Menikah Saat Hamil, Bagaimana Hukumnya?

Menikah Saat Hamil, Bagaimana Hukumnya?

PeciHitam.org – Menikah Saat Hamil, Bagaimana Hukumnya? Adapun akad perkawinan itu sendiri sejauh syarat dan rukun perkawinan terpenuhi maka sah perkawinannya sekalipun calon mempelai wanitanya dalam kondisi hamil.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Karena kehamilan bukanlah faktor yang menghalangi sah tidaknya sebuah prosesi akad nikah. Karena sudah sah akad nikahnya, maka mereka tidak perlu mengulang kembali akad pernikahan itu setelah janinnya terlahir.

Sementara bagi orang yang bertugas untuk menikahkan tidak bisa dipersalahkan (dosa dikarenakan tidak memberitahu kondisi si wanita) karena ia telah bekerja sesuai prosedur, bahkan mendapat pahala karena telah membantu dua hamba Allah memasuki pintu ridha-Nya.

Wanita yang menikah dalam kondisi hamil terbagi menjadi dua berdasarkan kondisi. Kondisi pertama, wanita yang diceraikan mantan suaminya dalam keadaan hamil. Kedua, wanita belum menikah dan berzina sampai hamil.

Lantas bagaimana hukumnya menikah saat hamil? Mengingat kedua kondisi ini mempunyai hukum yang sangat berbeda. Hukum yang pertama sangat jelas keharamannya untuk menikahi. Dalam Alquran disebutkan, iddah (masa menunggu) bagi wanita kelompok pertama sampai ia melahirkan.

Firman Allah SWT, “Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Thalaq [65]: 4).

وَ الِّٰٓیۡٔ یَئِسۡنَ مِنَ الۡمَحِیۡضِ مِنۡ نِّسَآئِکُمۡ اِنِ ارۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُہُنَّ ثَلٰثَۃُ اَشۡہُرٍ ۙ وَّ الِّٰٓیۡٔ لَمۡ یَحِضۡنَ ؕ وَ اُولَاتُ الۡاَحۡمَالِ اَجَلُہُنَّ اَنۡ یَّضَعۡنَ حَمۡلَہُنَّ ؕ وَ مَنۡ یَّتَّقِ اللّٰہَ یَجۡعَلۡ لَّہٗ مِنۡ اَمۡرِہٖ یُسۡرًا

Ulama sepakat menikahi wanita yang masih dalam iddahnya merupakan perkara batil dan tidak sah. Hendaklah bersabar menunggu sampai iddahnya benar-benar selesai sempurna. Seperti firman Allah SWT, “Dan janganlah kalian ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya.” (QS al-Baqarah [2]: 235).

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Baca Juga:  Jual Beli Burung Peliharaan dalam Pandangan Hukum Islam

Sedangkan wanita yang hamil karena perbuatan zina, inilah kasus yang marak terjadi di masyarakat. Para orang tua sering mengambil langkah cepat dengan menikahkan putri mereka yang telanjur hamil. Tujuannya, untuk menutupi aib keluarga mereka.

Sebenarnya, mayoritas para ulama memperbolehkan pernikahan wanita yang sedang hamil akibat perzinaan dengan laki-laki yang telah menghamilinya. Ulama seperti Imam Malik, Syafi’i, dan Abu Hanifah, tetap mengesahkan pernikahan tersebut.

Dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW melarang para sahabat menikahi wanita pezina. Seperti hadis ‘Amr bin Syu’aib yang mengisahkan salah satu sahabat bernama ‘Anaq ingin menikahi tawanan perempuan pezina. Rasulullah SAW diam, sampai akhirnya surah an-Nur ayat 3 tersebut turun. Rasulullah SAW pun melarang ‘Anaq untuk menikahi wanita itu. (HR Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Hakim).

Namun, jika sudah bertobat secara nasuha (bersungguh-sungguh) dari dosanya sebagai pezina, barulah ia bisa menikah atau dinikahkan. Para ulama berbeda pendapat dengan bentuk tobat. Jika di negara Islam, pezina wajib menjalani hudud (hukuman) yang akan dieksekusi oleh pemerintah. Hukuman bagi pezina yang masih lajang tersebut ialah hukuman dera sebanyak 100 kali.

Jikalau ia berada di negara sekuler yang tidak berhukum dengan hukum Islam, pezina perlu bersungguh-sungguh dalam tobatnya secara nasuha dengan memenuhi lima syarat, yaitu tobat yang ikhlas karena Allah, menyesali perbuatan, meninggalkan dosa tersebut, berazam (bertekad) sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya, dan memperbanyak amal ibadah sebagai ganti dari maksiat yang telah dilakukannya dahulu.

Setelah tobat nasuha, barulah wanita yang hamil karena perzinaan ini bisa dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya seperti yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 2 Ayat (1).

Baca Juga:  Hukum Menikahi Janda Menurut Hadits Nabi Muhammad

Dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan, seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya.

Mayoritas ulama dari Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada iddah bagi wanita yang hamil di luar nikah untuk melangsungkan pernikahan.

Artinya, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan sesegera mungkin tanpa harus menunggu kelahiran anaknya. Lantas, bagaimanakah hukumnya jika wanita yang posisi hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang tidak menghamilinya?

Mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf pun memperbolehkan hal ini.
Namun terkait problematika ini, mazhab Abu Hanifah menegaskan, memang boleh hukumnya menikahi wanita yang tengah hamil di luar nikah, namun belum diperbolehkan berjima’ dengannya.

Kebolehan berjima’ hanya diperbolehkan jika laki-laki yang menikahi merupakan orang yang menghamilinya. Adapun jika si suami bukanlah orang yang menghamilinya maka mereka harus menunggu sampai datang masa istibro’ (rahim telah kosong dari janin dan telah haid minimal sekali).

Hal ini berdalil dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri RA tentang sabda Rasulullah SAW tentang tawanan wanita di Perang Authos. “Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali.” (HR Ahmad).

Islam sangat menjaga akan nasab dan keturunan. Tidak boleh ada dua jenis sperma dalam rahim seorang wanita. Hal ini juga menjadi cikal bakal penyakit mematikan seperti penyakit HIV dan AIDS.

Hadis dari Ruwaifi’ bin Tsabit RA menyebutkan, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka jangan ia menyiramkan air (mani)nya ke ‘tanaman’ orang lain.” (HR Ahmad, Abu, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).

Baca Juga:  Memahami Tradisi Sungkeman Menurut Hukum Islam

Hukum ini memperlihatkan indahnya Islam dalam menjaga nasab dan keturunan. Demikian pula, indahnya akhlak Islam dalam menjaga kehormatan dan kasih sayang antar manusia.

Bayangkan, jika wanita yang tengah hamil karena perzinaan harus menanggung sendiri beban kehamilannya sampai melahirkan.Sedangkan, laki-laki yang menghamilinya dengan ringannya bisa pergi begitu saja.

Wanita yang hamil di luar nikah baik karena korban perkosaan atau perzinaan mengalami depresi berat. Belum lagi, pendamping dan kehadiran sosok seorang suami sangatlah genting. Wanita hamil sangat butuh didampingi semasa hamil hingga melahirkan. Sungguh menyesatkan jika saja wanita hamil dalam kondisi ini dibiarkan saja menanggung beban beratnya seorang diri.

Adapun wanita hamil yang diceraikan mantan suaminya maka suami berkewajiban pula menanggung seluruh kebutuhan mantan istrinya sampai masa iddahnya selesai. Ia wajib memberi nafkah lahir dan mencukupi seluruh kebutuhan istrinya.

Nah, jika kalian sampai saat ini masih mencari artikel tentang Menikah Saat Hamil, Bagaimana Hukumnya? Semoga ulasan kami disini bisa membantu untuk dapat memahami bagaimana hukum menikah saat hamil.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *