenti "Menjual" Ilusi Khilafahnya

Lagi-lagi saya teringat dengan nasihat Pak Mujib dalam sebuah acara diskusi; Sikap menyerah pada keadaan membuat kita jadi manusia yang fatalistis. Sebagai makhluk yang dibekali hati nurani, manusia seharusnya mampu mengubah kehidupannya menjadi lebih baik dan bermakna.

Dengan demikian, ide Plato tentang sosok pemimpin bukanlah tidak bermakna sama sekali. Ide tersebut dapat dimaknai sebagai harapan. Di tengah masyarakat yang haus akan kehormatan dan pengakuan dan melakukan segala cara untuk mencapai keduanya itu, harus ada segolongan orang yang memegang erat kebenaran dan kebijaksanaan. Sebab, dalam kebenaran dan kebijaksanaan ada kebahagiaan, jika kita memang menjadikannya ukuran kemajuan.

Yunizar Ramadhani