PeciHItam.org – Kiranya perlu diluruskan anggapan yang salah dalam menyikapi qadha. Bahwasanya sikap menerima qadha tidak berarti berhenti berdoa kepada Allah dengan sikap rendah diri.
Sebaliknya, kita harus tetap bersikap rendah diri, memohon dengan sangat dan berdoa kepada-Nya, baik dengan suara yang keras atau pelan.
Dalam berdoa kita boleh memohon untuk memperoleh sesuatu manfaat dan menolak sesuatu kemelaratan. Dan sama sekali tidak dipandang menentang qadha. Rasul-rasul dan nabi-nabi semuanya berdoa.
Jadi, meminta supaya Tuhan melimpahkan kurnia-Nya, baik untuk kebaikan dunia maupun untuk kebaikan akhirat, sebenarnya suatu qadha yang ditetapkan Tuhan juga.
Berdoa Berbeda dengan Menentang Qadha
Berdoa itu suatu ibadat, bahkan intinya. Karena berdoa menandakan bahwa manusia berhajat sangat kepada Allah dan pengakuan hanya Dialah yang mempunyai kekuasaan untuk memberi atau mencabut.
Selain itu, berpindah dari suatu tempat yang dilanda pe nyakit atau maksiat ke tempat yang aman, sama sekali tidak menentang qadha. Bahkan hal tersebut dianjurkan. Sekali lagi, Hasbi menegaskan:
Sebenarnya, lari (berpindah) dari negeri maksiat, tidak berar ti lari dari qadha. Apabila kita perhatikan perjalanan salaf, maka banyak nian di antara mereka yang berpindah dari Baghdad yang dibangun oleh Abu Ja’far Al-Manshur, di kala kota itu telah penuh dengan kemaksiatan dan kerdurjanaa Para salaf lebih gemar tinggal di dusun-dusun. Al-Kamal Al Shufi berkata: “Sungguh tidak dibenarkan kita berdiam dalam kota besar yang telah penuh maksiat.
Memang ada sebagian guru sufi memendam rasa sakit. Namun dia tidak berdoa dan tidak memohon kesembuhan dari Allah. Mereka melakukan hal ini dengan anggapan bah wa tindakan ini menunjukkan keridhaan mereka terhadap qadha Allah.
Contohnya adalah Abu Al-Hasan Samnun ibn Hamzah, yang mengalami susah buang air kecil selama em pat belas hari, dan berguling-guling bagaikan ular.
Dia menyembunyikan penyakitnya ini dan tidak berdoa kepada Allah, karena takut menentang qadha-Nya. Sikap ini dikritik oleh Ibn Taimiyah sebagai pemahaman yang keliru terhadap ridha akan qadha Allah.
Menurut Ibn Taimiyah, yang benar adalah seperti diperlihatkan oleh Al-Fudhail ibn Iyadh, tokoh sufi yang lebih tinggi kedudukannya daripada Samnun. Beliau pernah me ngalami kendala susah buang air kecil.
Ia tidak mampu me nahan sakitnya ini dan memohon kepada Allah agar mem berikan kesembuhan. Ia pun berdoa, “Atas nama cintaku pada-Mu, lepaskan aku dari penyakit ini.” Maka, Allah menyembuhkannya.
Pun Menurut Hamka, salah satu kekuatan doa adalah menu kar takdir yang sudah ditetapkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Ia mendasarkan pendapatnya pada hadis Nabi Saw.;
“Tidaklah yang menolak ketentuan Allah kecuali doa. Dan tidaklah yang menambah umur kecuali berbuat kebaikan. Dan seorang laki laki akan diharamkan baginya rezeki karena dosa yang diperbuat nya” (HR. Al-Tirmidzi dan Ibn Hibban)
Berdasarkan hadis di atas, menurut Hamka bahwa dengan doa yang mustajab Allah dapat mengubah apa yang tadinya telah ditentukan-Nya untuk hamba-Nya. Lebih jauh Hamka mengatakan:
Di sini kita mendapat kesimpulan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang semata-mata bertawakal dan menyerah kepada-Nya. Hadis seperti ini sudah nyata mela rang kita hanya menyerah kepada takdir yang kita sendiri belum tahu rahasianya. Kita disuruh selalu mendesakkan doa kita kepada Allah, yakni desakan dengan arti yang baik. Doa bukanlah alamat dari kelemahan, melainkan menimbulkan kekuatan. Yaitu, mempositifkan atau menunjukkan jiwa semata-mata kepada Allah, bebas dari pengaruh atau mencari perlindungan kepada sesama makhluk. Karena dengan berdoa kita selalu merasa diri dekat kepada Allah. Bahkan Allah murka kalau kita tidak langsung meminta kepada-Nya, sebagaimana sabda Nabi Saw., “Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, murkah Allah kepadanya” (HR. Al-Tirmidzi).
Ash-Shawabu Minallah