Memotret Masa Depan Islam Populis di Indonesia Melalui Kasus Gus Muwafiq dan Sukmawati

Masa Depan Islam Populis di Indonesia Melalui Kasus Gus Muwafiq dan Sukmawati

Pecihitam.org – Polemik potongan video ceramah Kyai Ahmad Muwafiq atau akrab disapa Gus Muwafiq tentang potret masa kecil Nabi Muhammad berbuntut panjang. Alih alih berhenti di level percakapan publik, polemik tersebut kini bergulir menjadi bola panas di dunia nyata dan sempat berbuntut aksi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Aksi massa bela Nabi, contohnya, mewarnai trending tagar di Twitter dua pekan terakhir. Di Surakarta, bahkan terdapat aksi unjuk rasa oleh sekelompok orang beratribut “bendera Tauhid” yang memprotes ceramah Gus Muwafiq hingga berujung kisruh di depan kantor PCNU, Jum’at (detikcom, 6/12).

Sebelumnya, polemik hampir serupa juga terjadi pada Sukmawati. Cucu presiden pertama RI ini dipolisikan oleh Koordinator Bela Islam (Korlabi) karena dituding menghina Nabi Muhammad setelah membandingkannya dengan Presiden pertama Indonesia Sukarno. Sukmawati membantah telah melakukan penistaan. (detiknews 16/11).

Kasus yang dipicu oleh postingan di media sosial dan menyita perhatian banyak pihak tersebut menjadi potret terkini kondisi keberagamaan masyarakat muslim di Indonesia. Diskursus publik seputar pro-kontra kasus tersebut berkembang luas.

Pertanyaannya sejauh mana polemik tersebut akan berdampak pada lanskap dan dinamika perkembangan keberagamaan Islam di Indonesia mengingat kasus-kasus seperti ini kelihatannya akan masih laris manis dijual dampak sedang naik daunnya narasi politik identitas.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga point analisa yang bisa kita gunakan sebagai indikator dalam menilai dan memotret efek domino beberapa polemik keagamaan di atas.

Pertama dari aspek legislasi perundang-undangan, kedua dari aspek gejala populisme yang mewabah secara global, dan ketiga dinamika perkembangan politik tanah air.

Baca Juga:  Sowan ke Para Kiai di Ponpes Lirboyo, Gus Muwafiq Diminta Untuk Terus Berdakwah

Pertama, aspek legislasi perundang-undangan misalnya, pasal penodaan agama (pasal 156a) menjadi momok baru di era massifnya perkembangan teknologi informasi dewasa ini.

Meskipun undang undang tersebut merupakan bagian dari tata hukum Indonesia sejak 1965 (UU No.1/PNPS/1965), namun sejak kasus Ahok 2016 lalu, penggunaannya menjadi semakin populer, utamanya dalam konteks diskursus publik.

Sementara dalam ranah media sosial, biasanya jeratan hukum UU tersebut dikawinkan dengan UU ITE nomor 11 tahun 2008 tentang transaksi elektronik.

Sehubungan dengan hal tersebut, catatan Zainal Abidin Bagir dalam laporannya di CRCS berjudul “Kerukunan dan Penodaan Agama” menarik untuk dicermati.

Menurutnya, data menunjukkan tajamnya peningkatan frekuensi kasus pengadilan sehubungan dengan penodaan agama, kurang dari 10 kasus pada periode 1965-1998, menjadi lebih dari 75 kasus sesudahnya hingga 2017.

Selain narasi politik identitas, kenaikan kasus yang cukup signifikan tersebut tidak terlepas dari maraknya stigmatisasi (baca: Kafir, PKI, antek asing, etc) yang akhir akhir ini ramai digunakan pengguna media sosial dan memicu diskresi di masyarakat.

Dalam konteks perilaku pengguna medsos, anomali terhadap undang-undang penodaan agama dan UU ITE tersebut rasa-rasanya masih berpotensi besar akan kembali terjadi di kemudian hari, disamping minimnya wawasan literasi pengguna medsos kita, juga karena masih ramainya perdebatan publik akibat terbelahnya masyarakat pasca pilpres kemarin.

Kedua, Populisme. Wabah ini menggejalai banyak negara di dunia utamanya pasca kemenangan Donald Trump di Amerika. Populisme secara sederhana bisa diartikan sebagai filsafat politik yang berpihak pada kepentingan orang banyak, alih alih berpihak pada kepentingan elit dan pemerintah.

Baca Juga:  Ini Hujjah Peringatan Haul yang Dianggap Bid'ah Tercela oleh Salafi Wahabi

Buku Ernesto Laclau yang berjudul “On Populist Reason” misalnya, atau milik Chantal Mouffe berjudul “For A Left Populism” mendedahkan dengan detil apa itu populisme dan bagaimana ia muncul dalam dinamika sejarah global.

Dalam banyak kasus, populisme ini tampak gemar mengeksklusi kelompok yang berbeda pandangan dengan arus besar. Hal tersebut sejalan dengan agenda populis untuk menggerakkan silent majority guna beraspirasi melawan elit dan politisi yang dianggap dan dinarasikan telah mengabaikan kepentingan mereka.

Dalam banyak kasus di Indonesia, populisme ini bergelinjang mesra dengan isu politik identitas. Dalam kondisi nasional semacam ini, isu seperti Gus Muwafiq dan Sukmawati misalnya, akan menjadi sasaran empuk politisisasi guna menjaga soliditas dan aktivisme arus besar tadi, setidaknya hingga pilpres 2024.

Ketiga, dinamika politik tanah air. Tak bisa diragukan lagi, spektrum politik tanah air memberikan dampak yang luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita ketahui bersama, Negara kita punya sejarah panjang seputar rivalitas keras antara golongan Nasionalis dan golongam Islam.

Ketika kaum nasionalis tampil dalam panggung elit tanah air dan berhasil menjalankan peran negosiatif dengan golongan Islam, pihak pihak yang merasa kepentingannya tak terakomodasi oleh kekuasaan mengkristal dalam selubung perlawanan terhadap otoritarianisme utamanya di era Orde Baru dan dengan segera menjadi kesadaran dalam bentuk visi kolektif di lingkaran pergerakan aktivis Islam. 

Baca Juga:  Pesantren dan Kitab Kuning: Dua Azimat NU Sesungguhnya

Masuknya ideologi transnasional ke Indonesia (HT, IM, Wahabi) seakan memberikan legitimasi otoritatif atas pergerakan aktivis ini. Maka dampaknya, wajah Islam Indonesia tak lagi didominasi perseteruan ubudiyah klasik antara NU dan Muhammadiyah, tetapi semakin berwarna.

Kelompok yang hadir belakangan dan mengusung gerakan transnasional membawa corak yang lebih ekstrem dengan narasi agama dan negara bangsa yang didikotomiskan. Isu sensitif inilah yang menjadi salah satu ruang gerak populisme Islam di Indonesia.

Soliditas dan aktivisme gerakan populis publik di Indonesia memang sepertinya dijaga betul momentumnya. Reuni 212, motor melenggangnya Anis Baswedan yang mereka anggap mewakili kelompok populis menjadi Gubernur DKI, masih tetap digelar.

Dikarenakan motor tersebut masih membutuhkan banyak bahan bakar, bisa jadi menjaga momentum gerakan populis dinilai penting untuk agenda politik elektoral selanjutnya, maka tidak ada cara lain selain memainkan isu politik identitas, tak terkecuali kasus Gus Muwafiq, Sukmawati dan entah nanti siapa lagi.

Muhammad Muchlish Huda