Menjadi Mursyid dalam Tradisi Tarekat

Menjadi Mursyid

Pecihitam.org – Mula-mula, seorang kyai dan ulama secara umum disebut dengan mursyid, namun entah sejak kapan sebutan mursyid ini lebih populer dalam tradisi suluk dan tarekat. Malahan, sekarang ini istilah mursyid umumnya hanya dipakai khusus dalam tradisi suluk dan tarekat, di mana hubungan antara “jama’ah” dan “mursyid” sangatlah dekat. Tidak sembarang ulama atau kyai bisa mendapatkan posisi menjadi mursyid yang menjadi pembimbing ruhani atau petunjuk jalan Ilahiah bagi jama’ahnya. Karenanya, tidak setiap orang alim adalah kyai dalam pengertian mursyid ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Untuk menjadi mursyid, seorang ulama haruslah memenuhi minimal tiga kriteria, ketiga kriteria ini menjadi syarat mutlak bagi seorang kyai, tentunya kyai sungguhan, agar pantas menjadi seorang mursyid. Ini tentu saja menunjukkan bahwa peranan mursyid sesungguhnya sangat tinggi derajatnya, yakni sebagai pembimbing manusia menuju jalan ketuhanan.

Kriteria pertama, ketika menjadi pembimbing spiritual dan memberi petunjuk, seorang mursyid haruslah matang dalam menguasai ilmu keulamaan. Kedua, seorang mursyid juga harus memahami hikmah dari orang-orang yang dirasa sudah betul-betul mengenal Tuhan. Ketiga, seorang mursyid menguasai pula strategi dan taktis yang diterapkan oleh penguasa dalam konteks politik pemerintahan.

Ketiga kriteria ini dicetuskan pertama kali oleh pendiri tarekat Qadiriyah, Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani. Keterangan ini bisa dilihat misalnya dalam kitab Lujainid Dany karya Syaikh Abi Ja’far al-Barzanji. Karena ketiga syarat ini dianggap telah memenuhi kriteria nilai-nilai universal, ia kemudian diberlakukan juga dalam hampir setiap gerakan suluk dan tarekat hingga hari ini.

Baca Juga:  Kenapa Lagu tentang Siti Aisyah, Kok Bukan Sayyidah Khadijah? Padahal...

Boleh dikata, kriteria pertama dan kedua merupakan syarat pokok yang harus dipenuhi oleh seorang kyai sebelum akhirnya menjadi mursyid. Kyai tersebut haruslah benar-benar ulama yang alim, ahli ibadah, giat melakukan bimbingan ruhani serta selalu srawung dengan jama’ah disekelilingnya.

Posisi seorang mursyid selalu saja menuntut peran yang lebih signifikan ketimbang peran kyai biasa. Peran itu juga tidak sebanding bila dihadapkan dengan kecenderungan kyai di masa mutakhir ini yang terkadang kualitasnya kendor, di mana gelar kyai hanya dijadikan simbol imajiner semata. Belum lagi soal kyai yang semakin terkenal karena sering tayang di media televisi, yang belum tentu ia akrab dan dekat di hati umat. Kyai yang seperti itu, katakanlah “ustadz” dadakan, tak ubahnya seorang artis belaka.

Sementara untuk kriteria yang ketiga, lebih berkaitan dengan posisi mursyid itu sendiri yang tak hanya berperan sebagai pemimpin agama bagi umat tetapi juga pemimpin sosial yang pengaruhnya luar biasa kuat. Sebut saja misalnya Habib Lutfi bin Yahya dari Pekalongan, beliau sangat dikagumi oleh banyak kalangan yang bahkan tak tahu menahu soal tarekat, tetapi berkat keluasan ilmu dan kesantunan budi pekerti, banyak orang bersimpati padanya, khususnya berkaitan dengan wejangan-wejangan yang beliau sampaikan perihal politik kebangsaan dan persaudaraan antar-manusia.

Posisi mursyid sebagai pemimpin umat ini tentu mengharuskannya mampu terlibat aktif dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat, baik dalam perkara agama, sosial, dan politik. Seorang mursyid, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agung jama’ahnya, pastilah diharuskan untuk terlibat dalam berbagai persoalan umat yang akan selalu terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang menyebabkan pemahaman terhadap strategi para penguasa adalah suatu kewajiban yang harus dimiliki oleh sang mursyid.

Baca Juga:  Imam Syafii Memuji Para Sufi, Wahabi Justru Mencaci Tasawwuf

Namun, memahami strategi politik dalam suatu pemerintahan tidak berarti harus terlibat dalam aktivitas politik praktis. Pemahaman terhadap strategi politik bagi seorang mursyid justru penting agar ia dan jama’ahnya bisa menghindar dari keterlanjuran politik yang semena-mena dan justru dapat memberikan solusi bagi terciptanya tatanan politik yang kondusif. Artinya, sudah menjadi keharusan bagi seorang mursyid untuk memberi pengarahan kepada para jama’ah agar terhindari dari permainan politik para penguasa dan pialang-pialang politik.

Selama ini, kedekatan seorang mursyid dengan jama’ahnya memberikan kemampuan untuk memobilisasi masa. Maka, bila seorang mursyid tidak memahami dengan baik persoalan politik, ia akan menjadi sasaran empuk permainan para elit politik yang kemudian dimanfaatkan seenaknya sendiri. Malahan, jika sang mursyid tarekat itu sendiri yang terlibat dalam politik praktis dan masuk dalam lingkaran permainan penguasa, biasanya para jama’ah mulai meragukan ke-irsyadan-nya.

Meski begitu, ada saat di mana seorang mursyid berjuang mati-matian melalui jalan politik. Tengok misalnya di zaman kolonial Belanda, di saat raja-raja tradisional melempem tak berkutik akibat penaklukan dan ada pula yang menjadi antek-antek penjajah, para mursyid bersama jama’ahnya justru ramai mengobarkan semangat jihad nasionalisme dan api perlawanan terhadap Belanda.

Baca Juga:  Pesan Habib Luthfi Kepada Mahasiswa Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyah ( MATAN )

Sejarah mencatat, sebagaimana dikutip dalam buku “Guru Sufi Tanah Jawa” karya Murtadho Hadi, bahwa pemberontakan petani Banten kala itu (yang menerapkan tradisi fikih, sistem ekonomi dan mata uang sendiri), ternyata dipimpin oleh seorang mursyid tarekat. Di tempat lain, Syaikh Yusuf al-Makassary, yang memimpin pemberontakan terhadap Belanda dan akhirnya dibuang ke Afrika Selatan, ternyata juga seorang mursyid tarekat.

Karenanya, tugas seorang mursyid tidak hanya berat, tetapi juga selalu ada tantangan-tantangan baru tak masuk akal yang kadang kala sulit sekali dipecahkan. Di setiap zaman, seorang mursyid selalu memiliki tantangannya sendiri yang jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya.

Namun demikian, bagi mursyid yang sudah benar-benar berada di dekat Tuhan, tak akan ada kesulitan yang berarti baginya, sebab semuanya dari Tuhan dan pada akhirnya Tuhanlah yang akan memutuskan yang terbaik bagi umat manusia.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *