Membela Allah? Membela Islam? Jargon Bau Amis !!

Membela Allah? Membela Islam? Jargon Bau Amis !!

PeciHitam.org Allah SWT menurunkan agama Islam sebagai agama paling sempurna yang dijaga langsung olehNya. Sejak abad pertama Islam muncul, permusuhan dan intimidasi mewarnai perjalanan perjuangan Islam. Akan tetapi hingga saat ini Islam menjadi salah satu agama terbesar pengikutnya, sekurangnya 2 Milyar populasi manusia memeluk Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada masa Nabi Muhammad SAW, otoritas kebenaran dan standar hukum dinisbahkan kepada beliau. Segala permasalahan yang belum jelas hukumnya akan dikonfirmasikan kepada Nabi SAW dan beliau menjawab sesuai wahyu. Pastinya Nabi SAW yang dibimbing wahyu menjadi standar tepat untuk mengadu segala problematika kehidupan, dan bernilai PASTI Benar.

Namun setelah Rasulullah SAW ‘Intaqala ‘ala Rafi’il A’la’, atau wafat, standar kebenaran beralih kepada Ilmu pengetahuan. Dan setelah periode kewafatan Rasulullah SAW sampai sekarang banyak jargon ‘membela Allah’ terbatas sebagai entitas kepentingan pribadi.

Daftar Pembahasan:

Kebenaran pada Masa Nabi SAW dan Sahabat

Muhammad bin Abdullah SAW adalah Nabi dan Rasul yang langsung terbimbing oleh Allah SWT, oleh karenanya beliau selalu dalam rel kebenaran.

Kealfaan atau sifat lupa yang Allah berikan kepada beliau bernilai konteks menerangkan hukum. Berlainan dengan manusia selain Rasul SAW, yang mana sifat lupa, alfa dan salah adalah ‘makanan ringan’ mereka.

Allah SWT menerangkan dalam Al-Qur’an tentang kewajiban seorang Muslim mengikuti perintah Allah, Rasul dan pemimpin,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ (٥٩

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (Qs. An-Nisaa’: 59)

Yai Said (KH. Said Aqil Sirajd) sering mencontohkan bahwa klasifikasi ayat di atas ada dua jenis walaupun bergandengan redaksinya. Cuplikan ayat ‘أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ’ bersifat ayat Mutlak, yakni tidak memerlukan Qarinah/ alasan untuk memahaminya. Kewajiban Muslim mematuhi Allah SWT dan Rasul SAW tidak bisa ditawar.

Akan tetapi cuplikan ayat ‘وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ’ berklasifikasi ayat Muqayyadah, harus memiliki prasyarat supaya bisa diikuti. Pemimpin baru bisa diikuti selama tidak menyuruh kepada maksiat dan durhaka kepada Allah. Jika membuat  kebijakan yang bertentangan dengan syariat maka boleh dibantah.

Baca Juga:  Pengaruh Kebudayaan Champa Terhadap Islam di Nusantara (Bagian 2/Habis)

Kebenaran yang tersemat kepada Rasulullah dan sabdanya adalah mutlak, tidak boleh dibantah. Satu sisi lainnya kebenaran yang diberasal dari manusia biasa bersifat nisbi, artinya bisa dipastikan bahwa pendapat seseorang tidak akan menyamai kebenaran Rasul.

Bahkan generasi yang dekat dengan Nabi, para Sahabat yang dijamin masuk surga menyatakan diri tidak menyamai derajat kebenaran Nabi SAW. Abu Bakar ash-Shidiq dan Umar bin Khattab memaklumatkan diri bisa salah, dan suatu ketika harus diingatkan. Masyhur perkataan Abu Bakar;

اَمَّابَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ فَاِنِّيْ قَدْ وُلَّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِيْ وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِيْ. الصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَالْكَذِبُ خِيَانَةٌ

Artinya; “Wahai manusia, sungguh aku telah didaulat sebagai pemimpin atas kalian. Akan tetapi, aku bukanlah manusia terbaik. Bila aku membuat kebijakan yang baik, maka sudilah kalian membantuku. Jika aku bersikap buruk, maka luruskanlah diriku. Kejujuran itu amanah. Dusta adalah pengkhianatan.

Sangat gamblang dikatakan bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq, sahabat paling senir yang selalu dekat dengan Nabi menyifati dirinya tidak selalu benar. Artinya bisa jadi Abu Bakar dalam membuat keputusan yang salah, dan kiranya ia meminta Umat Islam untuk membenarkan.

Sikap yang diambil Abu Bakar Ash-shidiq adalah sikap seorang yang rendah hati/ tawadlu’. Dia tidak memastikan sebagai pembela kebenaran yang kata-katanya selalu hak. Beliau tidak latah menyuarakan membela Allah SWT karena sadar tidak memiliki otoritas mutlak menafsirkan ayat-ayat Allah SWT.

Tradisi yang terbangun dikalangan Sahabat senior yang dilanjutkan oleh para Ulama Ahlussunnah wal jamaah adalah tidak memastikan diri sebagai pusat kebenaran. Ulama Sunni menyisakan ruang untuk berbeda pendapat dan menghormatinya.

Oleh karenanya dalam melihat sebuah realita dan masalah dimasyarakat, Ulama Sunni akan sangat SEGAN mengucapkan ‘membela Alla SWT atau ‘membela Agama Islam’ karena tahu potensi benar dan salahnya sama kuatnya.

Umar RA dan Bantahan Wanita

Sejurus dengan sikap Abu Bakar yang memperkenalkan dirinya bukan ‘orang yang selalu benar’ saat pidato pengangkatan sebagai khalifatu Rasululillah, Umar pernah dibantah oleh seseorang.

Bantahan yang dialamatkan ke Umar bin Khattab karena beliau pernah alfa atas keputusan ‘menarik Mahar sang sudah diberikan kepada Istri’.

Baca Juga:  Bacaan Sujud Syukur Yang Dianjurkan

Setelah menggantikan Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar naik menjadi Khalifah dengan gelar Amirul Mukminin. Umar pernah membuat keputusan tentang nominal maksimal pemberian Mahar dikalangan Islam.

Batasan maksimal pemberian Mahar adalah 40 ‘Uqiyah (standar sekarang 1 ‘Uqiyah = 200 Gr emas). Jadi batasan maksimal Mahar adalah 8000 gr (8 Kg).

Jika ada seorang suami yang sudah terlanjur memberikan Mahar melebihi batas maksimal maka harus ditarik kembali dan diberikan ke Baitul Maal (Kas Negara). Namun bantahan muncul dari seorang perempuan dengan suara lantang ia berteriak,

“Ada apa denganmu Umar?”, dan Umar RA menimpali, ‘Lantas Bagaimana?’ dan disahut oleh perempuan tadi dengan berkata dan membaca ayat, ‘Ada apa dengan keputusanmu, bukankah Allah berfiman’;

وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (٢٠

Artinya; “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain (menceraikannya), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (Qs. An-Nisaa’: 20)

Umar bin Khattab menyadari kekeliruannya dan membenarkan perkataan perempuan tersebut dan menarik keputusan yang telah dibuat beliau. Kisah ini menunjukan bahwa sahabat sekelas Umar bin Khattab tidak memastikan diri selalu benar. Adakalanya beliau menerima masukan jika pendapat tersebut lebih benar.

Pun dalam menetapkan hukum, Umar RA tidak memposisikan dirinya sebagai pemegang kebenaran Mutlak. Konsep kebenaran yang digaungkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab terwakilkan dalam kata-kata beliau;

Abu Bakar Ash-Shidiq mengatakan; ‘Ini Pendapatku. Jika pendapat itu Benar, ia berasal dari Allah SWT. Dan jika salah maka ia datang dariku’. Dan kata-kata Umar bin Khattab ketika menanggapi surat yang mengatakan pendapat beliau selalu sesuai dengan Al-Qur’an. Umar bin Khattab mencerca surat tersebut dan membalas, ‘Buruk sekali perkataanmu!, jika ia (pendapat) benar maka dari Allah, jika ia salah maka dari Pendapat Umar’

Pola ini yang pada era modern sangat langka, yaitu menempatkan diri sebagai orang yang berpendapat. Kadang bisa salah dan terkadang benar. Abu Bakar dan Umar saja mau mengakui bahwa dirinya bukan otoritas tertinggi dalam kebenaran.

Baca Juga:  Akhlak Rasulullah yang Membuat Para Sahabat Begitu Mencintainya

Fenomena Modern, Membela Allah atau Nafsu?

Kebanyakan orang sekarang mengagungkan pendapatnya sendiri dan menganulir pendapat orang lain. Sama halnya dengan tagline ‘Membela Allah SWT’ atau ‘membela AgamaNya’ banyak tercium bau Amis, Smell Fishy.

Pendapat sendiri diletakan pada posisi mutlak benar dan pendapat orang lain diletakan pada selalu salah. Pola ini akan menyebabkan kekeliruan yang fatal apalagi dibumbui dengan nama Agama. Banyak kasus aksi ‘membela Allah’ atau ‘membela Rasulullah’ atau ‘membela Al-Qur’an’ dibumbui unsur kepentingan atau nafsu.

Normatifnya memang mendasarkan diri pada ayat dalam Al-Qur’an surah Muhammad ayat 7 sebagai berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (٧

Artinya; “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (Qs. Muhammad; 7)

Jelas sekali bahwa ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk membela Agama Allah SWT. Akan tetapi tidak dijelaskan dengan apa membelanya tersebut? Apakah eksplisit harus dengan demo berjilid-jilid?

Tentunya pendapat tentang ‘membela Allah’, ‘membela Rasulullah’ dan ‘membela Islam’ dengan aksi turun jalan merupakan pendapat pribadi. Bisa benar atau mungkin saja bernilai salah sama sekali. Potensi kebenaran dalam mensikapi sebuah masalah di era modern sama-sama memiliki potensi benar salah.

Paripurnanya sebuah aksi ‘membela allah’, ‘membela islam’, ‘membela al-Quran’ dilakukan dengan memantapkan pengetahuan sebagai guide kebenaran. Bukan mengikuti orang yang hanya kuat dalam libido kekuasaan dan kepentingan hawa nafsu. Naudzubillah.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan