Membangun Masjid di Sisi Kuburan, Betulkah Hukumnya Haram?

Membangun Masjid di Sisi Kuburan, Betulkah Hukumnya Haram?

Pecihitam.org – Salah satu perkara yang seringkali dianggap oleh segenap Umat Islam sebagai perbuatan yang Haram dan bisa mendekatkan orang pada kesyirikan adalah perkara membangun masjid di sisi kuburan atau makam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Salah satu Ulama yang menyatakan bahwa Membangun masjid di sisi kuburan sebagai Haram adalah Ibnu Taimiyah, yang kemudian Fatwanya di ikuti oleh kelompok Wahabi yang ada di Indonesia.

Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya al-Qaidah al-Jalilah halaman 22, menjelaskan bahwa:

“Nabi melarang menjadikan kuburannya sebagai mesjid, tidak memperbolehkan seseorang di saat waktu-waktu shalat untuk berziarah, shalat dan berdoa di sisi kuburannya, sekalipun maksudnya untuk beribadah kepada Allah. Bisa jadi, mengakibatkan seseorang melakukan doa dan shalat untuk ahli kubur, mengagungkan dan menghormatinya. Atas dasar itu, membangun masjid di sisi kuburan para waliyullah merupakan perbuatan haram. Meskipun, pembangunan mesjid itu sendiri merupakan sesuatu yang ditekankan. Perbuatan seperti itu bisa menjerumuskan seseorang ke dalam perilaku syirik, hukumnya secara mutlak haram”.

Fatwa ibnu Taimiyah di atas didasarkan pada dalil-dalil berikut:

1. Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka telah menjadikan kubur para nabinya sebagai tempat ibadah”. (HR. Bukhari jilid 2 hal.111 dalam kitab al-Jana’iz, hadis serupa dapat ditemukan dalam kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 hal. 871).

2. Sewaktu, Ummu Habibah dan Ummu Salamah menemui Rasulullah dan berbincang-bincang tentang tempat ibadah (gereja) yang pernah di lihatnya di Habasyah, Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka adalah, kaum yang setiap ada orang saleh dari mereka yang wafat, mereka membangun tempat ibadah di atasnya dan menghadapkan wajahnya hanya ke situ. Mereka di akhirat kelak tergolong makhluk yang buruk di sisi Allah”. (Shahih Muslim jilid 2 hal. 66 kitab al-Masajid).

3. Jundab bin Abdullah al-Bajli menyatakan, “Aku mendengar lima hari sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau bersabda, ‘Ketahuilah, sesungguhnya sebelum kalian, terdapat kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Namun, janganlah kalian melakukan semacam itu. Aku ingatkan hal itu pada kalian’”.(Shahih Muslim jilid 1 hal. 378).

4. Diriwayatkan dari Nabi SAW, beliau pernah bermunajat kepada Allah Swt. dengan berkata, “Ya Allah, jangan engkau jadikan kuburku sebagai tempat penyembahan berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat ibadah”. (Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 hal.246)

Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan di atas, para pengikut Wahabi-Salafi akhirnya dijadikan hujjah dan dasar untuk mencela, menghina dan menyebut syirik terhadap pusara Wali songo (sembilan) atau para Sunan di Indonesia, yang kebanyakan di sisi makam mereka terdapat bangunan masjid.

Baca Juga:  Bagaimanakah Status Hubungan Mahram dari Bank ASI?

Baiklah, kita menghargai pendapat dan ijtihad mereka dalam hal ini. Namun, terdapat beberapa poin yang harus dapat kita perhatikan untuk mengkritisi dalil mereka ini:

Hadis dari Ummu Salamah dan Ummu Habibah yang disebutkan di atas tadi, jelas tujuannya dan niat kaum Yahudi dan Nasrani adalah menjadikan kuburan orang-orang saleh sebagai tempat ibadah sekaligus sebagai kiblat (arah ibadah) yaitu menghadapkan wajah mereka sewaktu bersujud.

Perbuatan yang seperti inilah yang dilarang tegas oleh Rasulullah Muhammad Saw. Adapun, jika membangun masjid di sisi kuburan seorang waliyullah sekedar untuk mengharap berkah dari Allah berperantarakan Wali tersebut.

Dalam mensyarah hadis tadi, Al-Baidhawi menyatakan, “Hal itu, karena kaum Yahudi dan Nasrani selalu mengagungkan kuburan para nabi dengan sujud dan menjadikannya sebagai kiblat (arah ibadah).

Atas dasar inilah, akhirnya Umat Islam dilarang untuk melakukan hal yang sama, karena merupakan perkara syirik yang nyata. Namun, apabila masjid dibangun di sisi kuburan seorang hamba yang saleh dengan niat tabarruk (mencari berkah), maka pelarangan yang terdapat pada hadis tadi tidak dapat diterapkan padanya.”

Begitu juga sebagaimana dijelaskan As-Sanadi dalam mensyarah kitab Sunan an-Nasa’i jilid 2 hal. 41, ia mengatakan, “Nabi melarang umatnya untuk melakukan perbuatan yang mirip perilaku Yahudi dan Nasrani dalam memperlakukan kuburan para nabi mereka, baik dengan menjadikannya sebagai tempat sujud, pengagungan maupun arah kiblat, serta menghadapkan wajahnya ke arahnya (kubur) sewaktu ibadah”.

Hadis diatas menyebutkan adanya larangan membangun masjid “diatas” kuburan bukan di sisi (di samping) kuburan. Letak perbedaan redaksi inilah yang kurang diperhatikan oleh kelompok ini dalam berdalil.

Selain itu, tidak jelas pula apakah pelarangan dalam hadis itu menjurus kepada hukum haram atau hanya sekedar makruh saja. Hal itu, disebabkan karena Imam Bukhari dalam Kitab sahihnya jilid 2 hal.111, mengumpulkan hadis-hadis itu dalam bab “apa yang dimakruhkan menjadikan masjid diatas kuburan” (ma yukrahu min itikhadz al-Masajid alal Qubur).

Ini menjelaskan bahwa hal tersebut sekedar pelarangan yang bersifat makruh yang sepatutnya dihindari, namun bukan juga mutlak dihukumi haram.

Syeikh Abdullah Harawi di dalam kitab al-Maqalat as-Saniyah hal.427, menjelaskan hadis di atas;

“Hadis tadi diperuntukkan bagi orang yang hendak melaksanakan ibadah di atas kuburan para nabi dengan niat untuk mengagungkan kuburan mereka. Ini terjadi, jika posisi kuburan itu tampak dan terbuka. Jika tidak, melaksanakan shalat disitu tidak haram hukumnya”.

Baca Juga:  Rahasia Dibalik Penciptaan Keperawanan Kajian Kitab Fathul Izar Bagian 6

Senada dengan itu, Abdul Ghani An-Nablusi, Seorang ulama Ahlussunnah yang bermazhab Hanafi di dalam kitab al-Hadiqah ast-Tsaniyah jilid 2 hal. 631, menjelaskan;

“Jika membangun masjid di sisi kuburan (makam) orang saleh atau di samping kuburannya yang cuma berfungsi untuk mengambil berkahnya saja, tanpa ada niat untuk mengagungkan (menyembah)nya, maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana kuburan Nabi Ismail a.s. terletak di Hathim di dalam Masjidil Haram, dimana tempat ini adalah sebaik-baik tempat untuk melaksanakan shalat”

Hal serupa dijelaskan oleh Allamah Badruddin al-Hautsi di dalam kitab Ziarah al-Qubur hal. 28, “Arti dari menjadikan kuburan sebuah masjid adalah, seseorang menjadikan kuburan sebagai kiblat (arah ibadah) dan untuknya di laksanakan peribadatan”.

Di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabirjilid 3 hal. 204, At-Thabrani mengatakan, di dalam masjid Khaif terdapat delapan puluh makam para nabi, padahal mesjid itu sudah ada sejak zaman salafussaleh.

Lalu, mengapa para salafussaleh tetap mempertahankan masjid tersebut? Jika itu dianggap sebagai perbuatan syirik (haram), maka sepatutnya sejak dulu sudah dihancurkan oleh Rasulullah Saw. beserta para sahabat mulia beliau.

Allah Swt. berfirman di dalam Surah Al Kahfi ayat 21; “Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata, ‘Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.’ Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan (masjid) diatasnya.’” (QS. al-Kahfi [18]: 21)

Memahami ayat di atas, Para ulama tafsir Ahlusunnah wal Jamaah berpendapat, bahwa para penguasa saat itu adalah orang-orang ahli tauhid kepada Allah Swt., bukan orang-orang musyrik penyembah kuburan (quburiyun).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir al-Kasyaf jilid 2 hal.245; Fakhrur-razi dalam kitab Mafatihul Ghaib jilid 21 hal.105; Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab al-Bahrul Muhith dalam menjelaskan ayat 21 dari surah al-Kahfi tadi dan Abu Sa’ud dalam kitab Tafsir Abi Sa’ud jilid 5 hal. 215.

Jelas sekali, mayoritas kaum ahli tauhid (monoteis) saat itu sepakat untuk membangun masjid di atas makam Ashabul-Kahfi. Al-Quran bukan hanya sekedar kitab cerita, hanya menceritakan peristiwa-peristiwa menarik zaman dahulu tanpa memuat ajaran sebagai pedoman hidup kaum muslimin.

Jika kisah pembangunan mesjid di atas makam Ashabul-Kahfi termasuk perbuatan syirik, pastilah Allah Swt. menyindir dan mencela hal itu dalam lanjutan kisah tadi, karena syirik adalah jelas perbuatan yang paling dibenci oleh Allah Swt.. Namun, nyatanya Allah Swt. tidak melakukan teguran baik secara langsung maupun tidak langsung (sindiran).

Baca Juga:  Berguru kepada Nabi dan Sahabat? Hati-hati Memilih Ustadz!

Abu Jundal, adalah salah seorang sahabat mulia Rasulullah Saw. dalam catatan Para Ulama sejarah dijelaskan bahwa: “Suatu ketika, sepucuk surat Rasulullah sampai ke tangan Abu Jundal. Saat surat itu sampai, Abu Bashir (sahabat Rasulullah yang menemani Abu Jundal.red) sedang sekarat. Ia wafat dalam posisi menggenggam surat Rasulullah. Lalu Abu Jundal mengebumikan Abu Bashir di tempat itu dan membangun masjid di atasnya.”

Kisah di atas, dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 hal.334 atau di dalam kitab al-Isti’ab jilid 4 hal. 21-23 karya Ibnu Hajar.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah mungkin seorang sahabat mulia Rasulullah seperti Abu Jundal telah melakukan perbuatan syirik? dan Apakah Rasulullah, serta para sahabat tidak tahu akan peristiwa itu? dan Jika itu perbuatan syirik, mengapa Rasulullah Saw. sendiri atau para sahabatnya tidak mememberi teguran kepadanya?

Maka dari sini sudah jelas bahwa membangun masjid di sisi kuburan merupakan hal yang diperbolehkan di dalam Islam sebagaimana dalil dari ayat al-Qur’an dan perilaku Salafussaleh, berbeda dengan apa yang diklaimkan oleh kelompok pencela di atas sebelumnya.

Bukti lain bahwa di dalam Mesjid Nabawi Madinah, terdapat kuburan manusia termulia di sana, yaitu Rasulullah Saw. sendiri, serta sahabatnya yang mulia Sayidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Khattab [r.a].

Bahkan di masjid inilah jutaan Umat Islam dari seluruh Dunia mendirikan shalat baik di samping, di belakang, dan di depan kuburan mulia ini. Letaknya pun bukan di sisi tetapi malah di dalam Masjid Nabawi.

Kesimpulannya adalah membangun masjid di sisi (bukan diatas) kuburan manusia mulia (para nabi atau wali) untuk pencarian berkah, menurut ahlus sunnah wal jama’ah adalah Boleh. Wallahu a’lam.

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *