Mubahalah Bukan Perkara Mudah, Ini Syarat Ketentuannya

mubahalah dalam islam

PeciHitam.org – Kata mubahalah bermakna saling melaknat, yang berasal dari “Al-Bahl” yaitu laknat, dan kalimat “bahalahullah bahlan” maksudnya Allah SWT melaknat, dan “baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha” yang maksudnya saling melaknat satu sama lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ibnu Mandzur mengungkapkan bahwa mubahalah ialah berkumpulnya suatu kaum terhadap perkara yang diperselisihkan kemudian saling mengucapkan “Semoga laknat Allah SWT atas pihak yang dzalim di antara kita” (Lihat: Lisanul Arob, 11:72)

Menurut pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah lafal doanya sendiri tidak ditentukan secara khusus karena bisa diucapkan dengan lafal berbeda sesuai dengan yang dikehendaki masing-masing pihak agar diturunkan laknat kepada pihak yang benar-benar berdusta.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan:

“Termasuk sunnah Rasulullah SAW dalam berdebat dengan orang bathil apabila hujjah Allah SWT telah ditegakkan, sementara mereka tetap tidak mau kembali pada kebenaran (keras kepala dengan kebatilannya) maka mereka diajak mubahalah, Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut kepada Rasul-Nya dan Allah SWT tidak berfirman bahwa ini tidak untuk umat setelahnya.” (Lihat: Zaadul Ma’ad, 3:653)

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Artinya: “Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datangnya ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (Ali Imran 3:61)

Baca Juga:  Hukum dan Kriteria Ghasab Seperti Apa yang Dibolehkan?

Ayat tersebut merupakan perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk menantang kaum Nasrani dari Najran untuk bermubahalah, karena mereka berkeras kepala menyatakan Nabi Isa AS ialah anak Allah SWT.

Padahal saat itu Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada kaum tersebut tentang hakikat Nabi Isa AS dengan berbagai macam dalil yang benar. (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, 1:128-129)

Disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW pernah bermubahalah dengan kaum Yahudi dan musyrikin. (Lihat: QS. Maryam 19:75 dan Al-Baqarah 2:94)

Praktek mubahalah tersebut tentu tidak dilakukan asal-asalan yang menjadikan siapapun mudah untuk mengajak bermubahalah dengan orang yang tidak sependapat dengannya terlebih perihal urusan dunia.

Syaikh Ahmad bin Ibrahim menyatakan bahwa hukum mubahalah oleh sebagian ulama telah menetapkan beberapa syarat yang disimpulkan dari Al-Qur’an, hadist, Atsar dan perkataan para ulama, disimpulkan mubahalah tidak boleh dilakukan kecuali pada perkara penting menurut syar’i yang tercampuri syubhat serta penolakan yang tidak sanggup dihadapi kecuali hanya dengan bermubahalah.

Baca Juga:  Tidurnya Orang yang Puasa Itu Ibadah, Benarkah Demikian?

Maka syarat melakukan mubahalah yaitu setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat serta mendahulukan nasihat dan peringatan yang semua tidak berarti sama sekali dan dapat menciptakan mudharat. (Lihat: Syarh Qoshidah Ibnu Qoyyim)

Adapun salah satu hak bagi seorang Muslim kepada Muslim lain ialah tidak boleh saling melaknat:

 وَمَنْ لَعَنَ مُؤْمِنًا فَهُوَ كَقَتْلِهِ وَمَنْ قَذَفَ مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ

Artinya: “Barang siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya dan barang siapa yang menuduh mukmin telah kafir maka ia seperti membunuhnya.” (HR. Bukhari)

Hadits tersebut mengingatkan agar jangan sampai melaknat sesama Muslim karena melaknat sama artinya menganggapnya terkutuk terhadap Allah SWT, tapi terkadang perbedaan yang muncul memang rumit, apalagi karena menyimpang dari perkara ushul dalam Islam.

Maka kewajiban pertama sebagai sesama Muslim ialah dengan menyampaikan nasihat, mendakwahi serta menyingkap tabir syubhat yang menghalangi dari kebenaran serta berhujjah dengan dalil yang kuat.

Jika tetap keras kepala maka kewajiban selanjutnya adalah mendoakan agar diberi petunjuk oleh Allah SWT sehingga sadar dari kesesatan tersebut.

Boleh atau tidaknya bermubahalah bukan karena Muslim ataupun tidak melainkan kepada lebih besar atau tidaknya kesesatan serta pengaruhnya dalam masyarakat dan apabila sudah masuk dalam bagian perkara ushul dengan pengaruh yang besar maka bisa dipertimbangkan untuk bermubahalah.

Baca Juga:  Hukum, Rukun, Syarat, Tata Cara Amar Ma'ruf Nahi Munkar dalam Islam

Mubahalah tidak dikhususkan hanya kepada Nabi SAW tetapi juga berlaku terhadap seluruh umat yang memungkiri kebenaran dan tetap bersikeras terhadap kesesatan serta tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun dalil dan bukti yang kuat dihadirkan kepadanya. (Lihat: Fatawa Lajnah Daimah, 4:203-204 dan Zadul Ma’ad, 3:64)

Adapun syarat yang harus dipenuhi bagi siapapun yang terpaksa menempuh mubahalah diantaranya:

  • Ikhlas semata-mata mengharap ridho Allah SWT.
  • Memiliki ilmu yang mumpuni, karena tanpa ilmu debatnya orang bodoh lebih banyak mendatangkan kerusakan dari pada perbaikan.
  • Orang yang mengajak mubahalah ialah orang shalih yang bertaqwa.
  • Dilakukan setelah menyampaikan hujjah dengan dalil dan bukti yang benar serta jelas demi kebenaran.
  • Dilakukan pada perkara penting dalam Islam yang diharapkan terwujudnya maslahat bagi umat serta terhindar dari mafsadat.
  • Tidak boleh dilakukan pada perkara ijtihadiyah.

Seluruh syarat yang disebutkan merupakan gambaran betapa mubahalah bukan termasuk perkara sepele dan tidak bisa dilakukan sembarangan dalam perkara syar’i yang penting dan perlu dingat bahwa hal tersebut lebih baik dihindari apabila tidak terpaksa karena kesesatan dilawan dengan dalil bukan dengan ajakan mubahalah.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *