Mengapa Allah Mengutus Nabi dan Rasul, Bukankah Kita Juga Tahu Baik dan Buruk?

mengapa allah mengutus nabi dan rasul

Pecihitam.org – Kepada siapakah kita mengaduh bila diperlukan bimbingan? Kepada siapakah kita belajar bila dihunjam berbagai macam penderitaan? Agama mengajarkan kita untuk kembali  kepada Tuhan, untuk mengambil pelajar dan petunjuk dari kalimat-kalimat langit yang mencerahkan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dan Allah swt bercerita mengenai insan-insan pilihan. Merekalah para utusan yang merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Bila ada buah yang paling ranum, merekalah yang memetiknya. Bila ada duri yang paling tajam, merekalah yang tertusuk terlebih dahulu.

Para nabi dan rasul adalah anugrah Tuhan di bumi. Kepada merekalah selayaknya kita belajar. Pada kehidupan yang ditempa dengan goncangan, yang bertahan dalam badai, dan tetap dekat dengan Tuhan pada setiap keadaan.

Sungguh, setelah para nabi tiada lagi bukti nyata bagi manusia. Bila kita mengeluh karena derita yang berat, bila kita mengaduh karena ketakutan yang dahsyat, bila kita merintih karena kebingunan dan duka yang mendalam, lihatlah kehidupan para nabi. Di sana kita temukan mutiaranya. Di sana cahaya Tuhan takkan berhenti memberikan sinarnya

Sebagian orang mungkin bertanya mengapa Allah mengutus para nabi dan rasul? Bukankah hadirnya nabi dan rasul untuk memberitahukan kepada kita tentang baik dan buruk sementara dengan akal, kita dapat mengatahuinya?

Doktrin agamamengatakan bila ada dua Tuhan maka alam ini akan hancur, tetapi realitasnya tidaklah demikian, saat ini banyak negara dengan tingkat kepercayaan kepada Tuhan dan Nabi apalagi ulama menurun sebab dengan akal sehat mereka dan mengikuti tuntunan akal sehatnya mereka mampu menciptakan masyarakat tanpa Tuhan dengan hidup damai, aman dan sejahtera.

Baca Juga:  5 Cara Ampuh Mengatasi Stres Menurut Pandangan Islam

Soo buat apa ada Nabi bila akal sudah mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu?

Tentu ini pertanyaan yang agak membingunkan untuk kita jawab, saya akan menjawab ini dengan beberapa hal tentang pentingnya seorang nabi dan rasul dalam kehidupan kita di muka bumi.

Pertama, Nabi adalah teladan kehidupan

Dalam hidup ada banyak masalah yang melilit dan terkadang dan biasanya kita tidak mampu keluar dari masalah tersebut. Maka dengan hadirnya para nabi kita belajar tentang menghadapi dan menjalani kehidupan.

Pada Nabi Adam as kita belajar tentang keriduan kepada sang kekasih serta kesetiaan pada kekasihnya hawa yang terpisah lama, namun kerinduan, kesetian itu tidak pernah hilang.

Pada Idris as kita belajar tentang kekhusyukan Idris dalam beribadah kepada Tuhannya. Pada nabi Hud as kita belajar tentang ketaatan, pada saleh kita belajar tentang kepatuhan. Pada Ibrahim as kita belajar kepasrahan, ketika Allah swt ingin mengambil anaknya Ibrahim as yang begitu ia cintai, pada istrinya ia tinggalkan demi kepasrahan kepada Tuhan-Nya.

Pada nabi Luth as kita belajar keteguhan hati, pada Ismail as kita belajar ketabahan. Ia tabah dalam “penyembelihan” atas dirinya demi memperoleh ridha orang tuanya Ibrahim as.

Pada nabi Ayub as kita belajar tentang kesabaran. Iblis sampai mengaku bahwa, “aku telah gagal menimbulkan amarah dalam diri Ayub as. Harta, tanaman, kebun, jasad Ayyub, seluruh kulit di tangan Ayyub melepuh. Kukurnya terkelupas.

Baca Juga:  Hei, yang Anti Maulid! Kamu Harus Tahu, Orang Pertama yang Merayakan Maulid Adalah Nabi Sendiri

Hidung dan telinganya mengeluakan darah karena sakitnya ia terusir dari lingkungannya tetapi dengan sabar Ayub as menjalani dengan penuh kesabaran. Istrinya yang awalnya begitu setia, menemani Ayub as selama tujuh tahun, namun pada akhirnya meninggalkannya juga. Ayub as tetap sabar dalam menjalani hidupnya. Walau pada akhirnya istrinya kembali dan meminta maaf dan Ayub pun memaafkannya. Kisah Ayub as diabadikan dalam Qs. Shad: 41-44.

Mengapa Allah mengutus para Nabi dan Rasul, bila akal mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu? Maka jawabannya agar kita melihat langsung contoh tentang manusia suci yang menjalani hidupnya tanpa keluh kesah, tangis dan rintihan.

Dari para nabi dan Rasul kita belajar arti tentang cara menjalani hidup. Bukan hanya berdasarkan teori tetapi ada pelaku utama terhadap teori tersebut. Al-Qur’an adalah Muhammad yang tertulis (teori), Muhammad adalah al-Qur’an yang berjalan (teraplikasi).

Kedua, Penyambung pesan Ilahi

Para nabi adalah manusia pilihan yang “bisa” berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Dengan para nabi kita mengetahu firman-firman Tuhan yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Tidak semua manusia bisa berkomunikasi dan memahami firman-firman Tuhan kecuali manusia pilihan (para nabi), karena dengan mereka kita dapat petunjuk ilahi.

Baca Juga:  Ketika Rasulullah Tetap Mendoakan Pamannya Meski Tak Mau Beriman

Nabi Muhammad saw telah wafat dengan meninggalkan pegangan hidup yaitu al-Qur’an tujuannya agar di muka bumi ini senantiasa selalu ada “muhammad” yang berjalan sesuai petunjuk al-Qur’an.

Buat apa ada nabi, bila akal mampu mengetahui baik dan buruknya sesuatu? Lantas, bisakah akal memahami haramnya babi bila tanpa melewati para nabi, bisakah akal memahami kewajiban ibadah beserta tata caranya tanpa melewati para nabi dan rasul? Bisakah akal mengatahui tentang wajibnya puasa di bulan Ramadhan tanpa melewati para nabi, tentang wajibnya haji bila tanpa perantaraan nabi?

Jawabnya: Tidak. Maka dengan itu hadirnya nabi menjadi penting dalam hidup kita. Melalui mereka kita mendengarkan dan memahami kata-kata ilahi untuk menjadi sinar dalam hidup kita di muka bumi. Ketahuilah, selalu ada hikmah di balik setiap kisah, apalagi kisah para nabi.

Bila kita sedang ada masalah dalam hidup, maka tengoklah para nabi yang masalah hidupnya tidak sebanding dengan masalah yang sedang kita hadapi. Wallahu Muwaffiq ila Aqwamit Thariq

Muhammad Tahir A.