Begini Hukum Menolak Hasil Pemilu Menurut Analisis Fiqih

Begini Hukum Menolak Hasil Pemilu Menurut Analisis Fiqih

PeciHitam.org Di Negara Demokrasi, Pemilu adalah satu-satunya metode untuk menentukan pemimpin daerah, kota maupun tingkat pusat. Islam memandang Pemilu sebagai sesuatu yang secara dasar behukum mubah atau boleh. Dengan catatan dalam menjalankan pemilu sesuai dengan kaidah syariat dalam Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Unsur keharaman, seperti black campaign, harus dihindarkan sebagai bentuk menepati syariat Islam. Uslub pemilihan pemimpin sepeninggal Rasulullah SAW dalam dunia Islam memang berbeda-beda.

Pertama menggunakan model bai’at sumpah setia seperti pada saat Abu Bakar, penunjukan pada saat Umar bin Khattab, melelui rapat seperti Khalifah ketiga dan keempat.

Dan setelah masa khulafaur Rasyidun, dikenal pergantian kepemimpinan berdasarkan klan keluarga sebagaimana dalam kerajaan. Semuanya dalam masa jabatan tertentu mendatangkan maslahah, dan pada masa penguasa tertentu terjadi kekurangan.

Pada era modern, pemilihan dinegara Muslim banyak menggunakan sistem voting atau Pemilu. Catatan utama dalam sistem Pemilu harus berlangsung dengan peraturan dan aturan main yang jelas. Jika pemilu ini yang dijalankan, maka menolak hasil pemilu terlarang dalam Islam.

Daftar Pembahasan:

Pemilu, Sejarah dan Perubahannya

Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus untuk membimbing manusia mengenal, mengerti dan memahami penciptaan dan Pencipta Alam semesta. Kepada beliau menempel sebuah kewajiban memimpin manusia, oleh karenanya Nabi SAW menjadi pemimpin manusia adalah sebuah keniscayaan Ilahiyah.

Masyarakat yang akan mengikuti Nabi SAW bisa dengan menyatakan diri setia kepadanya dengan cara Bai’at sebagaimana perwakilan Anshar berbai’at kepada Rasul di Aqobah (bai’at Aqobah).

Pada saat bai’at penduduk Madinah lewat perwakilan mereka kepada Rasulullah SAW di Aqobah, Nabi SAW mengeluarkan Hadits untuk penduduk Madinah mengangkat perwakilan guna mengurus kepentingan bersama. Nabi SAW bersabda;

“Pilihlah untukku dari kalian dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang dibutuhkan oleh kaum mereka”

Pada masa Khulafaur Rasyidin juga terjadi hal yang sama, dengan naiknya Abu Bakar ash-Shidiq sebagai khalifatur Rasul maka umat Islam berbai’at kepada beliau. Sumpah setia sebagaimana yang dilakukan oleh perwakilan Anshar kepada Muhammad SAW di Aqobah.

Baca Juga:  Memahami Konsep Milkul Yamin Dalam Islam Bagian 2

Dan orang yang tidak menyatakan bai’at kepada Abu Bakar dan keluar dari garis Agama Muhammad SAW disebut dengan kaum riddah, maka para era Abu Bakar dikenal dengan perang Riddah. Pola Khulafaur Rasyidin hampir sama dalam kerangka Bai’at, namun setelah era Daulah Bani Umayyah sistem berubah menjadi kerajaan.

Mu’awiyah bin Abi Shofyan memplokamiran diri menjadi sebagai Khalifah dan terus berurutan keturunan beliau. Orang yang tidak setia atau menyatakan ‘tidak sah’ kepemimpinan Bani Umayyah, maka disebut sebagai pemberontak.

Fakta sejarahnya demikian, dan pandangan Ahlussunnah wal Jamaah ketika terjadi pergolakan pemerintahan cenderung lunak, dan diam.

Pada masa modern, pemilihan pemimpin banyak menggunakan Pemilu atau Pemilihan Umum (voting). Penggunaan Pemilu adalah implikasi negara yang menggunakan sistem demokrasi. Pemilu adalah sistem baru yang secara hukum dasar mubah, selama tidak menyalahi ketentuan syariat.

Klaim sistem musyrik kepada sistem pemilu tidak lain berasal dari golongan mereka yang menginginkan pemimpin dari golongannya dan tidak mendapat ‘pasar’.

Ijma’ Sukuti para Ulama Nusantara tentang pemilu di Nusantara mengindikasikan bahwa pemilu diperbolehkan, asal sesuai peraturan dan aturan main adil.

Dasar normatif yang paling dekat dengan model Pemilu adalah Hadits Riwayat Abu Dawud RA tentang pengangkatan pemimpin dalam rombongan;

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ

Artinya; “Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan” (HR. Abu Dawud RA)

Kekuasaan dalam Islam

Pemilu atau Pemilihan Umum dilihat menggunakan perspektif Qiyas Aulawi bisa dikatakan adalah sebuah kewajiban. Tentunya dengan metode yang tidak harus sama dengan pola pemilu di era modern saat ini. Uslub pemilihan pemimpin bisa menggunakan ahlul halli wal Aqdi dan bahasa sederhananya menggunakan perwakilan.

Adanya pemimpin tidak terlepas dari konsep khalifah fil ardhi yang mana Bumi memerlukan pemimpin. Dan konsep demokrasi menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kepanjangan kedaulatan rakyat.

Sedangkan dalam pandangan Islam, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan adalah sebuah amanah dari kedaulatan tertinggi yaitu Al-Khalik dan Ar-Rabbaniyah.

Pandangan barat tentang kedaulatan tertinggi ditangan rakyat dalam Islam digeser menjadi Kedaulatan tertinggi tetap bernisbah kepada Allah SWT, dan manusia ‘hanya’ pengurus saja.

Baca Juga:  Apa Sih Tahlilan Itu? Sunnah dan Fadhilah Apa Sih Di Dalamnya?

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً (٣٠

Artinya; “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah: 30)

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

Artinya; “Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim)

Metode atau Uslub berbeda untuk menentukan pemimpin kiranya dalam era modern bisa menggunakan konsep pemilu dengan voting sebagaimana yang dilakukan oleh Indonesia.

Kepemimpinan dalam Islam adalah keniscayaan, dan Uslub untuknya merupakan Ijtihadi dan musyawiri atau bisa dirembug bersama tentang maslahahnya.

Ketika memilih Pemilu dengan voting maka menolak hasil pemilu yang Sah sesuai aturan main adalah tertolak. Landasannya adalah menolak kesepakatan atau perjanjian awal, sehingga pendapat menolak hasil pemilu tidak sesuai dengan kaidah Islam yaitu, memenuhi akad ‘يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ’.

Menolak Hasil Pemilu

Ketika pemilu yang dilakukan dengan jujur, adil, transparan dilakukan dan menghasilkan pemimpin maka harus diterima dengan baik. Tidak boleh menolak hasil pemilu yang sah karena itu adalah hasil dari uslub pemilihan pemimpin.

Dalam konsep bernegara dalah ‘Kesepakatan Luhur’ untuk membentuk sebuah Negara dengan menggunakan dasar ideologi dan konstitusi bersama.

Konstitusi adalah sebuah kesepakatan Luhur bersama untuk hidup bersama. Sama halnya Rasul SAW membuat shahifah Madinah, yang mengakui harus tunduk pada perjanjiannya.

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنْقُضُوا الأيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ (٩١

Baca Juga:  Kitab Tuhfat Al Nafis, Karya Mashur Sastrawan Islam Bugis

Artinya; “Dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Qs. Al-Nahl: 91)

Kesepakatan Luhur para pendiri Bangsa harus diteruskan oleh warganya karena mereka sudah terikat dan mengikatkan diri di dalamnya. Implikasi atau turunan Kesepakatan Luhur adalah penggunaan Pemilu dalam pemilihan pemimpin. Ketika hasil pemilu sudah ada dan legitimate kemudian timbul gerakan menolak hasil pemilu sama halnya ia melanggar sumpah janji.

Ketidak bolehan menolak hasil pemilu yang sesuai kaidah konstitusi juga dijelaskan dalam sebuah hadits sebagai berikut;

حدثنا مسدد عن عبد الوارث عن الجعد عن أبي رجاء عن ابن عباس  عن النبي قال من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه من خرج من السلطان شبرا مات ميتة جاهلية (رواه البخاري

‘menceritakan kepada Kami (Bukhari) dari Musaddad dari Abu Waris dari Ja’d dari Abi Raja’ dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW bersabda; ‘Barangsiapa benci kepada pemimpinnya maka (lebih baik) bersabarlah, karena orang yang keluar (memberontak) kepadanya ia dimasukan dalam golongan orang Jahiliyah (HR. Bukhari)

Maka ketika sebuah pemerintahan sudah menjalankan fungsinya menjalankan Pemilu kemudian ada sebuah kesalahan/ alfa harus dilakukan kritik, jangan mendelegitiminasi atau menolak hasil pemilu. Karena kasus di dunia menunjukan bahwa menolak hasil pemilu sering berbau anyir darah, rihud damiyah.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan