Memahami Makna Kesalehan Budaya dalam Isra’ Mi’raj

Memahami Makna Kesalehan Budaya dalam Isra' Mi'raj

PeciHitam.org – Kesalehan banyak diterjemahkan sebagai sikap patuh terhadap perintah tuhan yang Maha Esa. Sikap penghambaan tanpa kompromi dengan melakukan segala ritus peribadatan dengan tekun. Dimensi kesalehan adalah dimensi vertikal atntara tuhan dengan hambaNya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Saleh secara bahasa bermakna baik, menjadi baik dan bermanfaat. Serta arti budaya adalah segala hasil budi dan pemikiran manusia secara horisontal. Hasil dari budaya adalah kegiatan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Tanggal 27 Rajab sebagai momentum Isra Miraj Nabi Muhammad SAW diperingati dengan membuat ambengan/ tumpengan sebagai peringatan puncak.

Seorang Ibu Hamil umur 4 bulan dibuatkan acara Ngupat dan 7 Bulan dibuat acara Keba atau istilah lainnya. Serta banyak sekali acara lain yang sifatnya budaya dalam Islam.

Akan tetapi era modern sekarang, banyak berkembang pemikiran dan keyakinan pemisah antara kebaikan/ kesalehan pribadi/  invidual dengan kesalehan sosial yang membudaya. Kesalehan hanya bersifat individual tanpa perlu adanya sikap pembudayaan dalam masyarakat yang berbentuk sebuah acara adat.

Permodelan kesalehan ini adalah tidak dianggapnya sebuah acara budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesalehan religius, malahan dijerumuskan dan digolongkan kedalam bentuk sinkretis yang menyalahi nilai-nilai dasar agama.

Bentuk seperti ini banyak ditemukan di Nusantara belakangan ini. Yang mana kesalehan budaya yang berakar dari nilai Islam dan Budaya menyatu menjadi satu terpisah karena klaim tidak benar sampai-sampai tertuduh musyrik.

Penuduhan ini berasal dari ketidak-mampuan seseorang dalam memahami ekspresi beragama dengan berdasar pada sebuah prinsip mutlak. Prinsip mutlak yang keterlaluan dalam memahami dan menafsirkan. Hadits Rasulullah SAW menerangkan bahwa:

Baca Juga:  Tips Memilih Istri Menurut Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ – رواه ابو داوود

Mentahnya pemahaman beberapa golongan terhadap hadits ini menjadi sangat fatal. Karena akan menyebabkan beberapa irisan dalam budaya Islam yang berkembang besar melibihi zaman Rasulullah SAW.

Kekhawatiran ini muncul sebagai reaksi beberapa ekspresi keagamaan yang ada di Nusantara dicap sebagai sinkretis atau tasyabbuh dengan model peribadatan orang-orang musyrik dengan dasar hadits di atas.

Sebagai pembanding pada tuduhan tersebut, kita akan membahas asbabun wurud hadits tersebut yang mana muncul sebagai reaksi terhadap penghitungan kekuatan Islam dan Non-Islam dengan membuat basis kekuatan. Basis kekuatan ini ditandai dengan identifikasi penampilan dan perilaku antar dua kubu yang berselisih, Islam dan non-Islam.

Prof. Nadirsyah Hosen menjelaskan bahwa, untuk mengidentifikasi kekuatan Islam, Nabi Muhammad bersabda demikian guna mengukur sejauh mana ajaran dan kekuatan yang berada dalam pihak Nabi Muhammad SAW.

Dari segi kritik sanad Hadits juga agak mempunyai permasalahan, karena terdapat perawi hadits yang lemah ingatannya saat usia senja, yaitu Abdurrahman bin Tsabit bin Tsaubban.

Yang mana Imam Bukhari meriwayatkan Hadits dari beliau saat masih beringatan kuat, akan tetapi redaksi Hadits ini tidak dijumpai dalam kitab Sahih Bukhari. Hadits di atas dijumpai dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, Mushannaf Abi Syaiban dan Sunan Abu Dawud.

Baca Juga:  Sedekah untuk Orang yang Sudah Meninggal, Apa Benar Pahalanya Bisa Sampai?

Penuduhan dengan dalil tersebut menjadikan orang sangsi atas kebenaran dan legitiminasi ritual tersebut. Kekhawatirannya berupa ketakutan dan intimidasi yang didapat oleh orang yang melakukan ritus tersebut mendapat cap sebagai musyrik dan ahli neraka.

Hadits yang selalu dibawa tersebut harus dipahami sebagai peringatan bahwa konsolidasi kekuatan islam saat nabi bebeda dengan zaman sekarang. Bahkan ritus-ritus tersebut pada era sekarang menjadi media dakwah oleh Ulama-ulama, diawali oleh para Wali Songo.

Perbedaan konteks hadits dan kaitannya dengan medan dakwah menyadarkan kepada kita bahwa kegiatan dalam kasus di atas menjadi sebuah kesalehan Budaya. Perhatikan diksi dalam Al-Quran berikut ini:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dengan berbagai perbedaan yang ada kita dianjurkan untuk saling mengenal satu sama lain. Dengan mengenal kita baru mengetahui apa yang ada dalam ritual yang dilakukan dan bagaimana landasan filosofis dari perilaku tersebut.

Baca Juga:  Salah Kaprah Wahabi Tentang Semua Ulama Salah dan Tidak Boleh Diikuti

Sebagaimana ekspresi akan memunculkan tipikal berbeda dalam pelaksanaanya. Ini yang penulis sebut sebagai ekspresi kesalehan budaya yang membudaya.

Masyarakat Nusantara dengan sadar memahami bahwa ritus-ritus tersebut adalah sebuah ritus penghambaan (ibadah). Karena isi dari ritus tersebut berupa bacaan ayat suci al-Quran dan kalimah tayyibah.

Apakah sebuah kesalahan jika hanya kulit yang berbeda sedangkan isi berupa doa yang dianjurkan dalam beragama. Kiranya kebijaksanaan dakwah oleh wali songo menjadi telaah, bukan menjadi bulan-bulanan penyalahan. Ash-Shawabu Minallah.

Mohammad Mufid Muwaffaq