Inilah Peran Maqasid Syariah dalam Menerapkan Hukum-Hukum Allah SWT

Inilah Peran Maqasid Syariah dalam Menerapkan Hukum-Hukum Allah SWT

Pecihitam.org- Pada dasarnya, Islam datang untuk menebar kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan itu terbungkus rapi dalam formulasi ajaran hukum Islam yang biasa dikenal dengan maqasid syariah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Untuk mewujudkannya seorang muslim sejatinya harus memahami dan menguasai isi kandungan dua sumber pokok ajaran Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.

Tuhan dalam kaitannya dengan manusia. Hampir tak ada satu pun ulama yang tak bersepakat dalam hal ini. Perselisihan justru muncul pada persoalan lain di luar dirinya.

Persoalan-persoalan yang banyak dibicarakan para juris yaitu ketika menerapkan hukum-hukum Tuhan yang tertera dalam teks-teks Tuhan untuk menyapa permasalahan realitas yang terus bergerak.

Terlebih ketika terdapat pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami teks-teks wahyu yang terkandung di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga tak sedikit mengundang perselisihan berbagai kalangan dalam memutuskan suatu perkara hukum.

Pada kenyataannya, memang dalam memahami teks al-Qur’an dan as-Sunnah sangatlah bersifat relatif dan subjektif. Teks al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan teks diam yang amat bergantung pada pembaca teks tentang arahan dan maksud hukum apa yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga:  Handphone Berbunyi Ketika Shalat, Tindakan Apa yang Harus Dilakukan?

Sehingga dalam konteks ini, perubahan hukum karena perbedaan pemahaman, ruang, keadaan dan waktu mampu mengundang perdebatan panjang sebagai upaya istinbāṭ al-ahkam (penggalian hukum).

Salah satu upaya penggalian hukum yaitu dengan jalan qiyas. Qiyas ditempuh sebagai solusi pada kasus-kasus hukum yang tidak memiliki nash dengan kasus yang bernash karena terdapat kesamaan illat hukum.

Qiyas memiliki beberapa komponen syarat sehingga mampu melahirkan hukum baru bagi persoalan yang tidak memiliki kejelasan hukum dari syara’. Komponen tersebut terdiri dari asl, far’, hukum asal dan illat.

Dalam persoalan qiyas, illat memiliki peranan penting bagi penentuan hukum. Illat merupakan sesuatu (wasf) yang bersifat konkrit (bisa diindra), pasti (terstandari), bersifat umum, relevan dengan hikmah suatu hukum dan dijadikan pijakan penetapan suatu hukum.

Dari ungkapan tersebut, kiranya dapat digambarkan bahwa illat memiliki beberapa syarat sehingga dapat dikatakan illat hukum yang menjadi penentu disyari’atkannya hukum Islam.

Baca Juga:  Dimanakah Wilayah Najd, Tempat Lahirnya Muhammad bin Abdul Wahab Itu Berada?

Dua syarat pertama tak banyak mengandung perdebatan. Namun ketika melangkah pada syarat yang ketiga tentang kelerevanan dengan hikmah sebuah hukum, dalam hal ini banyak mengandung perdebatan di kalangan para juris.

Apakah perwujudan hikmah merupakan syarat muthlak yang harus dipenuhi agar dapat disebut illat dalam penentuan hukum. Ataukah hikmah hanyalah sebagai simbul atau tameng awal dalam proses penentuan hukum karena perwujudannya pun sangat bergantung pada ada tidaknya illat yang ditetapkan syari’ atau para juris.

Yang kemudian selanjutnya tibalah pada suatu fakta hukum, walaupun ada hikmah yang menuntut untuk terpenuhinya suatu kemaslahatan tapi syarat pemenuhan illat tidak terpenuhi maka hukum pun tak dapat berlaku.

Kenyataannya banyak ulama yang tak lagi konsis pada syarat yang ketiga ini dalam kaitannya “Illat harus menggambarkan terwujudnya hikmah suatu hukum”. Ketidakkonsisan ulama ini terlihat pada pengabaiannya dalam beberapa kasus.

Sebuah contoh konkrit tergambar dalam kasus safar. Seiring perkembangan zaman, perlu kiranya menelaah kembali konteks realitas saat ini pada persoalan safar tidaklah sama dengan konteks dahulu.

Baca Juga:  Ini Dalil Amaliyah Aswaja Setelah Sholat yang Sering Dibid'ahkan Salafi Wahabi

Ini juga berarti, apa yang dirumuskan ulama dahulu terkait dengan konsekuensi hukum safar terkadang tak sama atau bahkan tak ditemukan pada realitas saat ini.

Allah berfirman dalam al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah memberikan keringanan hukum bagi seseorang yang melakukan perjalanan (safar) untuk mengqashar shalatnya.

Firman-Nya tersebut terdapat didalam surat an-Nisa’ ayat 101 yaitu: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalatmu …” (An-Nisa’(04): 101).

Mochamad Ari Irawan